Jari mu harimau mu!
Pepatah ini mewakili apa yang menimpa dua pemuda Maluku, Risman Solissa dan Thomas Madilis. Keduanya sama-sama diciduk polisi karena membuat postingan yang dianggap menghina pihak-pihak tertentu.
Risman dibekuk polisi di kawasan Poka, Kecamatan Teluk Ambon, 25 Juli 2021 silam. Dia ditangkap setelah menyerukan aksi unjuk rasa menolak Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan masyarakat (PPKM) dan menggunggah seruan mencopot Presiden Joko Widodo, gubernur Maluku dan wali kota Ambon di akun facebooknya.
Polisi menjerat Risman dengan pasal 45A sebagaimana dalam pasal 45 ayat 3 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU nomor 11 tahun 2008 tentang Informatika dan Transaksi Elektronik (ITE). Kemudian, pasal 14 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana. Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ambon itu, divonis bersalah oleh hakim Pengadilan Negeri Ambon, dan menjalani hukuman penjara kurang lebih 8 bulan. Kini Risman sudah bebas.
Setelah Risman, giliran Thomas Madilis diciduk aparat Polres Maluku Tengah di rumahnya, Negeri Amahai, Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah, Sabtu, 25 Juni 2022. Polisi menganggap Thomas telah menyebarkan ujaran kebencian lewat status facebooknya yang melanggar UU ITE.
Pemuda 25 tahun ini sempat dijadikan tersangka, meski akhirnya dibebaskan lewat Restorative Justice, 28 Juni, tiga hari setelah ditahan. Thomas meminta maaf di hadapan kepolisian, dan berjanji tidak mengulanginya serta bijak bermedia sosial.
“Saya sudah perintahkan untuk restorative justice dan yang bersangkutan sudah minta maaf dan menyadari kekhilafannya, serta janji tidak mengulang dan akan bijak bermedia sosial,”kata Kapolda Maluku, Irjen Lotharia Latif dikutip Antaramaluku.com, 28 Juni 2022 lalu.
Pasal Karet
Penangkapan Thomas disoroti beberapa lembaga dan elemen masyarakat. Kepala Komnas HAM Perwakilan Maluku, Djuliyati Toisuta mengatakan, salah satu tujuan dari negara demokrasi adalah membentuk situasi perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. Perlindungan yang wajib diberikan di negara demokratis adalah kebebasan setiap orang untuk berpendapat dan berekspresi sebagaimana diatur di dalam Pasal 28 E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sebagai negara dengan kedaulatan yang berada di tangan rakyat, jelas Djuliyati, perlindungan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat dapat mendukung pengawasan, kritik, dan saran terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
“Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik di Pasal 19 ayat (2) memberikan jaminan bahwa setiap orang memiliki hak untuk berpendapat tanpa campur tangan dan memiliki hak atas kebebasan menyatakan pendapat, hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, karya seni, atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya,”kata Yuli lewat rilis yang dikeluarkan beberapa jam setelah Thomas dibebaskan.
Olehnya itu, Komnas HAM Perwakilan Maluku menyesalkan tindakan penangkapan terhadap Thomas Madilis karena terindikasi kuat sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat dan berekpresi serta bertentangan dengan Pasal 23 Ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Tindakan penangkapan tersebut juga telah mencederai tekad Polri untuk menjadi Polri yang “Presisi”, yaitu Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan, sebagaimana program yang diusung Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo sejak menjabat sebagai Kapolri.
Tindakan penegakan hukum atas ujaran kebencian harus mendasar pada niat (intent) yang nyata dari pelaku bahwa mereka melakukan ujaran kebencian untuk melakukan penghasutan tindakan diskriminasi, permusuhan, dan kekerasan. “Ekspresi-ekspresi yang tidak mempunyai niat untuk melakukan penghasutan melakukan tindakan diskriminasi, permusuhan, dan kekerasan dapat dianggap tidak layak untuk diberikan sanksi pidana,”tegas Yuli.
Sementara itu, berdasarkan data Polda Maluku, terdapat 41 kasus kasus pelanggaran UU ITE di Maluku tahun 2021. Mengalami penurunan dibanding 2020 yang mencapai 51 kasus. Namun, tidak ada rincian kasus, terutama terkait ujaran kebencian dan pencemaran nama baik.
Menurut Tajudin Buano, Ketua AJI Ambon, sejumlah pasal dalam UU ITE membuat jurnalis sangat berisiko menjalankan profesinya. Antara lain, pasal 27 ayat 3 tentang defamasi atau pencemaran nama baik.
Pasal ini telah menjerat Bahrul Walidin, Pemimpin Redaksi Metro Aceh, 24 Agustus 2020 dan Tuah Aulia Fuadi, jurnalis Kontra.id di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara. Kemudian, pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian.
Jurnalis Banjarhits.id/Kumparan di Kalimantan Selatan, Diananta Sumedi, divonis 3 bulan 15 hari penjara karena beritanya berjudul “Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel”, dinilai menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan.
Selanjutnya, pasal 40 ayat (2b). Pasal tersebut memberikan kewenangan pada pemerintah melakukan pemutusan akses dan atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum. “Jadi, kebebasan berekspresi dan kebebasan pers dikekang lewat UU ini,”kata dia.
Revisi UU ini diupayakan masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), karena korban terus bertambah. AJI bersama sejumlah masyarakat sipil terus memperjuangkan agar pasal-pasal “karet” di UU ITE dihapus. “Kita berharap UU ITE segera direvisi. Koalisi, termasuk AJI tetap mengawal proses ini hingga tuntas,”tandasnya.
Bebas Namun Bijak
Menurut Roesda Leikawa, Koordinator Wilayah Masyaakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Perwakilan Maluku, media sosial adalah wadah untuk mengekspresikan diri. Konsep kebebasan berekspresi benar-benar mereka gunakan dalam akun media sosialnya. Apapun yang dilihat, dengar, dan rasakan akan diungkapkan langsung tanpa memikirkan dampak ke depannya.
Terkadang postingan seseorang akan dianggap tidak sopan bahkan merendahkan keberadaan individu, organisasi, atau instansi yang memiliki kredibilitas di tengah-tengah masyarakat.agar tidak terjerat hukum, saran Rusda, sebaiknya pengguna internet perlu mengetahui etika dan bijaksana dalam bermedia sosial.
“Orang-orang yang melihat postingan kita di media sosial itu adalah manusia nyata, namun terhubung dengan jaringan internet atau melalui dunia maya. Artinya mereka juga bisa memberi kesimpulan atas apa yang mereka baca dari postingan-postingan yang berseliweran di media sosial, sehingga kita harus sadar bahwa tata krama dalam menggunakan bahasa yang baik di dalam ruang digital itu sangat penting, supaya tidak menimbulkan kesalahpamahan antar sesama pengguna media sosial”, katannya, 20 Juli lalu.
Roesda juga menegaskan agar pengguna media sosial tidak memposting berita hoaks. Informasi yang sumbernya tidak jelas, tidak miliki data yang kuat, atau cenderung provokasi sebaiknya jangan dibagikan. Begitu juga dengan para pembaca supaya tidak mudah mempercayai postingan yang tidak jelas itu.
“Gunakan akal sehat dalam menerima informasi di media sosial. Pastikan beritanya benar dengan melakukan cek fakta terlebih dahulu. Saring sebelum share (membagikan),” tegas Roesda. (*)
Penulis : Riyan Suatrat (JW Ambon / WPI Ambon)
Sumber foto : google.com
Komentar Terbaru