082311771819 yppm.maluku@gmail.com
ORANG MUDA, POLITIK DAN DEMOKRASI

ORANG MUDA, POLITIK DAN DEMOKRASI

Menurut KBBI apatis memiliki arti acuh tidak acuh, tidak peduli, masa bodoh. jadi apatis dapat diartikan sebagai suatu sikap tidak peduli dengan segala hal yang terjadi di sekitarnya maupun dalam lingkup yang lebih luas. Karena itu, seseorang yang memiliki sikap apatis lebih cenderung asyik atau menikmati dunianya sendiri. Sehingga ia tidak peduli dengan lingkungan di sekitarnya.

Sikap apatis juga kita jumpai dalam wilayah politik. Apatis memang bukan hal baru di dunia perpolitikan khususnya Indonesia. Apatisme politik sudah ada sejak dulu, namun baru mulai dibahas ketika masa reformasi dimulai. Hingga kini apatisme politik tetap menjadi suatu hal yang masih layak untuk dibahas. Apalagi saat ini era serba digital, di mana setiap orang bebas mengakses informasi dan bebas menyuarakan pendapat di media sosial.
Yang dikhawatirkan adalah saat ini apabila sikap Apatis terjadi di kalangan anak muda. Padahal Anak muda sebagai cikal bakal penerus bangsa. Anak muda sangat dibutuhkan bagi kemakmuran bangsa, para kaum muda ini diharapkan mempunyai ide-ide yang kreatif untuk bisa merubah bangsa ini menjadi lebih baik.

Namun bagaimana jika generasi milenial ini malah menjadi apatis terhadap politik. Contohnya saja masih banyak generasi muda yang acuh tak acuh dalam politk dengan memutuskan untuk golput, hal ini berarti mereka enggan untuk ikut berpartisipasi dalam proses politik di Indonesia, padahal satu suara saja dapat menentukan nasib bangsa kedepannya. Hal itu terjadi karena kaum muda masih menilai politik itu rebutan kekuasaan, urusan orang tua, korupsi, janji-janji politik.

Sehingga ia enggan masuk ke dunia politik dan menjadi apatis dalam politik. Dan apalagi akan memasuki tahun tahun politik. Dibalik itu semua, terdapat upaya yang bisa dilakukan dari segi Pemerintah salah satunya menyediakan akses atau fasilitas-fasilitas yang memadai kepada pemuda-pemuda untuk mendukung kegiatan politik, diantaranya memberikan pendidikan atau sosialisasi politik. Lalu generasi muda dibina untuk memiliki.

Menjelang tahun politik 2024, alih-alih mengembangkan partisipasi politik kritis yang radikal, disinyalir sebagian besar anak muda justru lebih banyak terlibat dalam aktivitas dan memerankan diri sebagai konsumen aktif berbagai produk industri budaya. Memang, internet dan bentuk media baru, termasuk Web 2.0, memiliki karakter bebas kontrol, nondiskriminatif, dan mengatasi kendala ruang. Namun, justru karena karakter itulah anak muda terbawa hasrat kesenangan semata. Di kalangan anak muda digital natives, aktivitas yang penuh dengan Playful surfing pada gilirannya justru memicu rasa ingin tahu yang malas (Supeli dalam Hardiman, 2010: 343), bahkan bukan tak mungkin melahirkan sikap yang apatis terhadap hal-hal yang berkaitan dengan perjuangan demokrasi. Menurut data pemilu menjelaskan keterlibatan orang muda dalam pemilu sebanyak 55%. Keterlibatan anak muda dalam berpartisipasi politik secara umum belum banyak berkembang. Kebanyakan anak muda cenderung apatis atau acuh tak acuh terhadap berita atau informasi politik.

Kesenjangan digital

Apa penyebab partisipasi politik anak muda cenderung rendah? Kesenjangan digital yang terjadi di kalangan anak muda ditengarai salah satu hal yang dipengaruhi dan memengaruhi partisipasi politik daring kelompok digital natives. John Shirley (1992) menyatakan, anak muda yang bersikap apatis cenderung jadi orang yang tak tertarik ide-ide demokrasi atau masyarakat madani, yang mengandung pemahaman tentang aturan main serta konsensus yang memegang peranan.
Kesenjangan digital yang terjadi di kalangan anak muda ditengarai salah satu hal yang dipengaruhi dan memengaruhi partisipasi politik daring kelompok digital natives.

Kesenjangan demokrasi

Menurut Noris (2001), salah satu isu yang perlu dicermati akibat dari kesenjangan digital adalah persoalan kesenjangan demokrasi, yaitu berkaitan dengan penggunaan internet untuk tujuan partisipasi politik.

Selama terdapat persoalan kesenjangan demokrasi, maka masih akan terjadi masalah karena kelompok-kelompok sosial yang termarjinalkan secara politis masih menonjol, dan mereka cenderung menarik diri dari aktivitas politik.

Jika internet sebagai teknologi digital diyakini menjadi media yang mempromosikan demokrasi, tentunya kelompok-kelompok dalam masyarakat sebagai bagian dari masyarakat madani dapat menggunakan potensi demokratis ini sebagai sarana untuk menyalurkan apa yang menjadi aspirasi sosial-politik mereka. Namun, lain soal jika kehadiran internet tak lagi steril dari kepentingan politik.

Orang Muda Ambil peran

Peran orang muda dalam gelaran pemilu dapat diaktualisasikan setidaknya ke dalam tiga posisi. Pertama, dengan melibatkan diri sebagai penyelenggara pemilu di berbagai tingkatan, mulai dari tingkat daerah hingga tingkat desa. Manfaat yang dapat diperoleh dari peran sebagai penyelenggara pemilu adalah pengetahuan empiris dan teknis seputar penyelenggaraan pemilu. Para pemuda akan mengetahui bagaimana kesulitan-kesulitan yang dihadapi di lapangan sebagai penyelenggara pemilu.

Dengan melibatkan diri sebagai penyelenggara pemilu mereka juga akan menyadari bahwa bekerja sebagai penyelenggara tidak semudah yang terlihat. Lagi pula mereka sudah seharusnya merasa malu bila di lapangan masih ditemukan para penyelenggara pemilu yang didominasi oleh generasi berusia di atas 40an. Bagaimanapun pemilu yang berlangsung serentak ini menuntut kecepatan dan efisiensi kerja yang memerlukan fisik prima yang dimiliki para pemuda. Melalui perannya sebagai penyelenggara Pemilu, para pemuda berarti siap untuk menjadi bagian integral dari proses demokrasi.

Tantangan

Memangnya suara orang muda suda didengar?. Tantangan terbesar dalam pemilu yang akan dihadapi pemilih dari generasi orang muda saat ini; sejauh mana mereka mampu mempertahankan independensi pikiran di tengah serbuan opini dan propaganda di tahun politik. Yang paling dikhawatirkan ialah bila di antara para pemuda kita terbawa dan teracuni oleh sentimen-sentimen politik yang diproduksi elite. Termasuk di dalamnya pihak yang dengan sengaja mempersempit sudut pandang dan objektifitas yang dapat mempengaruhi para pemilih pemula.

Pemulihan Pola Pikir Orang Muda

Resiliensi adalah kemampuan untuk bangkitdan pulih ketika segala sesuatunya tidak berjalan sesuai harapan, apakah ketidakberhasilan tersebut dihasilkan dari perencanaan yang tidak efisien atau situasi di luar kendali kita. Resiliensi juga merupakan kemampuan menghadapi situasi sulit dan bertumbuh dari pengalaman yang kurang positif dan dapat membuat kita mencapai tujuan. Salah satu langkah pertama dalam membangun resiliensi adalah mengakui situasi dan perasaan Anda. Dari sana, Anda dapat mengembangkan strategi untuk membantu Anda dalam menghadapi situasi yang tidak direncanakan ketika muncul kembali.

Menyadari bahwa hal-hal tidak selalu berjalan sesuai rencana akan membantu Anda mengatasi rintangan. Belajar untuk menghadapi hal-hal yang tak terduga secara langsung dan melihatnya sebagai tempat belajar dan bertumbuh. Jika sesuatu muncul dan tidak Anda rencanakan sebelumnya, maka Anda tidak akan dapat melupakannya! Kita tidak dapat cakap dalam segala hal! Akui kekuatan dan pencapaian Anda dan pandang kesulitan serta tantangan sebagai cara untuk berkembang lebih jauh.

Ini akan membantu Anda membangun optimisme.Satu hal penting untuk tidak membuang
waktu dan energi untuk menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi. Fokus pada apa yang
dapat Anda kendalikan dan tetap optimis untuk bergerak maju. Melihat hal yang tidak terduga dengan perspektif sebagai kemunduran sementara dan bukan keadaan permanen akan membuat Anda menjadi tangguh. Sangat penting untuk memiliki semangat dan berkomitmen dengan tujuan akhir Anda, karena hal ini akan membantu Anda melewati rintangan-rintangan di sepanjang jalan. Penting bagi pemimpin tim untuk mengembangkan pikiran positif, dan kepercayaan diri pada setiap individu. Beri semangat kepada tim untuk tidak fokus pada ketidakberhasilan dan tidak menyalahkan.

Sebaliknya, fokus kepada solusi dan pembelajaran. Buka kesempatan bagi anggota tim untuk mengembangkan hubungan yang solid dan menumbuhkan empati satu sama lain, hal ini akan membangun ketergantungan dan mendorong mereka untuk bekerja sama mengatasi rintangan.

Oleh : Soleman Pelu / Milenial Inklusif

 

Peran Pemuda dalam Menjaga Kewarasan Sebuah Demokrasi

Peran Pemuda dalam Menjaga Kewarasan Sebuah Demokrasi

Makin banyak pemuda yang ikut dalam proses politik Pilkada dengan membawa aura perubahan positif, maka semakin cepat pula terciptanya demokratisasi di tingkat lokal. Oleh karena itu pemuda lebih senang melihat kiprah pemerintah yang bekerja dengan jelas.

Bukan dengan hal-hal yang jauh dari realitas yang bisa merasakan langsung pahit-manis kehidupan ternyata lebih bisa langsung menyatakan ketidaksukaannya terhadap suatu peristiwa yang merugikan mereka atau merugikan demokrasi.

Bagi jalannya demokrasi, pemuda akan menjadi salah satu penopang yang sepertinya akan menjadi pahlawan baru di setiap negara untuk memperjuangkan kehidupan atau keadilan dan kesetaraan yang lebih baik di dalam kehidupan masyarakat. 

Dengan kata lain, generasi milenial adalah pemuda yang dengan lantang menyuarakan keadilan dan kesetaraan di tengah kehidupan demokrasi yang ternyata dianggap tidak mampu menciptakan keadilan dan kesetaraan. Ini merupakan sebuah realita yang juga harus disikapi oleh generasi selain milenial (*)

Tidak hanya dalam penyelenggara yang diselenggarakan oleh KPU maupun Bawaslu, pemuda juga bisa terjun langsung ke banyak lembaga non-pemerintahan yang fokus terhadap pemilu.

Pemuda harus berperan aktif dalam Pilkada untuk mewujudkan Pilkada yang sehat, memiliki jiwa idealis dan bisa mengawal keberlangsungan penyelenggaraan Pilkada.

Keberanian dan keterbukaan sikap pemuda yang kritis bisa menjadi formula yang efektif di daerah untuk menangkal politik uang [money politics] maupun politik yang menyimpang.

Upaya  membangun peradaban demokrasi dari ruang publik, merupakan peran penting pemuda untuk mencatat sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Sejak masa penjajahan hingga perjuangan merebut reformasi pada 1998, pemuda mampu berperan aktif menjadi pengerak perubahan.

Sadar akan kepentingan pemuda, KPK mendorong generasi muda untuk turut berperan aktif mewujudkan indonesia yang bersih tanpa korupsi serta terhindar dari politik identitas.

Sejarah mencatat bahwa perubahan mendasar sejumlah negara di dunia, banyak diantaranya digerakan oleh kaum muda. Demikian pula fase dan periodisasi sejarah perkembangan bangsa Indonesia, yang diawali dari issu nasionalisme yang dimotori kaum muda.

Perubahan yang dipelopori oleh pemuda tersebut merupakan wujud dari bersatunya pemuda karena memiliki kepentingan yang sama [common interest] yaitu untuk memajukan Indonesia.

Kepentingan bersama tersebut akan semakin menjadi kekuatan yang besar jika diusung oleh pemuda yang memiliki komitmen moral yang tangguh dalam menyongsong negara demokrasi pancasila. Kontribusi pemuda dalam momentum perubahan bangsa tersebut memiliki sisi lain yang paradoks.

Fenomena yang terjadi adalah bahwa pemuda hanya sebagai alat mobilisasi politik semata, setelah awal perubahan dimulai maka pemuda pelopor perubahan tersebut seakan menghilang dan tidak memiliki peran dalam mengawal perubahan yang dipeloporinya.

Bentuk-bentuk rintangan dan perjuangan pemuda dalam ranah kebangkitan bangsa, tidak dapat dipungkiri tidak lebih merupakan sebuah perjuangan yang hampa dalam perspektif upaya mengisi kemerdekaan.

Ada pun pemuda yang turut serta dalam pemerintahan, lebih kepada perwujudan simbol kepemudaan dan cenderung jarang mampu mempertahankan visi dan misi yang sebelumnya diusung, dan yang terjadi tidak lebih dari sebuah regenerasi kepemimpinan bukan proses yang berada pada titik fundamental, yaitu mewujudkan nilai-nilai demokrasi yang sebenar-benarnya.

Oleh sebab itu, pemuda bisa lebih berperan aktif dalam ikut serta pada proses politik di dalam penyelenggaraan Pilkada.

Pemuda dengan penggunaan media sosial yang sangat lekat secara tidak langsung menumbuhkan jaringan-jaringan baru yang timbul diantara para pemuda seperti, organisasi, komunitas dan lainnya yang cenderung dilakukan oleh pemuda saat ini. Partisipasi aktif pemuda bisa meningkatkan angka pemilih.

Makin banyak jumlah pemuda yang ikut berpartisipasi aktif dalam pilkada maka semakin mendorong terciptanya demokrasi lokal yang bersih dan sesuai marwah politik Indonesia.

Makin banyak pemuda yang ikut dalam proses politik Pilkada dengan membawa aura perubahan positif, maka semakin cepat pula terciptanya demokratisasi di tingkat lokal. Oleh karena itu pemuda lebih senang melihat kiprah pemerintah yang bekerja dengan jelas.

Bukan dengan hal-hal yang jauh dari realitas yang bisa merasakan langsung pahit-manis kehidupan ternyata lebih bisa langsung menyatakan ketidaksukaannya terhadap suatu peristiwa yang merugikan mereka atau merugikan demokrasi.

Bagi jalannya demokrasi, pemuda akan menjadi salah satu penopang yang sepertinya akan menjadi pahlawan baru di setiap negara untuk memperjuangkan kehidupan atau keadilan dan kesetaraan yang lebih baik di dalam kehidupan masyarakat. 

Dengan kata lain, generasi milenial adalah pemuda yang dengan lantang menyuarakan keadilan dan kesetaraan di tengah kehidupan demokrasi yang ternyata dianggap tidak mampu menciptakan keadilan dan kesetaraan. Ini merupakan sebuah realita yang juga harus disikapi oleh generasi selain milenial (*)

 

Sumber : https://beritabeta.com/peran-pemuda-dalam-menjaga-kewarasan-sebuah-demokrasi

Membangun Pemilu Inklusif, Aman untuk Difabel

Membangun Pemilu Inklusif, Aman untuk Difabel

Soleman Pelu / JW Ambon (Mafindo Maluku).

JW Ambon – Pemilu legislatif sudah dilaksanakan empat kali pasca reformasi di Indonesia. Pelaksanaan pemilu terus diupayakan kesempurnaan dalam penyelenggaraan untuk meningkatkan kualitas pemilu itu sendiri sebagai wujud konkret kedaulatan rakyat.

Sehingga pada gilirannya akan memberikan citra yang lebih baik terhadap pelaksanaan demokrasi seperti yang dicita-citakan.

Sebagaimana tertuang dalam Asas Penyelenggaraan Pemilu, salah satu instrumen untuk meningkatkan kualitas pemilu. Pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Pasal 2 UU No 8 Tahun 2012).

Tetapi untuk mewujudkan pemilu demokratis seringkali terhambat karena baik secara langsung atau tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja, masih terjadi inequality (ketidaksetaraan) bagi pemilih untuk menggunakan hak pilihnya.

Pesta demokrasi itu, meski sudah sekian lama berlangsung, tetap masih menjadi barang asing yang tak banyak terjangkau oleh sebagian kelompok difabel. Sejak tahun 2004, pemilu saat itu sudah memasukkan isu pentingnya mempertimbangkan aspek aksesibilitas pemilu.

Hak pilih sebagai salah satu bentuk partisipasi politik masuk kelompok hak sipil politik yang merujuk kepada Komponen hak-hak Sipil dan Politik atau International Convention on Civil and Political Right (ICCPR).

Dalam hal ini, hak politik dimaknai sebagai bagian dari partisipasi dalam pemerintahan negara melalui hak memilih dan dipilih. Secara implisit, hak politik ini terkategori dalam kelompok  yang dimaknai sebagai suatu hak yang dijamin oleh negara, tetapi dalam kondisi yang sangat darurat dapat dikurangi tanpa diskriminasi.

Melihat pemilu 2014, sepuluh tahun sejak isu difabilitas digaungkan, perhelatan pemilu belum beranjak dari ketidak berpihakan pada difabel.

KPU sebagai penyelenggara pemilu harus mendasarkan kerjanya pada beberapa prinsip-prinsip, yaitu independen, imparsialitas, integritas, transparansi, efisiensi, profesionalisme, dan berjiwa melayani.

Mengutamakan pada pelayanan (service-mindedness), dalam artian penyelenggara pemilu dituntut untuk mampu memberikan pelayanan yang mengutamakan semua pihak (partai, kandidat, dan masyarakat) dan mengedepankan tata kelola kerja yang dapat dipertanggung jawabkan dari aspek hukum.

Terkait dengan keterlibatan penyandang  difabel  dalam pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum di Indonesia. Meski hak politik kelompok difabel telah tertuang dalam Undang- Undang No.19 tahun 2011, jutaan difabel tidak terakomodasi ketika pemilihan umum berlangsung.

Terhambatnya akses karena pemerintah belum sepenuhnya mengimplementasikan kebijakan tersebut. Di sisi lain, orang-orang difabel belum sadar akan hak politiknya dan masih malu untuk terlibat.

Dalam hal ini negara belum memenuhi hak kelompok difabel, karena negara memiliki persepsi tertentu terhadap kelompok ini. Negara memperlakukan mereka sebagai orang sakit. Padahal, mereka bukanlah orang sakit, tapi punya kebutuhan khusus.

JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat) menemukan ketidakpahaman para penyelenggara pemilu dalam memberikan informasi hingga hari pemungutan suara.

Hak pilih merupakan salah satu bentuk dari partisipasi politik di negara demokratis yang dijelaskan oleh Miriam Budiarjo bahwa konsep partisipasi politik bertolak dari paham bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.

Melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk kepemimpinannya.

Sehingga bagi warga negara, pemilu menjadi penyalur kehendak mereka dalam menentukan pemimpin yang akan memperjuangkan aspirasi mereka. Termasuk dalam pemenuhan dan memperjuangkan hak-hak kelompok penyandang disabilitas.

Perlindungan dan pemenuhan hak kelompok penyandang disabilitas pada pemilu sangat bergantung pada upaya penyelenggara pemilu dalam mempersiapkan dan melaksanakan pemilu yang berprinsip aksesibilitas.

Masalah perlindungan hak pilih penyandang disabilitas juga merupakan isu penting yang menjadi tugas berat tidak saja penyelenggara pemilu namun juga semua pihak.

Penyandang disabilitas sebagaimana dengan orang penyandang non disabilitas memiliki hak dan kewajiban yang sama, termasuk hak dan kewajiban konstitusional, yang meliputi hak ekonomi, sosial, budaya.

Negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi, menghormati, dan melindungi setiap hak yang dimiliki oleh setiap warga negaranya termasuk hak pilih pemilih disabilitas.

Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini yang di jelaskan dalam Media Indonesia. “Pada Pemilu 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat jumlah pemilih penyandang disabilitas sebanyak 1.247.730 pemilih.

Adapun rincian soal pemilih disabilitas yaitu untuk pemilih tunadaksa sebanyak 83.182 pemilih, tunanetra sebanyak 166.364 pemilih, dan tunarungu sebanyak 249.546 pemilih.

Kemudian untuk pemilih dari tunagrahita ada 332.728 dan disabilitas yang masuk kategori lainnya sebanyak 415.910 pemilih “.  Menurutnya, data tersebut seharusnya bisa lebih besar lagi. Ia berharap KPU memastikan mengakomodasi data pemilih penyandang disabilitas dengan organisasi penyandang disabilitas.

Data yang dihimpun Perludem melalui Kementerian Kesehatan, merinci jumlah penyandang disabilitas sebagai berikut; tunanetra 1.780.195 orang, tunarungu 472.852 orang, tunawicara 164.683 orang, penyandang intelektual 402.815 orang, tunadaksa 616.385 orang, penyandang mental 170.120 orang, penyandang ganda 2.401.590 orang. Sehingga jumlah total 6.008.640 orang”.

Berkaitan dengan data yang dijelaskan oleh direktur eksekutif perkumpulan untuk pemilu dan demokrasi data itu memacu kepada keterlibatan penyandang Difabel dalam pemilu, tetapi yang terjadi, masih banyak penyandang difabel yang belum memenuhi hak pilih dan dipilihnya itu.

Secara spesifik jaminan tentang aksesibilitas dalam pemilu dapat dirujuk pada Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD), sebuah konvensi yang mengatur hak penyandang disabilitas.

Di pasal 29 CRPD  yang mengatur tentang partisipasi dalam kehidupan politik dan publik dijelaskan bahwa “Negara-negara harus menjamin hak politik penyandang disabilitas dan kesempatan untuk menikmati hak-hak tersebut atas dasar kesetaraan dengan orang lain, dan harus melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut :

(a) menjamin penyandang disabilitas dapat berpartisipasi dalam kehidupan politik dan publik secara penuh dan efektif, baik secara langsung maupun melalui perwakilan yang dipilih secara bebas, termasuk hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk memilih dan dipilih.”

Di Maluku khusunya, berdasarkan pantauan di sana ada kasus dimana seorang penyandang difabel yang berusia 60 tahun baru 1 kali melakukan pemilu. Kasus lainya terkait dengan penyediaan sarana untuk panyandang difabel  mencoblos bahkan tak sampai ke TPS sama sekali.

Lagi-lagi difabel harus didampingi bahkan dengan pendampingan tanpa kerahasiaan (Form C3 tidak diberikan apalagi ditandatangani).  Data pemantauan menunjukkan bahwa untuk alat coblos yang disediakan oleh KPU RI sekalipun, yakni di tingkat DPD, ketersediaannya di TPS, khususnya di TPS di mana pemantauan berlangsung hanyalah beberapa persen.

Itu berarti pemilih difabel nyaris setengahnya tetap tak bisa menikmati dengan kemampuan sendiri melakukan pencoblosan sebagaimana layaknya pemilih lain. KPU Pusat juga tidak menyediakan alat bantu mencoblos selain bagi kertas suara dengan alasan rumit secara teknis.

Temuan lainnya, ada beberapa TPS yang kurang ramah kepada kelompok difabel. Contoh lainnya, misalnya pemilih datang awal, ngantre. Karena yang bersangkutan tuna rungu, saat dipanggil tidak dengar. Akhirnya, dia balik (pulang) lagi.

Ini yang tidak diperhatikan oleh KPPS.  Kasus lainya yaitu masih banyak penyandang difabel yang belum terdata dengan alasan tidak memiliki KTP selayaknya orang biasa.

Masalah lainnya adalah aksesibilitas materi informasi pemilih dan konten media bagi penyandang difabilitas netra, rungu, dan intelektual. Penggunaan bahasa isyarat pun masih jarang.

Sama halnya dengan pamphlet pendidikan, brosur, dan papan reklame yang hampir tidak pernah dicetak dalam huruf braille atau tersedia dalam format audio atau bahasa sederhana yang bisa dengan mudah dipahami difabilitas netra, rungu, dan intelektual. Kasus ini secara tidak langsung dia melanggar dari undang-undang Demokrasi.

Hak difabel untuk berpartisipasi secara aktif dalam pesta demokrasi Undang-Undang Republik Indonesia No 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas Pasal 13 menyebutkan memperoleh aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota dan pemilihan kepala desa atau nama lain.

Sayangnya,  hal ini banyak tidak dipahami. Informasi ini biasanya tidak sampai pada penyandang disabilitas. Kaum difabel banyak yang tidak tahu bagaimana menyuarakan kesulitan mereka, sehingga akhirnya pasrah dan menerima nasib.

Perlindungan atas hak pilih bagi kelompok penyandang disabilitas terdapat pada Pasal 350 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengisyaratkan agar TPS ditentukan lokasinya di tempat yang mudah dijangkau.

Termasuk oleh penyandang disabilitas, tidak menggabungkan desa, dan memperhatikan aspek geografis serta menjamin setiap Pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas dan rahasia.

Hal tersebut untuk memenuhi hak kelompok penyandang disabilitas dalam aksesibilitas yang merupakan kemudahan yang disediakan untuk penyandang disabilitas guna mewujudkan kesamaan kesempatan.

Pemilu haruslah inklusif. Artinya semua kelompok masyarakat baik kelompok ras, suku, jenis kelamin, penyandang cacat, lokalisasi, aliran ideologis, pengungsi dan sebagainya harus memiliki peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam pemilu.

Tidak ada satu kelompok pun yang didiskriminasi oleh proses maupun hasil pemilu. Hal ini diharapkan akan tercermin dalam hasil pemilu yang menggambarkan keanekaragaman dan perbedaan – perbedaan di masyarakat.

Para penyandang disabilitas sebagai bagian dari warga negara Indonesia berhak terlibat aktif dalam berkehidupan politik.

Pemilih penyandang disabilitas menjadi bagian penting dalam mengukur sukses tidaknya pelaksanaan pemilu. Namun, pijakan regulasi selama ini rupanya tidak sejalan dengan aspek teknis pelaksanaannya, bahkan tidak sejalan dengan tingkat kesadaran para kontestan pemilu itu sendiri.

Dapat dikatakan bahwa kapasitas pengetahuan akan isu penyandang disabilitas, baik bagi para pelaksana, pengawas, maupun pesertanya masih jauh dari harapan.

Semoga dalam masa persiapan menjelang Pemilu 2024 yang tahapannya akan dimulai pada Januari 2022, semua pihak dapat berkontribusi menciptakan pemilu yang ramah terhadap pemilih disabilitas (*)

Penulis : Soleman Pelu / JW Ambon.

Tular Nalar Solusi Lansia Berpikir Kritis

Tular Nalar Solusi Lansia Berpikir Kritis

AMBON, JW.- Pada 2019 program For International Student Assesment (PISA) yang dirilis oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menemukan bahwa Indonesia menempati peringkat ke 62 dari 70 negara, atau 10 dari negara yang memiliki tingkat literasi paling rendah.

Selain itu survei yang dilakukan The United Nations Educational Scientific and Cultural Organization atau disingkat UNESCO soal literasi di dunia, minat baca masyarakat Indoneisa sangat rendah, dengan persentase 0,001 persen atau dari 1.000 orang Indonesia, hanya satu orang yang memiliki minat membaca yang tinggi.

Sementara di Provinsi Maluku, menurut hasil kajian kegemaran membaca 2020 yang dilakukan Perpustakaan Nasional RI, Maluku memperoleh nilai tingkat Kegemaran Membaca Masyarakat, yakni 52,90 atau peringkat 26 dari 34 provinsi di Indonesia, selerti dikutip Liputan6.com.

Selain rendahnya minat baca, saat ini banyak informasi yang beredar di media sosial yang mengandung hoaks, provokasi, ujaran kebencian, isu SARA, dan lain-lain. Apalagi masyarakat dihadapkan dengan dunia digital yang kejahatan sibernya sangat canggih seperti, kebocoran data pribadi dan juga pesan berantai yang diterima secara induvidu ataupun panggilan penipuan yang sering terjadi disekitar kita, hal tersebut menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.

Melihat kondisi tersebut, pada tahun 2020, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) bekerja sama dengan Ma’arif Institute dan Love Frankie dan didukung oleh Google.org bersama-sama meluncurkan Program Tular Nalar. Tular Nalar sendiri berfokus pada kurikulum literasi media dan sebagai sarana untuk latihan-latihan berpikir kritis, dengan mewujudkan berbagai perkakas (tools) pembelajaran; mulai dari video, website, artikel rubrik, dan lain-lain.

Melalui program Tular Nalar, yang meliputi berbagai jenjang, kompetensi literasi media dapat diasah sesuai dengan konteksnya. Kegiatan Tular Nalar sudah berjalan selama dua tahun dengan melatih 26.700 guru, dosen dan guru honorer di 23 Kota yang tersebar di Indonesia termasuk Kota Ambon.

Sedangkan untuk tahun 2022 program ini terfokus pada para lansia karena dianggap rentan terhadap informasi-informasi yang terindikasi hoaks, penipuan dan juga kejahatan digital lainya.

Melalui program Tular Nalar Lansia, MAFINDO Wilayah Maluku baru-baru ini melakukan edukasi kepada warga lansia di Kota Ambon dan Kabupaten Maluku Tengah baik secara online maupun secara offline.

Hasil pantauan Jurnalis Warga (JW) Ambon, salah satu kegiatan Tular Nalar Lansia yang dilakukan secara online dikuti oleh 27 peserta, yang merupakan keterwakilan dari beberapa instansi di kota Ambon, yakni Dinas Komunikasi dan Informasi (Diskominfo) Provinsi Maluku, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku, UPT. Perspustakaan Universitas Pattimura Ambon dan masyarakat lain yang berdomisili di kota Ambon, dan Kabupaten Maluku Tengah.

Kegiatan Tular Nalar yang digelar Mafindo Maluku dalam jaringan atau daring lewat zoom meeting, 2 Juni 2022.

Kegiatan yang berlangsung melalui apliksi Zoom Meeting tersebut, mendapat respon positif dari para peserta. Seperti disampaikan Ismail Sangadji dalam video testimoni oleh tim Mafindo Maluku, Sabtu (2/06/22).
Menurutnya, Tular Nalar hadir sebagai filter atau penyaring dalam menangkal berita bohong atau hoaks.“Semoga dengan Tular Nalar yang diberikan kepada kami warga masyarakat Maluku, dapat kita jadikan sebagai filter untuk menepis isu-isu hoaks yang tidak bertanggung jawab”, kata Sangadji.

Dia juga berharap bisa ikut serta dalam program tular nalar berikutnya, maupun kegiatan-kegiatan MAFINDO yang berhubungan dengan misinformasi dan disinformasi .
Hal serupa disampaikan peserta lainnya, Marlein Manuhutu, yang dikonfirmasi langsung oleh Jurnalis Warga (JW) Ambon.

Menurutnya kegiatan Tular Nalar sangat bermanfaat sekali bagi dirinya, sehingga ia bisa membedakan berita hoaks dan tidak, dan mengklarifikasi berita yang beredar di grup Whatsapp.
“Setelah mengikuti kegiatan ini, ada beberapa grup Whatsaapp yang berbagi tentang informasi, yang menurut saya adalah berita yang tidak masuk akal/akal dan saya langsung memberikan klarifikasi kepada mereka”, jelas Marlein.

Selan itu, ia juga berkeinginan agar MAFINDO Wilaya Maluku dapat bekerja sama dengan Sinode GPM atau kelompok pengajian dikalangan masjid untuk melakukan kegiatan yang sama secara tatap muka.

“Beta punya satu kinginan bahwa kegiatan yang bagus ini baiknya bisa juga dilaksanakan secara offline, lewat jalur perempuan gereja (bekerja sama dengan Sinode) atau kelompok pengajian. Karena kalau online lansia kurang tertarik”, katanya.

Selain kegiatan daring, sebelumnya MAFINDO sudah melakukan kegiatan secara offline untuk warga lansia di Desa Hitulama, Kabupaten Maluku Tengah. Kegaiatan tersebut juga mendapat respon postif dari pemerintah negeri dan juga para peserta.

“Buat beta pribadi kegiatan ini sangat menarik sekali, dan berguna untuk kita selaku masyarakt Negeri Hitu agar dapat bijak dalam menggunakan sosial media dan juga internet,”ujar Jaleha Pelu usai kegiatan di Kantor Desa Negeri Hitulama, Jumat (1/6/22).

Sementara itu, Koordinator MAFINDO Maluku, Roesda Leikawa mengatakan, program Tular Nalar Lansia yang sudah dilakukan di Maluku pada Juni 2022 baik secara online maupun offline diikuti 60 orang lansia dan pra lansia. Sementara di 2021 pihaknya juga sudah memberikan pelatihan Kurikulum Tular untuk 200 guru di Maluku melalui zoom.
“Kami berharap para peserta yang sudah kami latih bisa cakap digital menjelang tahun politik 2024 mendatang”, kata Roesda.

Lebih lanjut ia katakan, pada Agustus mendatang, MAFINDO akan melakukan Focus Group Discussion (FGD) Tular Nalar Lansia 2. Kegiatan Tular Nalar ini, kata Roesda bisa membekali para lansia maupun anak muda untuk berpikir kritis dan tidak mudah percaya dengan informasi-informasi yang didapat, serta tidak terjebak berita hoaks,, penipuan digital dan ujaran kebencian.
“Agustus nanti kami relawan MAFINDO Maluku bersama-sama dengan Tim Tular Nalar dan MAFINDO Pusat akan melaksanakan FGD di Kota Ambon, dengan sasaran lansia dan juga anak muda”, pungkasnya.

Penulis : Abubakar Difinubun (JW Ambon)

Remaja Gereja Kampanye Bahaya Hoaks Lewat Buletin

Remaja Gereja Kampanye Bahaya Hoaks Lewat Buletin

Deskripsi Foto: Remaja Sektor Zaitun mengkampanyekan bahaya hoaks lewat buletin dalam Pekan Kreativitas Anak dan Remaja Jemaat GPM Soya, Klasis Pulau Ambon (29/06).
© SMTPI Sektor Zaitun Jesoya

 

Ambon, JW – “Mudah dimanipulasi untuk kepentingan orang lain adalah akibat dari terganggunya akal sehat karena penyebaran berita bohong. Dengan derasnya pertukaran informasi di internet dan sosial media, setiap orang merupakan target yang rentan terhadap bahaya hoaks. Penting bagi remaja untuk belajar dan menyuarakan isu ini”.

Kutipan di atas disampaikan oleh Rakhel Nanlohy, Rabu, 20 Juli 2022 lalu. Remaja 13 tahun yang tergabung dalam Sekolah Minggu Tunas Pekabaran Injil (SMTPI) Sektor Zaitun Jemaat Gereja Protestan Maluku (GPM) Soya, itu bersamabteman-teman sebayanya menunjukkan ketertarikan terhadap literasi digital dengan memproduksi buletin.

“Belajar literasi digital sangatlah penting agar kita tetap waspada. Kita harus cekatan dan jangan mudah dapat parlente (tipuan) yang nantinya akan merugikan diri kita maupun data-data pribadi yang kita miliki,” tambahnya.

Buletin yang dibuat oleh kelompok remaja ini bertujuan untuk menginformasikan fenomena internet, bahaya hoaks, dan keamanan di dunia digital. Buletin bertajuk “Tabaos Tuhan Paling Bae (Baik)” itu ditampilkan dan dipresentasikan dalam acara Pekan Kreativitas Anak dan Remaja pada 29 Juni lalu, di hadapan seluruh jemaat dan disiarkan secara langsung melalui sosial media Sub Komisi Anak dan Remaja (SKAR) Jemaat GPM Soya.

Dalam kesempatan wawancara yang sama, Ketua Remaja SMTPI Zaitun, Aldo Maitimu (14) menyampaikan pendapatnya bahwa dalam berinternet remaja harus menimbang baik-buruk penggunaannya.

“Hoaks banyak beredar di grup-grup Whatsapp. Misalnya hoaks penawaran uang dan hadiah-hadiah yang menarik. Ada juga undian handphone dan giveaway dalam bentuk link yang mencurigakan. Tak sedikit dengan tujuan sosial. Lewat buletin ini kami ingin menyuarakan bahwa hoaks sangatlah merugikan,” ujar Maitimu.

Pembuatan buletin sebagai media kampanye remaja Zaitun ini melewati proses demi proses bersama para pengasuh sebagai pembina. Buletin yang terbit 4 halaman ini memuat rubrik berita, artikel tips dan trik, profil dan opini remaja, komik, serta karya seni lainnya.

SKAR mengapresiasi remaja Zaitun dalam upaya menyuarakan bahaya hoaks dan mengangkat topik literasi digital di dalam buletinnya. Wakil Ketua SKAR, Mima Tomasila sepaham bahwa banyaknya informasi di internet, harus diimbangi dengan kemampuan memilah yang baik dan bermakna.

“Pekan Kreativitas merupakan wadah bagi anak dan remaja GPM untuk melatih kemampuan mereka dalam berkarya. Remaja Zaitun yang mengangkat isu edukasi hoaks dan literasi digital dalam buletinnya merupakan hal yang sangat positif. Mereka mengajak teman-teman khususnya remaja untuk memilih yang terbaik bagi masa depan mereka,” imbuhnya.

Sebelumnya SMTPI Sektor Zaitun berkolaborasi dengan Mafindo Maluku untuk menyelenggarakan Sharing Session Literasi Digital menjelang paskah, 16 April lalu. Mereka (remaja Sektor Zaitun) diajarkan apa itu hoaks, dampak dan ciri hoaks, serta bagaimana periksa fakta dan pentingnya berpikir kritis.

Gereja sebagai elemen penting di masyarakat harus berperan aktif untuk menciptakan generasi tangguh dalam menghadapi tantangan kedepan. Hal ini disampaikan oleh Barends Unwakoly (24), Ketua Pengasuh SMTPI Sektor Zaitun.

Ia percaya melalui literasi digital, anak dan remaja akan diberikan tameng dalam menerima informasi yang beredar.

“Literasi digital penting. Banyaknya berita bohong yang beredar dapat memengaruhi cara anak-anak berpikir apalagi yang menyangkut politik dan SARA.

Mereka ada dalam tahap belajar dan berhak atas informasi yang benar. Untuk itu SMTPI sebagai wadah organisasi berfungsi menyiapkan penerus tongkat estafet gereja yang tangguh dan pemimpin masa depan yang tidak gampangan,” serunya.

Upaya kampanye ini sangat didukung oleh pihak orang tua. Mona Likumahwa menekankan akan pentingnya antisipasi bahaya berita bohong sejak dini di era yang serba internet apalagi remaja yang aktif dalam menggunakan media sosial.

“Dengan upaya edukasi hoaks, remaja dapat mengerti dan tidak sembarang menerima sebuah informasi. Sebagai orang tua kami sangat bersyukur karena semangat anak-anak. Mereka tidak saja menerima, tetapi aktif dalam mengkampanyekannya,” tuturnya penuh pengharapan.

Respon baik dan apresiasi berdatangan dari berbagai pihak atas upaya yang dilakukan remaja Zaitun untuk menyuarakan bahaya hoaks dan literasi digital.

Banyak yang mengajak untuk melakukan kegiatan koinonia atau kolaborasi kedepan. Buletin kini menjadi agenda rutin pengembangan kreativitas remaja dengan semangat yang membara untuk pemberdayaan.

Penulis : Harry Wellsy Bakarbessy (JW Ambon)

 

Serius Tangani Hoaks di Maluku, YPPM Gelar FGD Literasi Digital

Serius Tangani Hoaks di Maluku, YPPM Gelar FGD Literasi Digital

AMBON, JW–Yayasan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (YPPM) Maluku, melalui program Democratic Resilience (DemRes) yang bekerja sama dengan The Asia Foundation, menggelar Focus Group Discussion (FGD) bersama stakeholder DemRes di Kota Ambon, Kamis (28/7/ 2022).

Manager Program DemRes, Na’am Seknun, yang ditemui usai kegiatan itu mengatakan, FGD yang terfokus pada literasi digital ini, berhubungan erat dengan kerangka program Democratic Resilience, yang lebih fokus pada upaya melawan misinformasi dan disinformasi.


“Lewat FDG ini ada edukasi bersama. Untuk itu kegiatan literasi digital ini sangat bermanfaat untuk menjadi penguatan bagi kelompok dampingan YPPM Maluku dalam program Democratic Resilience itu sendiri”, katanya.

Komunitas dampingan dalam program DemRes ini merupakan penerima manfaat secara langsung dan perwakilan koalisi anak muda, serta jurnalis warga yang menjadi sasaran program. Dikatakan pula bahwa komunitas penting untuk berada dalam diskusi terfokus, mengingat edukasi kepada masyarakat yang dilakukan, melalui komunitas dalam program DeMres ini menyentuh secara langsung kepada masyarakat sipil.

Seknun berharap kegiatan ini dapat dikembangkan oleh komunitas dampingan dalam program DemRes ditingkat komunitas masing-masing dan dititularkan ke masyarakat umum.

“Kami perlu memetakan aktor-aktor kunci ditingkat komunitas, sehingga mampu mengimplementasikan apa yang diperoleh lewat diskusi-diskusi terfokus ini, terkhusus dalam narasi melawan misinformasi dan disinformasi di kota Ambon,” tutupnya.

Pada FGD kali ini, Soleiman Pelu yang merupakan relawan MAFINDO Maluku, memberikan materi terkait cara-cara sederhana memverifikasi sebuah berita dan pengamanan privasi di media sosial. Dalam paparannya ia tegaskan untuk peserta selalu berfikir kritis dalam menerima setiap informasi yang masuk.

Para peserta sangat antusias mengikuti setiap penjelasan narasumber, seperti yang disampaikan oleh salah satu perserta, James Pakniany, yang juga berprofesi sebagai dosen di Institut Kristen Negeri (IAKN) Ambon. Menurutnya literasi digital sangat penting untuk didiskusikan, karena masih banyak anak muda yang belum sadar tentang bahaya digital.

“Beta kira ini sangat penting, karena banyak informasi-informasi yang tersebar di media sosial itu, bahkan mahasiswa pung belum bisa membedakan mana berita bohong atau tidak,” kata James.

Lebih lanjut, ia mengatakan, kegiatan FGD yang dilakukan oleh YPPM ini juga bisa mengundang pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena banyak berita hoaks yang tersebar pada musim pemilu.

“Karena FGD ini penting dan menarik, baiknya bisa diundang dari KPU agar bisa kita sama-sama memfilter informasi-informasi yang menimbulkan kesalahpahaman antara warga disaat momen-momen politik medatang”, tegasnya.

Kegiatan yang berlangsung di Dermaga Caffe Ambon ini, melibatkan perwakilan Komunitas seperti Gerakan Pejuang Perempuan Milineal Maluku, Rumah Milineal Maluku, Komunitas sastra IAIN Ambon, Lembaga Pers Kampus, Akademisi IAKN Ambon, Majelis Ta’lim, Angkatan Muda Gereja Protestan (AMGP) Maluku, dan Perwakilan Disabilitas di kota Ambon.

Penulis : Abubakar Difinubun (JW Ambon)