082311771819 yppm.maluku@gmail.com
Orang Muda Jangan Mudah Termakan Berita Bohong

Orang Muda Jangan Mudah Termakan Berita Bohong

Penyampaian materi periksa fakta oleh relawan Mafindo Maluku

AMBON,JW–15 orang muda duduk berjejer di atas kursi plastik. Mata mereka tertuju ke layar infokus. Mereka juga serius menyimak setiap ucapan dari seorang pria yang berada di hadapan mereka.

Deru knalpot kendaraan di jalanan tak mengganggu mereka, yang larut dalam suasana serius menimba pengetahuan dan pengalaman di halaman gereja Maranatha, 25 Juni 2022, siang itu. Lima belas orang muda itu adalah pengurus dan anggota Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (AMGPM) Ranting Maranatha.

Mereka hadir sebagai peserta pelatihan anti hoaks dan periksa fakta yang diselenggarakan Yayasan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (YPPM) Maluku bekerja sama dengan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) Maluku, lewat program Democracy Resilience (Demres). Sedangkan pria tersebut Soleman Pelu, relawan MAFINDO Maluku.

Ebi Peruru, Ketua AMGPM Ranting Maranatha mengatakan, literasi digital dan hoaks, memang merupakan kegiatan telah mereka rencanakan sebelumnya lewat salah satu program kerja, yakni sosialisasi di lingkungan masyarakat. Namun, karena pandemi Covid-19, kegiatan itu tak kunjung dilaksanakan.

Saat dihubungi staf YPPM untuk membicarakan rencana kegiatan itu, Ebi menyanggupi, setelah sebelumnya mendiskusikan dengan pengurus yang lain. Sebab, menurut dia, kegiatan literasi digital, terutama melawan hoaks sangat penting bagi orang muda.

“Kegiatan ini sangat memberikan pemahaman kepada kita, khususnya anak muda agar lebih teliti dan jangan cepat percaya terhadap berita yang baru didapatkan. Selain itu kita juga dapat mengetahui langkah-langkah mengecek kebenaran sebuah infornasi,”tegas Ebi.
Verifikasi Adalah “Senjata”
Sementara itu, saat memberikan materi tentang cara periksa fakta sekaligus melakukan praktik sederhana, Soleman mengatakan, jika ada satu berita yang tidak diketahui kebenarannya, sebaiknya jangan disebarkan.

Dia menyebutkan, ciri-ciri informasi tidak akurat adalah menggunakan judul provokatif dan mengiring pembaca kepada opini yang negatif. Semua itu tidak terpisahkan dari kehadiran internet di dalam kehidupan manusia. Olehnya itu, dia meminta orang muda, jangan ampang termakan hoaks.

Verikasi atau cek fakta merupakan “senjata” yang wajib digunakan untuk melawan hoaks. “Orang muda, saya kira jangan cepat atau mudah termakan hoaks. Perlu ada verifkasi atau memeriksa kebenarannya,”tandas pustakawan muda di perpustakaan Universitas Pattimura, itu.
Wellsy Harry Bakarbessy, relawan MAFINDO dan narasumber lainnya pada kesempatan itu mengatakan, perkembangan teknologi informasi telah menyebar di dunia tanpa batas. Hal tersebut menyebabkan perubahan sosial yang signifikan berlangsung dengan cepat.
Menurutnya, perkembangan teknologi informasi banyak memberikan dampak positif dan negatif dalam kehidupan. Salah satu dampak negatif perkembangan teknologi informasi yang sering dijumpai yaitu, banyaknya berita palsu (hoaks).
Sementara dampak positifnya memberi kemudahan untuk mendapatkan layanan tertentu meski lewat jarak jauh, misalnya berbelanja online, pesan tiket online, dan lain sebagainya.

“Menghemat waktu, bisa dilakukan kapan pun dan di mana pun. Kemudahan untuk mencari dan mendapat informasi lewat akses internet,” terang Wellsy.

Ella Gaspersz, salah satu peserta mengaku, materi-materi yang disampaikan narasumber sangat membuka pengetahuan mereka dalam mengecek informasi. Sebab, selama ini mereka kerap mendapatkan berita yang belum diketahui kebenarannya, seperti mengenai menang undian. “Setelah adanya materi ini, kami bisa tahu tentang berita benar dan berita palsu,”ungkapnya.

Penulis : Soleman Pelu (JW Ambon/Mafindo Maluku) 

Cerita Lansia Terpapar Hoaks dan Upaya Melawannya

Cerita Lansia Terpapar Hoaks dan Upaya Melawannya

Mark Ufie, relawan Mafindo Maluku menyampaikan materi terkait hoaks pada kegiatan Tular Nalar Bagoi Warga Lansia di Desa Hitulama, Kecamatan Leihitu, Maluku Tengah, 1 Juni 2022.
(Soleman Pelu/JW Ambon)

AMBON,JW.-Sebuah pesan masuk ke grup WhatsApp (WAG) warga Negeri/Desa Asilulu, Kecamatan Leihitu Barat, Maluku Tengah, 29 Juni 2022 lalu. Isinya, informasi mengenai undian Rp2.00.000 dari PT. Pertamina dalam rangka HUT Pertamina ke-55.

Ada link yang disematkan pada pesan berantai itu, beserta logo Pertamina dengan tulisan diatasnya ‘Pertamina Government energy subsidies, click the link to get government www.Pertamina.id’. Sekilas, itu seperti informasi resmi dari perusahaan negara ini.

Karena tak yakin, Abdoel Tangke (47), warga Asilulu yang juga anggota WAG, langsung membagikan pesan berantai kepada beberapa kenalannya. Salah satunya, relawan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Maluku untuk mengecek kebenaran informasi itu.

Berselang satu menit kemudian, anggota Mafindo itu membalas. “Itu hoaks, Abang”. Dia juga membagikan informasi bantahan atau klarifikasi dari sumber resmi, yang menyatakan tautan itu tidak benar.

Seperti dikutip dari turnbackhoaks.id, Vice President Corporate Communicaton Pertamina, Fajriyah Usman mengatakan Pertamina tidak pernah mengadakan kegiatan dalam rangka perayaan ulang tahun.

“Hasil klarifikasi itu saya bagikan lagi ke WAG Asilulu, dan teman-teman di program Democracy Resilience (Demres),”tutur Abdoel via seluler, 30 Juli.

Hoaks di WAG Asilul itu, bukan yang pertama kali diterima Abdoel. Pekerja di Yayasan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (YPPM) Maluku ini pernah menerima hoaks mengenai imun tubuh menurun setelah divaksin, pertengahan 2021 lalu, dalam bentuk tangkapan layar.

Tangkapan layar yang diunggah pada 15 Maret 2021 tersebut disertakan narasi tingkat kekebalan tubuh atau antibodi dalam tubuh seseorang yang telah divaksin Covid-19 menurun. Penyebab seseorang terkena Covid-19, menurut pesan itu, karena antibodi menurun dalam beberapa hari sebelum vaksinasi dosis kedua
Dia ragu dengan informasi tersebut, dan menanyakan kepada teman-temannya yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan. “Mereka bilang, informasi itu tidak benar. Justru, vaksin akan memperkuat ketahanan tubuh,”jelasnya.

Lansia Rentan Terpapar Hoaks

Pengalaman Abdoel, hanyalah satu dari sekian banyak kelompok masyarakat lanjut usia (lansia) yang menerima, bahkan menyebarkan hoaks. Hoaks yang disebarkan paling banyak selama pandemi Covid-19.
“Seiring berjalanya dunia digital, masih banyak masyarakat yang belum bisa membedakan mana berita yang hoaks atau tidak,”ungkap Sekretaris Desa Hitulama, Ikbal Pelu pada kegiatan Tular Nalar Bagi Warga Lansia yang diselenggarakan Mafindo Maluku di Desa Hitulama, 1 Juni 2022.
Salma Tuawael, salah satu peserta kegiatan tersebut mengakui, kebanyakan hoaks yang muncul tentang kesehatan membuat lansia takut. Akhirnya, menyebarluaskan informasi media sosial tanpa memeriksa kebenarannya terlebih dahulu.

“Kita bagikan ke sosmed tanpa mengecek kebenarnya informasi, karena takut anggota keluarga kena penyakit. Selain isu kesehatan, ada penipuan lainnya yang sering kita jumpai lewat misinformasi,”bebernya.
Berdasarkan data Mafindo, warga usia diatas 45 tahun yang paling rentan mendapatkan dan menyebarkan hoaks. Mereka merupakan generasi transisi dari analog ke digital yang masih gagap pada teknologi informasi.

Olehnya itu, menurut Mark Ufie, relawan Mafindo sekaligus fasilitator kegiatan Tular Nalar, upaya Mafindo untuk meminimalisir disinformasi pun terus dilakukan. Tahun ini, literasi digital difokuskan pada masyarakat rentan, terutama lansia.

“Literasi digital ini diharapkan membuat para lansia bisa lebih berpikir kritis dalam menanggapi diinformasi yang mereka terima. Meski hal ini tidak mudah ditengah keterbatasan fisik pada teknologi moderen. Selain itu lansia juga merupakan tolak ukur yang menjadi edukasi dalam keluarga,”jelas Mark.

Sementara itu, Koordinator Mafindo Maluku, Rosda Leikawa mengungkapkan hoaks politik, ekonomi dan kesehatan banyak memakan korban lansia. Keinginan mereka untuk memproteksi diri sendiri dan orang-orang terdekat pun akhirnya membuat mereka menjadi rentan dan menjadi pelaku hoaks dengan menyebarkan berita tidak benar di sosmed.

Rosda menambahkan, ditengah keterbatasan kapasitas untuk mengolah informasi dan teknologi, tidak banyak lansia yang tersentuh gerakan literasi digital. Kalaupun ada hanya bersifat sporadis.

Akibatnya banyak lansia yang terjebak penipuan digital. Mereka juga tidak sadar akan pentingnya perlindungan data sehingga mudah terpapar hoaks. Pada masa pandemi ini misalnya, ada hoaks tentang vaksinasi yang berbahaya banyak dishare paman, tante, bapak ke grup WA (whatsapp-red).

“Ini bisa saja terjadi karena mereka sebenarnya ingin melindungi keluarga dan lingkungan dari yang dianggapnya ancaman. Perlu pendampingan dan mendudukkan lansia pada posisinya agar melek literasi digital karena meski punya HP mahal tapi seringkali tidak bisa menggunakannya dengan baik,”papar Roesda.

Abdoel, Iqbal, dan Salma mengakui, mereka telah mendapatkan pengetahuan penting tentang hoaks lewat kegiatan Tular Nalar Bagi Lansia yang diadakan Mafindo Maluku, baik luring maupun daring. Selain itu, mereka juga bijak bermedia sosial dan menjadi teladan bagi orang di sekitarnya. (*)

Penulis : Soleman Pelu (JW Ambon/Mafindo Maluku)

Dilema Kebebasan Berekspresi di Bawah Intaian UU ITE di Maluku

Dilema Kebebasan Berekspresi di Bawah Intaian UU ITE di Maluku

Jari mu harimau mu!

Pepatah ini mewakili apa yang menimpa dua pemuda Maluku, Risman Solissa dan Thomas Madilis. Keduanya sama-sama diciduk polisi karena membuat postingan yang dianggap menghina pihak-pihak tertentu.

Risman dibekuk polisi di kawasan Poka, Kecamatan Teluk Ambon, 25 Juli 2021 silam. Dia ditangkap setelah menyerukan aksi unjuk rasa menolak Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan masyarakat (PPKM) dan menggunggah seruan mencopot Presiden Joko Widodo, gubernur Maluku dan wali kota Ambon di akun facebooknya.

Polisi menjerat Risman dengan pasal 45A sebagaimana dalam pasal 45 ayat 3 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU nomor 11 tahun 2008 tentang Informatika dan Transaksi Elektronik (ITE). Kemudian, pasal 14 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana. Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ambon itu, divonis bersalah oleh hakim Pengadilan Negeri Ambon, dan menjalani hukuman penjara kurang lebih 8 bulan. Kini Risman sudah bebas.

Setelah Risman, giliran Thomas Madilis diciduk aparat Polres Maluku Tengah di rumahnya, Negeri Amahai, Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah, Sabtu, 25 Juni 2022. Polisi menganggap Thomas telah menyebarkan ujaran kebencian lewat status facebooknya yang melanggar UU ITE.

Pemuda 25 tahun ini sempat dijadikan tersangka, meski akhirnya dibebaskan lewat Restorative Justice, 28 Juni, tiga hari setelah ditahan. Thomas meminta maaf di hadapan kepolisian, dan berjanji tidak mengulanginya serta bijak bermedia sosial.

“Saya sudah perintahkan untuk restorative justice dan yang bersangkutan sudah minta maaf dan menyadari kekhilafannya, serta janji tidak mengulang dan akan bijak bermedia sosial,”kata Kapolda Maluku, Irjen Lotharia Latif dikutip Antaramaluku.com, 28 Juni 2022 lalu.

Pasal Karet

Penangkapan Thomas disoroti beberapa lembaga dan elemen masyarakat. Kepala Komnas HAM Perwakilan Maluku, Djuliyati Toisuta mengatakan, salah satu tujuan dari negara demokrasi adalah membentuk situasi perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. Perlindungan yang wajib diberikan di negara demokratis adalah kebebasan setiap orang untuk berpendapat dan berekspresi sebagaimana diatur di dalam Pasal 28 E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sebagai negara dengan kedaulatan yang berada di tangan rakyat, jelas Djuliyati, perlindungan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat dapat mendukung pengawasan, kritik, dan saran terhadap penyelenggaraan pemerintahan.

“Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik di Pasal 19 ayat (2) memberikan jaminan bahwa setiap orang memiliki hak untuk berpendapat tanpa campur tangan dan memiliki hak atas kebebasan menyatakan pendapat, hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, karya seni, atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya,”kata Yuli lewat rilis yang dikeluarkan beberapa jam setelah Thomas dibebaskan.

Olehnya itu, Komnas HAM Perwakilan Maluku menyesalkan tindakan penangkapan terhadap Thomas Madilis karena terindikasi kuat sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat dan berekpresi serta bertentangan dengan Pasal 23 Ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Tindakan penangkapan tersebut juga telah mencederai tekad Polri untuk menjadi Polri yang “Presisi”, yaitu Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan, sebagaimana program yang diusung Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo sejak menjabat sebagai Kapolri.

Tindakan penegakan hukum atas ujaran kebencian harus mendasar pada niat (intent) yang nyata dari pelaku bahwa mereka melakukan ujaran kebencian untuk melakukan penghasutan tindakan diskriminasi, permusuhan, dan kekerasan. “Ekspresi-ekspresi yang tidak mempunyai niat untuk melakukan penghasutan melakukan tindakan diskriminasi, permusuhan, dan kekerasan dapat dianggap tidak layak untuk diberikan sanksi pidana,”tegas Yuli.

Sementara itu, berdasarkan data Polda Maluku, terdapat 41 kasus kasus pelanggaran UU ITE di Maluku tahun 2021. Mengalami penurunan dibanding 2020 yang mencapai 51 kasus. Namun, tidak ada rincian kasus, terutama terkait ujaran kebencian dan pencemaran nama baik.

Menurut Tajudin Buano, Ketua AJI Ambon, sejumlah pasal dalam UU ITE membuat jurnalis sangat berisiko menjalankan profesinya. Antara lain, pasal 27 ayat 3 tentang defamasi atau pencemaran nama baik.

Pasal ini telah menjerat Bahrul Walidin, Pemimpin Redaksi Metro Aceh, 24 Agustus 2020 dan Tuah Aulia Fuadi, jurnalis Kontra.id di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara. Kemudian, pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian.

Jurnalis Banjarhits.id/Kumparan di Kalimantan Selatan, Diananta Sumedi, divonis 3 bulan 15 hari penjara karena beritanya berjudul “Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel”, dinilai menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan.

Selanjutnya, pasal 40 ayat (2b). Pasal tersebut memberikan kewenangan pada pemerintah melakukan pemutusan akses dan atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum. “Jadi, kebebasan berekspresi dan kebebasan pers dikekang lewat UU ini,”kata dia.

Revisi UU ini diupayakan masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), karena korban terus bertambah. AJI bersama sejumlah masyarakat sipil terus memperjuangkan agar pasal-pasal “karet” di UU ITE dihapus. “Kita berharap UU ITE segera direvisi. Koalisi, termasuk AJI tetap mengawal proses ini hingga tuntas,”tandasnya.

Bebas Namun Bijak

Menurut Roesda Leikawa, Koordinator Wilayah Masyaakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Perwakilan Maluku, media sosial adalah wadah untuk mengekspresikan diri. Konsep kebebasan berekspresi benar-benar mereka gunakan dalam akun media sosialnya. Apapun yang dilihat, dengar, dan rasakan akan diungkapkan langsung tanpa memikirkan dampak ke depannya.

Terkadang postingan seseorang akan dianggap tidak sopan bahkan merendahkan keberadaan individu, organisasi, atau instansi yang memiliki kredibilitas di tengah-tengah masyarakat.agar tidak terjerat hukum, saran Rusda, sebaiknya pengguna internet perlu mengetahui etika dan bijaksana dalam bermedia sosial.

“Orang-orang yang melihat postingan kita di media sosial itu adalah manusia nyata, namun terhubung dengan jaringan internet atau melalui dunia maya. Artinya mereka juga bisa memberi kesimpulan atas apa yang mereka baca dari postingan-postingan yang berseliweran di media sosial, sehingga kita harus sadar bahwa tata krama dalam menggunakan bahasa yang baik di dalam ruang digital itu sangat penting, supaya tidak menimbulkan kesalahpamahan antar sesama pengguna media sosial”, katannya, 20 Juli lalu.

Roesda juga menegaskan agar pengguna media sosial tidak memposting berita hoaks. Informasi yang sumbernya tidak jelas, tidak miliki data yang kuat, atau cenderung provokasi sebaiknya jangan dibagikan. Begitu juga dengan para pembaca supaya tidak mudah mempercayai postingan yang tidak jelas itu.

“Gunakan akal sehat dalam menerima informasi di media sosial. Pastikan beritanya benar dengan melakukan cek fakta terlebih dahulu. Saring sebelum share (membagikan),” tegas Roesda. (*)

Penulis : Riyan Suatrat (JW Ambon / WPI Ambon)

Sumber foto : google.com

 

Amina, Perempuan Tulang Punggung Keluarga yang Menopang Hidup 6 Orang

Amina, Perempuan Tulang Punggung Keluarga yang Menopang Hidup 6 Orang

AMBON, JW.—Bagi Amina, perempuan berusia 53 tahun asal Batu Pagar, Dusun Taeno, Desa Rumah Tiga, Kecamatan Teluk Ambon, Kota Ambon hidup berarti bekerja keras untuk kehidupan anak dan cucunya. Suaminya meninggal pada 17 April 2020 karena kecelakaan lalu lintas. Sejak itu, ia menjadi tulang punggung keluarganya.

Amina tinggal dengan anaknya Karmila yang berumur 27 tahun, cucunya Salsabila berumur 8 tahun yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar Madrasah Ibtidaiyah. Serta cucunya yang lain, Safril yang rencanaya tahun ini masuk sekolah karena sudah berusia 6 tahun.

Selain itu, ada keponakan yang tinggal bersama mereka yaitu bernama Sugeng berusia 23 tahun kuliah di Universitas Pattimura Ambon, Putri berumur 21 tahun kuliah di Universitas Pattimura Ambon, serta Anas yang masih duduk di bangku SMA.

Tiga keponakannya ini tinggal bersama ibu Amina untuk menyelesaikan kuliah dan sekolah mereka disini, memang Amina tidak membayar uang kuliah dan sekolah mereka, namun untuk makan sehari-hari Amina harus bertanggunga jawab atas mereka.

Artinya, Amina harus menjadi kepala keluarga bagi 6 orang yang tinggal bersamanya.

“Saya harus bekerja keras untuk menghidupi keluarga saya,”ucap dia, pertengan Juni lalu.

Amina bercerita, anaknya yang bernama Karmila juga sudah berpisah dengan suaminya 2 tahun yang lalu setelah ayahnya meninggal dunia. Akibat keadaan ini Amina harus bekerja keras untuk bertahan hidup.

Untuk mencukupi kehidupan sehari-hari Amina dan anaknya berjualan di Pujasera Universitas Pattimura Ambon. Namun, pada saat pandemi Covid 19 menjadi pukulan terbesar karena kehilangan suami dan pendapatnya menurun.

Sebelum pandemi Covid-19, Amina bisa memperoleh pendapatan sebesar Rp1 juta perhari, namun terjadi pandemi pendapatan menjadi Rp. 200 ribu – 300 ribu perhari.

“Biasanya nasi dijual 2 kg saja tidak habis. Kadang saat melonjaknya Covid-19 harus berhenti berjualan sampai 2 minggu,” kata Amina menceritakan kondisinya saat Covid-19 masih tinggi.

Namun, setelah Covid-19 berkurang, ada kelegaan dalam hatinya. Kini nasi yang dimasak 2 kg habis dijual, begitupun gorengan. Sehingga pendapatannya naik sedikit menjadi Rp400 ribu per hari. Selain itu Amina harus juga menyisihkan pendapatannya untuk membayar sewa tempat sebesar Rp750 ribu perbulan agar dapat berjualan.

Setip pagi, pukul 03.30 WIT, Amina mulai bangun melakukan kegiatannya mempersiapkan bahan-bahan dagangannya mulai dari memasak nasi, menyiapkan lauk pauk seperti ikan, ayam, sayuran dan barang-barang yang akan dibawa ke tempat jualan. Selesai itu Amina berangkat pukul 06.00 WIT dengan ojek ke Pujaserah Unpatti.

Tidak ada angkutan mobil, hanya jalan setapak yang muat untuk satu motor. Jalan itu dibuat hasil dari swadaya masyarakat yang tinggal di sana. Karmila, anak ibu Amina akan ikut ke pujasera untuk membantu berjualan setelah selesai mengantarkan anaknya Salsabila kesekolah.

Sesampai di tempat jualannya, Amina merapikan dan menyiapkan bahan-bahan jualannya ketempatnya dambil menunggu Karmila datang, setelah Karmila datang Amina masih harus ke pasar untuk membeli mentimun, kemangi, kol, tahu, tempe, pisang, gula, minyak kelapa, kopi untuk jualannya. Setelah kembali dari pasar Amina mulai menggoreng bahan yang dibantu juga oleh Karmila sambil menunggu pelanggan yang datang.

Jika sudah pukul 15.30 WIT Amina mulai merapikan tempat jualannya umtuk kembali pulang. Pukul 17.30 WIT Amina dan cucunya sampai di rumah.

Namun, Karmila belum langsung pulang ia harus ke pasar untuk membeli bahan yang akan dimasak besok nanti, walaupun jarak yang agak jauh sekitar 3 km dari rumah ke tempat jualannya, Amina tetap bersemangat untuk mencari nafkah bagi keluarganya.(*)

 

Penulis : Nurmawati (JW Ambon)

Bawaslu Maluku dan PPUAD Ajak Difabel Gunakan Hak Politiknya.

Bawaslu Maluku dan PPUAD Ajak Difabel Gunakan Hak Politiknya.

AMBON, JW.—Jumlah difabel di Maluku yang menggunakan hak politiknya pada pemilu naik turun. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Maluku dan Pusat Pemilihan Umum Akses Disabilitas (PPUAD) menjaka difabel aktif berpartisipasi dalam pemilu.

Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi menyebutkan, sebanyak 2.37 pemilih difabel yang tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) menyalurkan hak suara pada pemilihan gubernur 2018 silam. Terdiri dari laki-laki 1.020 dan perempuan 1.351.

Kala itu, tingkat partisipasi pemilih disabilitas cukup tinggi dibandingkan pemilih dengan kondisi fisik normal. Namun, berdasarkan hasil pleno KPU Maluku untuk pemilu serentak tahun 2019, terdapat sebanyak 1.378 pemilih disabilitas yang berhak menyalurkan hak pilihnya atau mengalami penurunan.

Menjelang pemilu 2024, Bawaslu Maluku dan PPUAD mengimbau kelompok difabel menggunakan hak politiknya. PPUAD merupakan lembaga yang beranggotakan penyandang disabilitas yang bersama pemerintah memperjuangkan dan mengawasi hak-hak politik disabilitas.

Keterangan Foto : Sosialisasi hak politik bagi penyandang disabilitas di Desa Batu Merah bersama Bawaslu dan Pejabat Desa Batu Merah, Ambon, Selasa, 28 Juni 2022

“Saudara-saudara penyandang disabilitas mempunyai hak yang sama dengan masyarakat lainnya dalam menggunakan hak politiknya, bisa ikut Pemilu,” kata Ketua Bawsaslu Maluku, Astutty Usman Marasabessy di ruang kerjanya, 18 Mei 2022.

Lebih lanjut Atutty Usman mengatakan, Bawaslu Maluku bersama PPUAD yang bergerak dalam bidang Politik bagi penyandang disabilitas akan mengawasi Pemilu mendatang. “Tujuanya agar saudara- saudara disabilitas dapat memberikan hak politiknya sebagai warga negara,” ujarnya.

Menurut Astuty, selama ini hak politik bagi penyandang disabilitas tidak terlalu diperhatikan baik dalam kalangan keluarga maupun masyarakat. Bahkan bagi petugas-petugas yang di Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas, pasal 13 menyatakan bahwa, hak politik bagi penyandang disabilitas meliputi memilih dan dipilih dalam jabatan oolitik, menyalurkan aspirasi politik baik tertulis maupun lisan, berperan aktif dalam pemilu pada semua tahap dan/atau bagian penyelenggaraannya, memperoleh aksesisibilitas pada sarana prasarana penyelenggaraan pemilihan gubernur, Walikota, Bupati dan lainnya, dan memiliki pendidikan politik.

Setiap orang yang menghalang–halangi dan atau melarang penyandang disabilitas untuk mendapatkan hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 143 dipidanakan dengan pidana penjara paling lama 2 ( dua) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,-(dua ratus juta rupiah). Karena itu, keluarga – keluarga disabilitas harus mendukung penyandang disabilitas dalam pemenuhan hak politiknya.

“Di sisi lain pemerintah wajib menjamin agar penyandang disabilitas dapat berpartisipasi secara efektif dan penuh dalam kehidupan politik dan publik secara langsung atau melalui perwakilan,”pungkasnya.

Penulis : Mien Agisty Rumlaklak / JW Ambon