082311771819 yppm.maluku@gmail.com
Panggung Demokrasi YPPM : Talkshow, Teater, dan Puisi Menuju Pilkada 2024

Panggung Demokrasi YPPM : Talkshow, Teater, dan Puisi Menuju Pilkada 2024

Pilkada serentak yang akan digelar pada 27 November 2024, Indonesia tengah bersiap menyambut pesta demokrasi terbesar di tingkat daerah. Di tengah proses yang krusial ini, partisipasi aktif generasi muda menjadi salah satu elemen penting dalam menjaga integritas pemilu. Dibutuhkan suara dan aksi kritis dari anak muda untuk memastikan Pilkada berjalan dengan adil, transparan, dan jauh dari praktik-praktik yang merusak demokrasi, seperti politik uang dan politisasi SARA.

Sebagai bagian dari upaya ini, Yayasan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (YPPM) Maluku menggelar acara seni bertajuk “Orang Muda Kawal Pilkada 2024, Lawan Politik Uang dan Politisasi SARA”. Kegiatan ini berlangsung pada Sabtu, 24 Agustus 2024, di Lapangan Merdeka, Kota Ambon. Acara ini berbeda dari kegiatan-kegiatan YPPM sebelumnya, dengan rangkaian kegiatan yang mencakup talkshow, pembacaan puisi, stand-up comedy, dan pertunjukan teatrikal yang semua terkait dengan tema demokrasi.

Program Manager YPPM Maluku, Naam Seknun, membuka acara dengan harapan bahwa partisipasi anak muda menjelang Pilkada 2024 dapat lebih kritis. Ia menekankan pentingnya peran generasi muda untuk mengawal proses pemilu agar bebas dari politik uang dan politisasi SARA. “Anak muda harus berdiri di garda depan dalam menjaga demokrasi,” ujar Naam.

Talkshow yang dipandu oleh Wulan Reasoa dan Ode Darmansyah menghadirkan Said Lestaluhu, S.Sos., M.Si., seorang akademisi dari Universitas Pattimura Ambon, serta Wawan Kurniawan, Komisioner KPU Provinsi Maluku. Para narasumber berbagi perspektif dan membahas langkah-langkah strategis dalam mengawal Pilkada 2024, dengan fokus utama pada upaya pencegahan praktik politik uang dan politisasi SARA.

Saat sesi tanya jawab, Wawan Kurniawan menyoroti tantangan dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di dunia politik. Menurutnya, banyak perempuan aktivis yang enggan terjun ke politik, meski berbagai kesempatan sudah terbuka melalui penyelenggara pemilu dan partai politik.

Setelah sesi talkshow, acara berlanjut dengan pembacaan puisi bertema demokrasi oleh Komunitas Literasi. Fitrie El Alifa juga tampil dengan segar melalui stand-up comedy, membawakan tema politik dengan sudut pandang humor. Penonton juga disuguhkan drama teatrikal bertajuk “Demokrasi” yang dimainkan oleh Komunitas Kawan Berfikir, yang berhasil memancing emosi serta kesadaran tentang pentingnya menjaga proses demokrasi.

Sebagai puncak acara, semua peserta, termasuk para pembicara, terlibat dalam deklarasi komitmen bersama untuk mengawal Pilkada 2024 agar bebas dari politik uang dan politisasi SARA. Deklarasi ini menekankan nilai-nilai kejujuran, transparansi, dan kebersamaan dalam mewujudkan proses demokrasi yang bersih.

Naam Seknun kembali menutup acara dengan mengajak generasi muda untuk terlibat tidak hanya di ruang-ruang diskusi, tetapi juga di arena seni. “Kesenian adalah cara lain untuk menguatkan partisipasi anak muda dalam Pilkada. Program Democratic Resilience ini memadukan seni dan politik untuk mendorong keterlibatan yang lebih dalam,” pungkas Naam. (ZNG)

Drama Teatrikal Demokrasi oleh Komunitas Kawan Berfikir

Penerbit : zonamaluku.com

Penulis : Zizing

YPPM Maluku Selenggarakan Diskusi Jelang Pilkada 2024 di Kota Ambon

YPPM Maluku Selenggarakan Diskusi Jelang Pilkada 2024 di Kota Ambon

Yayasan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (YPPM) Maluku menyelenggarakan kegiatan “Diskusi Jelang Pilkada : Memberantas Politik Uang dan Politisasi SARA di Kota Ambon”. Pada hari Sabtu, 24 Agustus 2024 bertempat di Patung Pattimura Lapangan Merdeka, Ambon. Acara ini menghadirkan narasumber seorang akademisi Said Lestaluhu, S.Sos.,M.Si dari Universitas Pattimura dan Komisioner KPU Wawan Kurniawan.

Acara ini juga menampilkan suguhan seni puisi dan drama teatrikal yang dibawakan oleh teman-teman komunitas Kawan Berpikir.

Tujuan dari acara ini adalah untuk menyebarluaskan pemahaman masyarakat dalam mengantisipasi terjadinya politik uang, mencegah maraknya praktik politik uang jelang pilkada serentak 2024 dan mengantisipasi permainan isu SARA dan politik identitas dalam pemilihan kepala daerah.

Dalam acara ini juga mendeklarasi Tolak Politik Uang, Politisasi SARA dan Politik identitas “Kami berkomitmen melawan segala bentuk politik uang, politisasi SARA, dan politik identitas dalam pilkada serentak 2024 dan sepakat mewujudkan pilkada yang bersih dan damai!” Demokrasi Harga Mati!

Penulis : Ode Dermansya

YPPM Maluku Dorong Kolaborasi Media dan Bawaslu Jelang Pilkada 2024

YPPM Maluku Dorong Kolaborasi Media dan Bawaslu Jelang Pilkada 2024

Yayasan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (YPPM) Maluku kembali menggelar diskusi bertajuk “Peran Media Mengawal Pilkada 2024” pada Jumat, 16 Agustus 2024, bertempat di Carita Caffe, Ambon. Diskusi ini diadakan sehari sebelum peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-79, dengan harapan bahwa semangat kemerdekaan dapat menginspirasi pengawasan Pilkada yang lebih efektif dan inklusif.

Diskusi kali ini menghadirkan dua narasumber utama, yaitu Melkianus Watutamata, Staf Divisi Hukum dan Pencegahan Bawaslu Kota Ambon, dan Tajudin Buano, jurnalis dari Ambon Express. Acara tersebut juga dihadiri oleh sejumlah jurnalis Kota Ambon, termasuk Pimpinan Redaksi Media Siwalima, jurnalis perempuan TVRI Maluku, dan wartawan Antara News. Perwakilan organisasi pemuda seperti OKP Cipayung serta Koalisi Milenial Inklusif Maluku juga turut hadir.

Dalam diskusi, Melkianus Watutamata menjelaskan bahwa Bawaslu Kota Ambon telah mulai membangun kerja sama dengan media untuk meningkatkan pengawasan Pilkada 2024. “Peran media sangat krusial dalam memastikan proses Pilkada berjalan sesuai aturan,” ujar Melkianus. Namun, ia mengakui bahwa kerja sama tersebut belum maksimal karena terkendala anggaran.

Tajudin Buano dari Ambon Express menanggapi dengan kritik terhadap kurangnya transparansi Bawaslu Kota Ambon dalam memberikan akses informasi kepada media. Menurutnya, Bawaslu Provinsi Maluku telah membuka lebih banyak ruang kerja sama dengan media, bahkan sudah memiliki grup WhatsApp khusus dengan jurnalis. Ia berharap Bawaslu Kota Ambon bisa mempercepat kolaborasi serupa dengan media lokal.

Pimpinan Redaksi Media Siwalima yang turut hadir dalam diskusi, meminta agar Bawaslu Kota Ambon lebih terbuka dalam memberikan akses informasi kepada media. Ia menekankan bahwa keterbukaan informasi akan membantu media dalam menyampaikan berita yang akurat dan edukatif kepada masyarakat terkait proses Pilkada.

Jurnalis perempuan dari TVRI Maluku juga berharap agar setelah diskusi ini, Bawaslu Kota Ambon bisa membentuk grup WhatsApp khusus dengan jurnalis yang hadir, untuk memudahkan komunikasi dan koordinasi terkait peliputan Pilkada. Hal ini dinilai penting untuk menjaga kelancaran distribusi informasi selama tahapan Pilkada berlangsung.

Diskusi juga diwarnai oleh aspirasi dari komunitas inklusif. Abdul Haris Sualio, Ketua Persatuan Tunanetra (Pertuni) Kota Ambon, meminta agar pada saat pencoblosan nanti disediakan tulisan Braille untuk memudahkan penyandang tunanetra. Ia menekankan pentingnya aksesibilitas bagi pemilih disabilitas agar dapat berpartisipasi secara setara dalam Pilkada 2024. Gibert Reawaruw dari Koalisi Milenial Inklusif Maluku juga menegaskan perlunya pengawalan media terhadap isu-isu aksesibilitas bagi penyandang disabilitas selama proses Pilkada.

Tajudin Buano menutup diskusi dengan menyatakan bahwa media siap mengawal kepentingan kelompok disabilitas dalam pemberitaan Pilkada. “Kami sebagai jurnalis akan terus mengawal aksesibilitas bagi teman-teman disabilitas. Ini adalah tanggung jawab moral kami sebagai pengawal demokrasi,” tegas Tajudin.

Melkianus Watutamata dalam pernyataan penutupnya berjanji akan menyampaikan seluruh masukan yang diberikan dalam diskusi ini kepada pihak Bawaslu Kota Ambon. Ia juga menyampaikan harapannya agar YPPM Maluku dapat menjadi perantara dalam membangun kolaborasi yang lebih erat antara Bawaslu, media, dan organisasi masyarakat sipil. “Kami terbuka untuk kritik, asalkan kritik tersebut membangun. Kami berharap kerja sama ini bisa lebih baik ke depannya,” tutup Melkianus. (ZNG)

 

Penerbit / Penulis : zonamaluku.com / Zizing

https://zonamaluku.com/article_read/yppm-maluku-dorong-kolaborasi-media-dan-bawaslu-je1724002507

 

 

Menuju Inklusi : Tantangan Pendidikan bagi Penyandang Disabilitas Netra yang Masih Tertinggal di Kota Ambon

Menuju Inklusi : Tantangan Pendidikan bagi Penyandang Disabilitas Netra yang Masih Tertinggal di Kota Ambon

Pendidikan untuk disabilitas netra masih menjadi pekerjaan rumah yang harus digarap serius oleh Pemerintah Kota Ambon, Provinsi Maluku. Tak sedikit, netra yang ada di Kota Ambon kesulitan mendapatkan akses pendidikan yang setara.

Seperti yang dialami oleh Sarah (32) yang memiliki masalah penglihatan sejak duduk di kelas 2 di salah satu sekolah menengah pertama (SMP) negeri di Kota Ambon.

Dengan kondisi kesulitan melihat, Sarah yang kala itu berusia 14 tahun tak diizinkan untuk mengikuti ujian kelulusan saat duduk di bangku kelas 3.

Pihak sekolah beralasan tidak ada fasilitas untuk Sarah yang netra. Selain itu sekolah juga menyebut guru-guru yang ada tak memiliki kemampuan untuk mengajar netra seperti Sarah.

Sarah bercerita kala itu keluarganya terus mengupayakan agar ia bisa ikut ujian dan lulus dari bangku SMP.
Namun usaha tersebut gagal dan Sarah pun tak lulus SMP.

“Kami ingin dihargai dan diperlakukan sama seperti teman-teman kami yang lain,” kata Sarah saat ditemui Kamis (4/4/2024).
“Kami juga ingin memiliki akses yang sama untuk belajar dan berkembang, tanpa harus terhalang oleh ketidakmampuan orang lain untuk memahami kebutuhan kami, kami mau diberikan kesempatan yang sama dengan siswa yang lain (non disabilitas) dalam menerima pendidikan,” tambah Sarah.

Kisah serupa juga dialami oleh LIN (23), (bukan nama sebenarnya) seorang netra yang ada di Kota Ambon.
LIN mengakui perjalanannya menempuh pendidikan formal sangat rumit. LIN menempuh pendidikan sekolah dasarnya di salah satu SLB swasta yang ada di Kota Ambon.

Setelah lulus dari pendidikan dasar, ia pun melanjutkan ke tingkat menengah pertama. Namun sayangnya, ia harus berhenti sekolah karena sekolahnya menyatakan bahwa LIN tak memiliki ijazah sekolah dasar.

“SD dan SMP saya itu satu lembaga. Saya sudah kelas 2 SMP, tapi belum mendapatkan ijazah SD. Saya terus menanyakan ijazah SD itu dan tiba-tiba pihak sekolah menyatakan saya tak memiliki ijazah. Sempat kebingungan, tapi itu yang terjadi. Akhirnya saya berhenti sekolah,” kata Lin.

LIN yang putus sekolah tak berhenti belajar. Ia kemudian membuat saluran akun YouTube dan mengekspresikan dirinya melalui musik.

Ia pun menciptakan lagu dan mengunggahnya di saluran YouTube. Ia mengakui, respon positif dari penontonnya memberi energi dan semangat baru baginya untuk terus berkarya.

Tak hanya fokus di YouTube, LIN juga aktif mengikuti kegiatan organisasi untuk netra.
“Saya bertemu dengan orang-orang yang memiliki pengalaman dan perjuangan hidup serupa. Akhirnya kami saling mendukung, tukar pengalaman dan membangun komunitas yang kuat,” kata dia.

LIN mengaku, saat di bangku sekolah, ia dan teman-temannya sesama netra sering kali menghadapi tantangan seperti kurangnya buku teks yang diadaptasi, aksesibilitas fasilitas fisik yang buruk, dan kurangnya dukungan pendampingan yang memadai.

Masalah tersebut menjadi hambatan besar dalam perjalanan mereka untuk mendapatkan pendidikan yang setara dengan rekan-rekan sebaya mereka.

Sementara itu Kepala Bidang Dikdas Dinas Pendidikan Kota Ambon, Dantje Damaling, mengakui bahwa masalah pendidikan bagi disabilitas netra masih menjadi tantangan nyata.

“Kami menyadari masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk meningkatkan aksesibilitas dan kualitas pendidikan bagi siswa netra di Ambon,” ujar dia Kamis (4/4/2024).

Menurut Damaling, salah satu hambatan utama adalah kurangnya anggaran yang dialokasikan khusus untuk pembangunan infrastruktur pendidikan inklusif.

“Kami berusaha mengatasi hal ini dengan menggunakan anggaran yang tersedia secara maksimal, namun tentu saja masih jauh dari cukup,” tambah dia.

Langkah utama yang telah diambil oleh Dinas Pendidikan Kota Ambon adalah peningkatan kesadaran melalui program-program pendidikan dan sosialisasi di sekolah-sekolah.

“Kami juga mendorong penggunaan materi ajar yang disesuaikan untuk memastikan bahwa setiap siswa mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kemampuannya,” jelas Damaling.
Tidak hanya itu, Dinas Pendidikan Kota Ambon juga berupaya memperluas fasilitas fisik yang ramah disabilitas di sekolah-sekolah.

“Kami terus melakukan peningkatan infrastruktur untuk membuat lingkungan belajar lebih inklusif bagi semua siswa, termasuk mereka yang memiliki disabilitas netra,” tambah Damaling.

Namun, dia juga mengakui bahwa masih banyak yang harus dilakukan.
“Kami menyadari bahwa ini adalah perjalanan panjang dan butuh komitmen yang kuat dari semua pihak untuk menciptakan pendidikan yang benar-benar inklusif,” ujar dia.

Sementara itu, aktivis hak disabilitas netra Kota Ambon, Haris Suilo (36) menyambut baik upaya pemerintah. Namun ia mengatakan bahwa langkah-langkah konkret harus segera diambil.

“Kami menghargai langkah-langkah yang sudah dilakukan, tetapi kami juga meminta pemerintah untuk lebih aktif dalam memperhatikan kebutuhan khusus kami,” ujar dia.
Pria yang sehari-hari bekerja sebagai tukang pijat dan penjual pulsa itu mengatakan sejumlah inisiatif telah diluncurkan oleh pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan individu untuk meningkatkan akses pendidikan bagi anak-anak dengan disabilitas netra.

Dari pelatihan guru tentang pendekatan inklusif hingga pembangunan fasilitas yang lebih ramah disabilitas, Menurutnya langkah-langkah tersebut menunjukkan bahwa masih kemungkinan kabar baik untuk difabel netra.

Namun dengan pengalaman pribadinya dan interaksi dengan sesama penyandang disabilitas, dia menjadi lebih sadar akan tantangan yang dihadapi oleh mereka sehari-hari.

“Dengan terus memperjuangkan hak-hak pendidikan yang setara bagi semua anak, termasuk mereka dengan disabilitas netra, kita dapat memastikan bahwa tak seorang pun yang tertinggal dalam perjalanan menuju masa depan yang lebih cerah. Kesetaraan dalam akses pendidikan bukanlah pilihan, tetapi merupakan hak asasi yang harus diperjuangkan bersama-sama,” kata dia.

 Penulis : Giberth Keneth Petrus Reawaruw

Hukum Adat Kei untuk Keadilan Korban Kekerasan Seksual

Hukum Adat Kei untuk Keadilan Korban Kekerasan Seksual

Masyarakat dari Kepulauan Kei, Provinsi Maluku, memiliki aturan yang secara khusus mengatur soal kekerasan seksual. Aturan tersebut berada di bawah payung Hukum Adat Larvul Ngabal. Larvul Ngabal bukan sekadar seperangkat aturan, melainkan cerminan dari nilai-nilai keadilan dan kebersamaan yang diwariskan secara turun-temurun.

Hukum Larvul Ngabal adalah sistem hukum adat tradisional yang mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat, mulai dari hak asasi manusia (HAM), pernikahan, serta kepemilikan dan penyelesaian konflik. Aturannya dibuat berdasarkan nilai-nilai, norma, dan tradisi lokal yang telah turun-temurun.

Hukum Adat Larvul Ngabal terdiri dari tiga hukum dan tujuh pasal. Setiap pasal memiliki sanksinya sendiri. Hukum pertama bernama hukum Nev-Nev yang terdiri dari empat pasal dan mengatur soal tata kehidupan. Hukum kedua bernama Hukum Hanilit atau Tata Kesusilaan. Hukum ketiga bernama Hukum Hawear Balwirin (Hak dan Kewajiban) yang memiliki 1 pasal.

Kekerasan seksual diatur dalam Hukum Hanilit atau Tata Kesusilaan, khususnya pasal 5 dan 6. Pasal 5, disebut dengan Rek Fo Kelmutun, mengatur soal sekat atau batasan pergaulan, termasuk pentingnya menjaga batasan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan di masyarakat Kei.

Secara filosofis, hukum ini menekankan pentingnya menjaga kesucian dan kerahasian dalam hubungan suci antara suami dan istri. Pasal ini juga memperingatkan tentang bahaya pergaulan bebas tidak bertanggung jawab, yang diyakini dapat menimbulkan masalah dan konflik.

Selanjutnya, Pasal 6, Morjain Fo Mahiling, mengatur soal pentingnya untuk menjaga martabat perempuan dan keutuhan rumah tangga dalam budaya Kei. Meskipun perempuan dianggap berharga, mereka menghadapi tantangan dalam menjaga tradisi di tengah pengaruh budaya luar. Pasal 6 juga mengatur laki-laki untuk melindungi perempuan dan menahan diri agar tidak melakukan kekerasan terhadap perempuan.

Selain itu, Pasal 6 juga menjelaskan soal pentingnya bagi perempuan untuk memperoleh pendidikan yang setara dengan laki-laki, tetapi tetap perlu untuk mempertahankan nilai-nilai adat.

Masyarakat Kei menggunakan dua pasal di atas sebagai landasan dalam menangani kasus kekerasan seksual. Hukum Adat Larvul Ngabal juga menjelaskan bentuk-bentuk kekerasan seksual, termasuk Sis Af (membisik, memanggil, dan bersiul), Kifuk Matko (bermain mata), dan Kis Kafir (mencubit atau menyentuh). Kemudian ada A Lebak (memeluk), Val Siran Baraun (membuka pakaian secara paksa atau menelanjangi), dan Morvuan Fo Ivun (menghamili di luar pernikahan).

Setiap pelanggaran memiliki sanksi moral dan denda adat. Sanksi moral biasanya berupa Sib Surak atau nasehat yang disampaikan dalam sidang adat. Denda adat biasanya berbentuk mulai dari pemberian barang adat, emas adat, hingga uang tunai dari pelaku kepada korban sesuai dengan keputusan sidang adat.

Peran Pemangku Adat

Perangkat adat memiliki peran kunci dan penting dalam mengimplementasikan dan menerapkan hukum adat, termasuk isi dari Hukum Adat Larvul Ngabal dalam sidang adat. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Mayor Famur Danar atau orang yang membantu penyelesaian pelanggaran hukum adat, Hasan B Ngabalin.

“Dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual, semua keputusan dilaksanakan dan diputuskan di sidang adat yang dihadiri oleh perangkat adat,” ungkap Hasan Ngabalin.

Hasan menjelaskan bahwa penerapan hukum adat tidak dapat dilakukan tanpa mendapatkan persetujuan dari keluarga korban. Namun, permasalahannya, jangankan persetujuan dari keluarga korban, laporan kasus kekerasan seksual pun masih jarang diterima oleh pemangku adat. Hal tersebut terjadi karena pemahaman tentang hukum adat dan partisipasi aktif dari masyarakat masih sangat kurang di kalangan masyarakat Maluku Tenggara.

Kurangnya pemahaman soal hukum adat justru membuat masyarakat banyak menyelesaikan masalah mereka dengan caranya masing-masing. Contohnya, ujar Hasan, saat ada masalah kekerasan seksual, ada yang malah memilih untuk membakar rumah pelaku dan keluarganya.

Kasus tersebut menunjukan bahwa sekalipun ada kebutuhan penegakan hukum adat dalam penanganan kasus kekerasan seksual, tetapi masih ada tantangan besar dalam mengintegrasikannya ke dalam sistem hukum yang ada.

Di Kepulauan Kei, Hukum Adat Larvul Ngabal sebenarnya sudah menjadi bagian dari mata pelajaran umum wajib pada jenjang pendidikan. Hal tersebut berdasarkan aturan Permendikbud Nomor 79 Tahun 2014 tentang Muatan Lokal Kurikulum 2013. Mayoritas sekolah jenjang menengah di Kepulauan Kei sendiri sudah banyak menerapkan aturan tersebut, tetapi masih banyak masyarakat umum yang tidak terpapar pengetahuan tersebut.

Akademisi dari Universitas Pattimura Ambon, Rachmawati Patty, dalam bukunya yang berjudul Puncak Hukum Larvul Ngabal (2011), menjelaskan bahwa hukum adat menjadi salah satu rujukan hukum dalam penyelesaian kasus kejahatan. Rachmawati juga menilai bahwa hukum adat harus mulai disosialisasikan lewat agenda wajib setiap bulannya oleh pemangku adat kepada masyarakat luas.

“Agar pengetahun mengenai hukum adat tidak hanya bergema di lingkungan akademisi, tetapi juga di berbagai lingkungan masyarakat,” tulis Rachmawati.

Salah satu korban kekerasan seksual, Ela (bukan nama sebenarnya) menilai bahwa isi hukum adat sebetulnya sudah mengakomodir keadilan bagi korban, tetapi justru masih kurang perhatian yang serius dari pemangku adat dan pemerintah dalam menerapkan isinya.

“Ketika kasus yang saya alami tersebar di telinga masyarakat, saya malah mendapatkan stigma buruk, bahkan saya sempat dicap perempuan tidak benar, padahal posisinya saya seorang korban yang seharusnya mendapatkan pembelaan,” ujar Ela.

Ela berasumsi bahwa ia justru mendapatkan stigma karena pelakunya juga berasal dari Kepulauan Kei.

“Apakah karena pelaku juga berasal dari kepulauan Kei sehingga banyak yang malah menyalahkan saya atas yang terjadi terhadap saya?” ujar Ela

“Bahkan para pemangku adat pun tidak ada yang menanyakan dan memberikan perhatian terhadap kasus yang saya alami, padahal saat itu saya yakin sekali bahwa kasus saya sudah terdengar di masyarakat luas” lanjutnya.

Sosiolog asal Kepulauan Kei, Ali H Katmas, menyatakan bahwa kasus kekerasan seksual di Kepulauan Kei layaknya gunung es karena sedikit yang terlihat dan banyak yang tertutupi. Kasus juga banyak yang berujung dengan memunculkan stigma yang negatif terhadap korban, sebagaimana yang dialami oleh Ela. Terlebih, dengan adanya pandangan dari masyarakat bahwa kasus kekerasan seksual seharusnya tidak dibeberkan dan merupakan aib bagi korban oleh masyarakat.

Kondisi ini menjadi lebih buruk karena banyaknya penafsiran tentang makna dari isi Hukum Adat Larvul Ngabal. Pasalnya, banyaknya tokoh adat dan masyarakat yang ikut menafsirkan arti dari hukum tersebut.

Pentingnya Transformasi

Ali Katmas menyampaikan sebetulnya penting bagi pemangku adat untuk menyediakan ruang pengaduan dan ruang diskusi terkait pelanggaran adat, khususnya kasus kekerasan seksual.

“Hal ini menjadi semakin penting mengingat salah satu filosofi masyarakat Kei, yakni rela mati untuk saudara perempuan,” ungkap Ali saat diwawancarai di Perpustakaan Bapele Tual, Kepulauan Kei, Maluku, pada Sabtu (20/4).

“Seharusnya pemangku adat bisa lebih banyak bertukar pikiran dengan para sosiolog, politisi, akademisi, perempuan hingga para aktivis, untuk sama-sama mendiskusikan bagaimana hukum adat bisa menjadi hukum wajib untuk sebuah kejahatan yang terjadi di Kepulauan Kei,” lanjutnya.

Namun, permasalahannya, jelas Ali, mayoritas pemangku adat yang merupakan generasi usia lanjut dan sulit untuk mendengarkan masukan dari generasi muda.

“Karena hukum adat harus bertransformasi, bukan lagi sekedar memberikan hukuman pada pelaku, tetapi harus melihat kondisi pemulihan dan perlindungan bagi korban, maka dari itu, saya juga sangat merekomendasikan adanya posko pengaduan adat di Kota Tual dan Maluku Tenggara sebagai wadah untuk pengaduan bagi para korban dan keluarga korban,” ujar Ali.

Hukum Adat Larvul Ngabal memang sudah mengakomodir keadilan untuk korban, terutama dalam memberikan sanksi yang sepadan untuk pelaku. Namun ia belum mengatur layanan pemulihan secara psikologi untuk korban. Selain itu, apabila korban mengalami luka secara fisik, hukum adat belum bisa mengakomodir kepentingan-kepentingan korban, selain yang tertera pada isi hukum adat di atas.

“Saya sama sekali tidak mendapatkan pemulihan baik dari lembaga adat maupun lembaga negara tempat saya melaporkan kasus yang saya alami, padahal saya mendapatkan kekerasan juga secara fisik, tetapi tidak ada pendampingan, khususnya oleh lembaga adat untuk saya,” ungkap Ela.

Aktivis perempuan Kepulauan Kei, Pena Vina juga menyampaikan bahwa Hukum Adat Larvul Ngabal sudah sangat tegas mengatur tentang bentuk pelecehan seksual dan sanksi adat. Hal tersebut sudah cukup untuk memberikan keadilan pada korban dalam konteks pemenuhan denda adat.

Namun, hukum adat ini susah dijalankan dan diterapkan oleh pemangku atau lembaga adat itu sendiri. Di Kepulauan Kei, lembaga adat itu dikenal dengan sebutan Badan Saniri Ohoi. Menurut Pena Vita, masih perlu ada suatu forum untuk membahas lebih detail mengenai isi dari hukum adat ini. Kemudian perlu juga adanya kerja sama antara lembaga adat dengan pemerintah, seperti Komnas Perempuan, yang memiliki peran sangat penting dalam penanganan kasus kekerasan seksual.

Pena Vina juga menyampaikan agar lembaga adat perlu lebih objektif dalam menjalankan pengadilannya. Jangan sampai, ujarnya, proses penanganan kasus kekerasan seksual justru terpengaruh oleh kepentingan politik atau ikatan kekeluargaan antara pelaku dan pemangku adat.

“Harapan kami pun sebagai aktivis perempuan untuk selalu dilibatkan dalam berbagai hal menyangkut keperempuanan, apalagi kita tahu bahwa di Kei sendiri, setiap tahun, kita merayakan hari besar salah satu tokoh perempuan pencetus hukum adat, atau yang biasa kita sebut dengan Peringatan Hari Nen Dit Sakmas,” tegas Pena Vina.

“Sekali lagi, saya mewakili semua perempuan Kei, ingin agar Kepulauan Kei bersih dari tindakan amoral dan keji, apalagi yang dilakukan oleh lelaki asli Kei,” lanjutnya saat diwawancarai via Whatsapp pada Minggu (21/4).

Pendamping korban kekerasan seksual dari Kei, Emma Hanubun, menyampaikan bahwa untuk mendukung penghapusan masalah kekerasan seksual, masyarakat Kei dari usia anak hingga dewasa, perlu menerima edukasi seksual yang sesuai dengan usianya secara utuh.

“Edukasi seksual perlu diseriusi dan diajarkan bukan hanya kepada anak-anak dan remaja, tetapi kepada orang tua dan juga masyarakat awam. Jika orang tua memahami pola edukasi seksual dengan baik, tentunya dapat mengurangi kasus kekerasan seksual dan tidak menutup kemungkinan bisa menghilangkan stigma yang melekat pada korban kekerasan seksual yang selama ini dianggap aib oleh kebanyakan masyarakat,” ujar Emma.

Kurangnya pemahaman dan edukasi seksual, termasuk soal kekerasan seksual, membuat korban yang mayoritas perempuan justru mendapatkan stigma dan tekanan yang besar dari masyarakat.

“Perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual justru kebanyakan semakin ditekan karena adanya relasi kuasa. Edukasi tentang kesetaraan dan keadilan sangat penting disebarluaskan di seluruh kalangan masyarakat untuk mengakhiri ketimpangan antara laki-laki dan perempuan,” kata Emma.

Sebagai penutup, Emma yang juga merupakan perempuan Kei berharap agar masyarakat lebih peduli terhadap kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di Tanah Kei. Dirinya juga berharap agar masyarakat harus lebih terbuka dengan memanfaatkan teknologi untuk mencari informasi tentang kekerasan seksual.

“Harapan lain juga semoga masyarakat Kei lebih mengetahui, memaknai dan menerapkan pasal-pasal dari Hukum Larvul Ngabal bahwa perempuan tidak akan menjadi rendah atas hal-hal buruk yang terjadi di luar kuasanya,” tutup Emma saat dihubungi pada Jumat (10/4) lalu.

Oleh: Fauziah A Ngabalin

Hadiri Debat Kandidat Caleg Muda, Ini Pesan PJ Walikota Ambon

Hadiri Debat Kandidat Caleg Muda, Ini Pesan PJ Walikota Ambon

AMBON,KilasMaluku.- Penjabat Walikota Ambon, Drs. Bodewin Melkias Wattimena, M.Si, menghadiri Debat Kandidat Lintas Isu Dalam Bingkai Demokrasi Maluku Menuju 2024 di Kota Ambon, dengan tema “Inovasi dan Tantangan Menelisik Kepentingan Orang Muda Dalam Pemilihan Legislatif Di Maluku”, yang berlangsung di Pattimura Park. Sabtu (16/12/2023).

Kegiatan yang di selenggarakan Yayasan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (YPPM) Maluku tersebut menghadirkan Lima (5) Calon Legislatif (Caleg) muda sebagai Narasumber untuk mengadu gagasan serta menyampaikan Visi dan Misi dari masing-masing kandidat.

Kegiatan ini merupakan “Program Democratic Resiliance (DemRes)” yakni dukungan dari Pemerintah Australia yang dijalankan oleh The Asia Foundation melalui mitra lokal yakni YPPM Maluku.

Penjabat Walikota Ambon Bodewin Wattimena dalam sambutannya mengatakan, kegiatan ini merupakan kesiapan dari calon legislatif untuk melihat bagaimana membangun daerah kota ini sampai ke tingkat pusat.

“Kita harus memahami bahwa pemilu yang akan kita laksanakan di tahun 2024 merupakan sebuah media yang sangat penting, untuk itu kita harus memilih para calon pemimpin kita, baik itu presiden dan wakil presiden, tetapi juga para anggota legislatif mulai dari DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten Kota yang ada di Indonesia”, ujarnya.

Untuk itu, kata Wattimena, dengan memanfaatkan sarana demokrasi seperti sekarang ini tentu melibatkan semua pihak, karena itu kita perlu mengharapkan pemilu yang bebas, umum, rahasia, jujur dan adil, sehingga kita bisa menghasilkan pemimpin berkualitas seperti yang kita inginkan.

Dijelaskan, untuk dapat mengetahui anggota legislatif yang berkualitas itu tidak bisa dilihat dari spanduk dan baliho yang dipasang, tetapi harus mendengar apa visi dan misi mereka, ide dan inovasi yang akan mereka buat untuk mensejahterakan masyarakat.

“Kalau mereka tidak mendapatkan tempat, wadah, untuk menyampaikan hal itu, maka kita bisa saja salah memilih,” terangnya.

Menurut Wattimena, debat kandidat merupakan sarana dan prasarana kepada masyarakat untuk mengetahui ide, gagasan mereka dalam menentukan pilihan mereka.

“Sebenarnya saya tidak melarang ASN untuk menghadiri kegiatan seperti ini, yang penting kita netral dan tidak menggunakan atribut partai yang menyalahi aturan yang sudah ditetapkan. Tepati kita juga ingin mendengar visi dan misi para pemimpin yang akan bertarung dalam pesta demokrasi 2024 nantinya”, tandasnya.

Diketahui dari kelima narasumber tersebut yakni, Ketrin Wokanubun dari, Partai PDIP dapil Ambon 1, Malik Raudhi Tuasamu, Caleg Partai PKS dapil Ambon 2, Debi Puspita Latuconsina, Caleg Partai PDIP dapil Maluku 3, Mahfud Latif, Caleg Partai PPP dapil Ambon 4 dan Femri Tuwanakotta, Caleg Partai Demokrat Dapil Kota Ambon 1. (KM02).