Mengintip Tradisi ‘Ta’u Nuollo’, Prosesi Unik Jelang Pernikahan Anak Negeri Siri Sori Islam
Keterangan Foto : Tradisi Kupas Kelapa
JW Masohi – Indonesia termasuk Priovinsi Maluku, menyimpan begitu banyak budaya dan tradisi yang ditularkan secara turun temurun.
Selain ciri khas bahasa daerah, kuliner dan berpakaian [busana], budaya serupa juga terjadi dalam prosesi pernikahan.
Salah satu diantarnya adalah proses menjelang acara perkawainan di Kabupaten Maluku Tengah. Misalnya, tradisi ‘Ta’u Nuollo’ atau dalam Bahasa Indonesia berarti kupas kelapa.
Ta’u Nuollo merupakan tradisi unik yang memperkaya kearifan lokal yang berasal dari Negeri Siri Sori Islam, Kecamatan Saparua Timur, Kabupaten Maluku Tengah.
Budaya gotong royong ini telah diwariskan turun temurun hingga generasi terkini. Tradisi ini terbilang unik, karena hanya dianut oleh warga Siri Sori Islam dan hampir terjadi setiap bulan, bila ada prosesi perkawinan anak yang merupakan warga Siri Sori Islam.
Seperti apa tradisi ini? ‘Ta’u Nuollo’ sebenarnya merupakan rangkaian atau tahapan dari sebuah proses yang disebut ‘Louwe Basudarao’ [kumpul orang sudara] yang dilakukan warga Siri Sori Islam dalam membantu setiap warga yang akan menikahkan anggota keluarganya.
Dalam acara ‘Louwe Basudarao’ menu utama yang populer dan disajikan kepada semua warga atau keluarga yang datang atau berkunjung dalam hajatan itu adalah nasi pulut ketan yang ditabur dengan kelapa bercampur gula merah [pulut unti].
Entah sejak kapan tradisi ini dimulai, namun dari penuturan sejumlah sumber, menu ini dipilih karena memiliki makna filosofis yakni pulut ketan yang melekat menggumpal melambangkan satu kesatuan [persatuan] orang saudara.
Uniknya, acara ‘Louwe Basudarao’ juga berlangsung sudah cukup lama. Konsepnya ibarat arisan, dimana semua warga Siri Sori Islam yang akan menjalankan prosesi pernikahan akan diawali dengan tahapan ini.
Keterangan Foto : Menu nasi ketan (pulut unti)
Bagi keluarga atau warga yang datang, pada acara ‘Louwe Basudarao’ akan menyumbangkan sejumlah uang sebagai upaya membantu keluarga yang akan menikahkan anaknya dan disuguhkan menu nasi ketan atau pulut unti ini.
Nah, karena menu utama dan favoritnya adalah nasi ketan dengan taburan kelapa dicapur gula merah itulah, maka penyediaan menu ini memerlukan daging buah kelapa dalam jumlah banyak.
Proses menyediakan daging buah kelapa inilah, kemudian terjadi tradisi ‘Tau Nu’ollo’ itu dilakukan. Tahapan ini, biasanya dilakukan belasan ibu rumah tangga yang datang sehari sebelumnya pada puncak acara “Louwe Basudarao itu.
Para ibu akan duduk bersila dan melakukan kegiatan mengikis kulit ari yang menempel pada bagian daging kelapa. Tujuannya agar hanya tersisa danging kelapa berwarna putih yang akan dimasak bersama pulut ketan.
Ibu Dja, salah satu sesepuh warga Siri Sori Islam di Kota Masohi kepada beritabeta.com mengaku, tradisi “Ta’u Nuollo’ ini sudah mengalami sedikt perubahan.
“Jaman dahulu, kelapa dikupas menggunakan pecahan piring kaca. Tetapi seiring berkembangnya teknologi, kelapa sekarang dikupas menggunakan pisau kecil atau parutan keju,” akuinya.
Menurutnya, kelapa yang sudah dikupas kemudian diparut dan diambil santannya sebagai bahan dasar campuran nasi pulut.
Dja mengaku, jika kulit ari yang menempel pada daging kelapa tidak dikupas, maka santan yang dihasilkan juga tidak sebagus.
“Biasanya santan yang berasal dari kelapa yang tidak dikupas banyak ampas atau residu dan berpengaruh pada warna santan yang tidak putih. Berikut juga akan berpengaruh pada nasi ketannya yang terlihat tidak menarik karena warnanya agak keabu-abuan,” bebernya.
Setelah daging kelapa yang menjadi bahan utama ini disiapkan, selajutnya para ibu kemudian bersiap untuk memasak nasi ketan yang ditabur ampas kelapa bercampur gula merah itu.
Menu ini juga disajikan dengan menggunakan kemasan yang terbuat dari daun pisang. Konon menu ini sudah menjadi menu yang wajib hadir di setiap acara ‘Louwe Basudarao’ dan usinya sebagai menu pavorit pun sudah mencapai ratusan tahun.
Karena menjadi menu utama, banyak dari warga Siri Sori Islam kerap memberi lebel, nasi ketan atau nasi pulut ini sebagai menu termahal, karena hanya ada saat tradisi ‘Louwe Basudarao’ itu berlangsung dan juga kehadirannya disaat warga hadir menyumbang sejumlah uang untuk membantu keluarga yang punya hajatan perkawinan. (*)
Penulis : Edha Sanaky, “Field Staff”,”JW Masohi”.
Komentar Terbaru