082311771819 yppm.maluku@gmail.com
Peringati Hari Perempuan Nasional 2022, YPPM Kampanyekan Isu-isu Kelompok Termarjinal di Maluku

Peringati Hari Perempuan Nasional 2022, YPPM Kampanyekan Isu-isu Kelompok Termarjinal di Maluku

​AMBON: Program Manager Democratic Resilience (DemRes) YPPM Maluku, Na’am Seknun saat diwawancarai di TribunAmbon.com, Senin (14/3/2022). Menurutnya, penting kiranya untuk mengampanyekan isu-isu terkait perempuan dan kelompok termarjinal di daerah Maluku

Laporan Wartawan TribunAmbon.com, Adjeng Hatalea

AMBON, TRIBUNAMBON.COM – Dalam rangka peringati Hari Perempuan Nasional 2022, Yayasan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (YPPM) Maluku menggelar talkshow di TribunAmbon.com, Senin (14/3/2022).

Dalam program Perempuan Bercerita yang dipandu Host TribunAmbon.com, Adjeng Hatalea itu, YPPM Maluku menghadirkan narasumber yang aktif meneliti dan mengawal isu-isu terkait perempuan di daerah tersebut.

Sebut saja, Prof. Dr. Ir Milana Sahusilawane yang merupakan Ketua Pusat Studi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Universitas Pattimura (Unpatti), dan Ketua Humanum Ambon, yakni Elvira Marlien Marantika.

Program Manager Democratic Resilience (DemRes) YPPM Maluku, Na’am Seknun mengatakan, penting kiranya untuk mengampanyekan isu-isu terkait perempuan dan kelompok termarjinal di daerah tersebut.

Sehingga kesadaran secara kolektif itu bisa tercapai.

“Dengan mengangkat tema International Woman’s Day dalam Bingkai Kemalukuan ini, kami gagas karena memang kami merasa penting untuk mengampanyekan isu-isu terkait perempuan termarjinal. Perlu kita sosialisasikan bersama, sehingga penyadartahuan ke masyarakat luas itu tersampaikan,” ucap Na’am saat diwawancarai usai talkshow di kantor TribunAmbon.com, Senin.

Dia berharap, melalui talkshow yang ditayangkan live di kanal YouTube dan Facebook TribunAmbon.com ini mampu membuka peluang agar semua pihak dapat bekerja sama mengawal isu-isu kelompok marjinal, terutama isu perempuan.

“Out put dari kegiatan ini, semoga ke depan kita bisa berjejaring. Adanya kerja sama dan bentuk support system yang baik dari Pemda, kabupaten dan kota, serta semua jejaring masyarakat agar bisa mengawal isu-isu perempuan di Maluku,” harapnya.

Dia menyebutkan, kasus-kasus kekerasan dan diskriminasi yang dialami kelompok termarjinal di Maluku saat ini menjadi fokus YPPM Maluku melalui program Demres.

“Demres atau Ketahanan Demorasi ini merupakan salah satu program kerja sama YPPM Maluku dengan The Asia Foundation. Program ini menyasar pada kebutuhan teman-teman marjinal. Di antaranya, perempuan, pemuda, anak dan kelompok disabilitas,”

Sementara untuk kebutuhan kelompok difable, pihaknya tengah memperjuangkan hak-hak mereka dalam sebuah payung hukum.

“Saat ini kami tengah menyusun peraturan daerah bersama dengan pihak Kabupaten Maluku Tengah, yang namanya forum disabilitas yang kemudian merujuk kepada Ranperda Kabupaten Maluku Tengah. Upaya audience dan advokasi lainnya masih kami jalankan,” pungkasnya.

Adapun program Demres saat ini diimplementasikan YPPM Maluku di dua kabupaten dan kota, yakni Ambon dan Maluku Tengah.(*)

Artikel ini telah tayang di TribunAmbon.com dengan judul Peringati Hari Perempuan Nasional 2022, YPPM Kampanyekan Isu-isu Kelompok Termarjinal di Maluku, https://ambon.tribunnews.com/2022/03/14/peringati-hari-perempuan-nasional-2022-yppm-kampanyekan-isu-isu-kelompok-termarjinal-di-maluku.
Penulis: Adjeng Hatalea | Editor: Fandi Wattimena

Ibu Loisa, Difabel Berkursi Roda yang Akhirnya Menggunakan Hak Pilihnya

Ibu Loisa, Difabel Berkursi Roda yang Akhirnya Menggunakan Hak Pilihnya

Ibu Loisa (duduk di kursi roda) saat mengikuti kegiatan yang dilaksanakan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Maluku dan Clerry Cleffy Institute di Ambon. (Mien Rumalaklak/JW Ambon)

AMBON,JW. – Di dalam bilik tempat pemungutan suara (TPS), Ibu Loisa (60) terdiam hening. Ia masih mengingat-ingat penjelasan petugas sesaat sebelum ke bilik itu. Tak lama kemudian dia menggunakan paku yang ada di tangannya untuk memilih presiden pilihannya.

Perlahan ia keluar dari TPS dengan kursi rodanya. Senyum lebar terlihat dari bibirnya. Ini adalah pengalamannya selama hidup menggunakan hak pilihnya. Ibu Loisa adalah seorang penyandang disabilitas  memakai kursi roda. Sehari-hari ia bekerja sebagai penjahit.

Hari itu, 19 April 2019 untuk pertama kalinya ia menggunakan hak pilihnya. Saya memeluknya bahagia usai keluar dari bilik TPS.  Tak sia-sia rasanya, meyakinkan Ibu Louisa ini untuk menggunakan hak pilihnya. Selama hidupnya, ia tak punya kesempatan bahkan tak tahu bisa ikut Pemilu. “Saya punya jari hitam,” katanya tertawa menunjukkan jarinya.

Hari itu, saya menjemputnya untuk datang ke TPS. Ia memakai celana warna orange motif kembang-kembang, dengan kaos putih. Kedatangannya bahkan membuat pengurus RT yang jadi panitia terkaget-kaget, karena selama ini oleh keluarga, Ibu Loisa tidak pernah diajak untuk datang ke TPS atau menggunakan hak pilihnya.

“Saya sudah umur 60 tahun, hari ini baru pernah saya pergi ke TPS untuk memberi hak politik, saya merasa senang sekali karena ibu Mien bersama dengan saya,” kata Ibu Loisa kepada saya. Sebagai Ketua Himpunan Wanita Disabilitas  Indonesia (HWDI) Provinsi Maluku, saya lebih merasa bahagia, Ibu Loisa merasakan kebahagiaan.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Maluku, Rifan Kubangun mengatakan bahwa,  masyarakat  disabilitas mempunyai hak politik yang sama dengan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu bagi petugas di TPS harus mempunyai perhatian lebih melayani penyandang disabilitas  yang  akan memberi hak politiknya  ketika pemilihan  umum nanti.

Hal tersebut disampaikan Rifan Kubangun  dalam  seminar Sosialisasi  Hak  Politiknya untuk  penyandang Disabilitas  di hotel Pasific  Kota Ambon  Rabu 9/9/2019.   “Penyandang Disabilitas  sebagai masyarakat  selama ini  kurang diperhatikan dalam  semua tahapan Pemilu,“ kata Rifan Kubangun.

Lebih lanjut, Rifan mengatakan belajar  dari proses  pemilihan presiden, gubernur, walikota, bupati dan juga anggota Legislatief di Indonesia, termasuk di Provinsi Maluku  menunjukkan  perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas belum menjadi isu strategis. Terutama bagi para kandidat yang belum melibatkan penyandang disabilitas  sebagai konstituen.  Sehingga  Kebijakan  yang  lahir belum dapat melindungi  dan menjawab  hak-hak penyandang disabilitas  seperti yang tercantum dalam UU  RI   Nomor 8 Tahun 2016.

“Diharapkan  Pemerintah Maluku melihat arti dari UU  RI  N0.8 Tahun 2016,  agar masyarakat  Penyandang Disabilitas  di Maluku merasakan manfaat dari  undang –  uandang  tersebut” imbuh Rifan.

Penyandang Disabilitas dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 disebut  mempunyai  5 ragam disabilitas  seperti; fisik,  Intelektual, sensorik, mental  dan psikososial. Yang paling menyolok,  hak bagi Penyandang Disabilitas  mental  kearena mereka tidak mendapat hak politiknya. Padahal  sesuai dengan pasal  13  undang-undang tersebut, mereka juga  memiliki hak politik.   Ini belum banyak dipahami  oleh  masyarakat  umum maupun   ASN  di Maluku. (*)

 

Penulis : Mien Rumlaklak (JW Ambon/HWDI)

Bupati Tanimbar Ajak Masyarakat Lawan Kekerasan Terhadap Anak

Bupati Tanimbar Ajak Masyarakat Lawan Kekerasan Terhadap Anak

AMBON,JW.- Bupati Kepulauan Tanimbar, Petrus Fatlolon mengajak seluruh elemen masyarakat untuk berpartipasi melawan kekerasan fisik maupun seksual terhadap anak. Sebab kasus kekerasan terhadap anak terus meningkat di kabupaten itu.

Hal ini disampaikan Fatlolon saat berkununjung sekaligus melakukan sosialiasi pencegahan kekerasan terhadap anak dan perempuan di Desa Adaut, Kecamatan Pulau Selaru, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, 29 Januari 2022 lalu. Kegiatan ini merupakan salah satu upaya pemerintah daerah setempat menekan kasus kekerasan terhadap anak di bawa umur.

“Pentingnya sosialisasi ini  dilakukan karena data kekerasan terhadap anak dan kekerasan seksual terhadap anak di bawa umur sangat meningkat pada tahun 2021. Itu terbukti dengan adanya banyak para pelaku kekerasan seksual dan pelecehan seksual terhadap anak yang sedang menjalani hukuman di Rutan ketika saya melakukan kunjungan di Rutan Saumlaki, ibukota  Kabupaten Kepulauan Tanimbar,”ungkapnya.

Sosialisasi ini juga, lanjut Fatlolon, mendasar  guna mempersiapkan generasi emas Indonesia menuju tahun 2045 yang sudah dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Olehnya itu, generasi muda di Kepulauan Tanimbar terkhususnya di Desa harus bebas dari tindakan kekerasan terhadap anak , baik dari orang tua , guru juga masyarakat.

Menurut  mantan Wakil Ketua DPRD Kota Sorong, Papua Barat dua periode itu, tidak mudah mewujudkan generasi emas Indonesia termasuk di Adaut. Perlu kerja sama dan partisipasi aktif semua elemen masyarakat dan pemerintah.

“Pergerakan bersama  bergandegan tangan antara pemerintah daerah , kecamatan , desa, lembaga sosial kemasyarakatan, Aparatur Sipil Negara (ASN), orang tua haruslah bergerak bersama untuk melakukan perubahan menuju generasi emas Indonesia pada 2045 nanti,”pungkasnya.

Bupati bersama istri, Joice Fatlolon menggandeng Tim Gandong, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal yang berbasis di Ambon, dan Gerakan Membangun (GEMA) Tanimbar dalam sosialisasi itu untuk memberikan pemahaman dan edukasi kepada masyarakat terkait kekerasan terhadap anak dan kekerasan seksual.  Sementara terlibat sebagai peserta adalah 360 warga yang terdiri dari orang tua, staf rukun tetangga, dan guru di Desa Adaut.

Mendominasi

Sementara itu, dikutip iNewsMaluku.id, 1 Oktober 2021, perkara perlindungan anak di Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Provinsi Maluku menjadi yang paling banyak masuk persidangan kasus pidana di Pengadilan Negeri Saumlaki selama dua tahun terakhir. Beberapa kasus yang disidangkan yakni persetubuhan anak di bawah umur, pelecehan seksual dan kekerasan terhadap anak.

Pelaksana Tugas Ketua Pengadilan Negeri (PN) Saumlaki Sahriman Jayadi mengatakan, selama 2020, perkara perlindungan anak mencapai 80 persen dari total 140 kasus pidana yang disidangkan di PN Saumlaki.

Sahriman menyatakan prihatin dengan kondisi tersebut, maka majelis hakim menghukum para terdakwa yang telah terbukti melakukan pelanggaran perlindungan anak dengan pidana penjara hingga 15 tahun. Ia berharap putusan yang berat itu, ada efek jera dan meminimalisasi terjadinya peningkatan jumlah kasus perlindungan anak.

“Sementara untuk 2021, kendati baru di awal bulan Oktober, jumlah kasusnya sudah menjadi 80 persen. Sesuai data register kami ada 80 persen perkara perlindungan anak. Anak sebagai korban dari persetubuhan yang dilakukan oleh orang dewasa, dan juga anak sebagai pelaku,” kata Sahriman.

Menurut dia, terdakwa kasus pelecehan seksual seperti persetubuhan terhadap anak, semua pelakunya adalah orang dewasa. Motif dari para pelaku bervariasi, dan rata-rata para pelaku punya hubungan kekerabatan yang dekat atau masih keluarga dekat dengan korban. (*)

 

Penulis : Joice Sumeanak (JW Ambon)

Mien Agisty Rumlaklak, Difabel yang 17 Tahun Perjuangkan Hak Disabilitas di Maluku

Mien Agisty Rumlaklak, Difabel yang 17 Tahun Perjuangkan Hak Disabilitas di Maluku

Mien Agisty Rumlaklak (dok.pribadi)

JW Ambon – Penyandang disabilitas fisik bukan berarti tidak bisa sukses. Mereka hanya harus bekerja lebih keras, karena memiliki banyak keterbatasan. Nilai-nilai itu selalu disampaikan oleh Mien Agisty Rumlaklak, perempuan penyandang disabilitas fisik yang kini usianya memasuki 62 tahun.

“Karena serba terbatas, maka kita harus bekerja lebih keras, dan harus diakui bahwa lingkungan dan kesempatan tidak begitu luas untuk disabilitas. Tapi asalkan mau berusaha, pasti ada jalannya. Kadang kita hanya belum tahu jalan itu,” ujar Mien saat dihubungi melalui telepon, Selasa (08/02/2022).

Sejak tahun 2005, perempuan yang akrab disapa Ibu Mien ini, sudah aktif di Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), ia dikukuhkan di Makassar sebagai ketua HWDI Wilayah Maluku. Selain itu, Mien Juga menjabat sebagai Ketua Pusat Pemilihan Umum Akses Disabilitas (PPUA) Maluku.

Semula Mien bukanlah orang yang berkebutuhan khusus. Ia tidak terlahir dengan kondisi seperti saat ini. Namun, pada usianya yang ke-5 tahun, ia menderita sakit berat  dan dirawat di rumah sakit.

“Ketika itu saya disuntik oleh dokter sehingga terjadilah seperti ini. Saya tidak menyesal dengan kondisi  seperti ini, karena menurut saya ini merupakan takdir yang diberikan Tuhan kepada saya,” ungkapnya.

Kala itu, Ia dianjurkan untuk operasi agar sembuh total. Tapi karena persentase kesembuhannya relatif kecil, keluarganya juga tidak memiliki dana, tindakan itu urung dilakukan. Apalagi  masih ada biaya perawatan pasca-operasi yang tidak sedikit.

“Saya sempat down, bingung mau apa, mau jalan saja susah. Padahal saya pengen seperti teman-teman yang lain, yang bisa sekolah dan beraktivitas seperti biasanya,” tutur Mien.

Waktu terus berlalu, perempuan kelahiran Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat ini, tidak pernah patah semangat, ia selalu berusaha untuk melakukan hal-hal baik.

“Menurut saya hidup dengan disabilitas tentu menantang dan tak jarang mengecilkan hati ketika membandingkan diri dengan kehidupan orang lain yang tanpa disabilitas. Namun, disabilitas juga mampu menjadi katalisator untuk mendorong kehidupan yang lebih baik jika mengadaptasi sikap penuh harapan dan konsisten dalam mencapai tujuan,” tegasnya.

Meskipun dalam kondisi terbatas, namun semangat dan loyalitasnya untuk memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas di Maluku tidak pernah surut.

 “Saya hanya ingin menunjukan bahwa penyandang disabilitas itu bukan beban. Buktinya saya bisa sosialisasi dengan masyarakat juga diterima, jangan malu. Kita penyandang disabilitas harus ikut partisipasi, jangan pasif,” kata Mien.

Terkait jumlah penyandang disabilitas di Maluku,  dirinya menjelaskan bahwa jumlah disabilitas di Kota Ambon berkisar antara 200 orang, sementara untuk Maluku secara keseluruhan ia tidak memiliki data tersebut. Pihaknya terkendala melakukan pendataan disabilitas untuk daerah-daerah lainnya di Maluku. Sehingga ia berharap agar pemerintah dapat melakukan tugas dan fungsinya untuk memperhatikan penyandang disabilitas.

Sesuai visi dan misi HWDI, yakni tentang menghapus diskriminasi ganda sebagai perempuan dan sebagai disabilitas, mewujudkan wanita disabilitas yang produktif dan memberi manfaat bagi orang. Maka dirinya menegaskan agar hak-hak penyandang disabilitas perlu diperhatikan lagi, karena kata Mien, saat ini penyandang disabilitas belum mendapat tempat di masyarakat.

“Kehadirannya  masih  dipandang sebelah mata. Keterbatasan yang dimiliki, membuat mereka dianggap sebagai kelompok yang lemah, tidak berdaya dan hanya perlu  mendapatkan belas kasihan,” ujar Mien.

Menurutnya  hak-hak disabilitas sebagai manusia seringkali diabaikan. Mulai dari hak untuk hidup, hak untuk memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan hingga  hak kemudahan mengakses fasilitas umum.

Padahal, lanjut Mien, Undang-undang  Dasar UUD 1945, sudah dengan tegas  menjamin para penyandang disabilitas.  Setidaknya dalam Pasal 28  ayat (2)  UUD 1945, menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

Selain itu, pemerintah Indonesia juga telah  meratifikasi Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas pada 2011 lalu, yang tertuang  dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011  tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas. Di mana Indonesia merupakan negara ke-107 yang meratifikasi konvensi tersebut.

Hak-hak para   penyandang disabilitas tersebut mulai dari  hak untuk bebas dari penyiksaan,  perlakuan yang kejam tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, hingga hak untuk  bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena.

Penyandang disabilitas juga  berhak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya, berdasarkan kesamaan dengan orang lain, termasuk di dalamnya hak untuk mendapatkan pelindungan dan pelayanan sosial dalam rangka kemandirian, serta dalam keadaan darurat.

Untuk  menjamin pemenuhan hak penyandang disabilitas,  pemerintah menerbitkan Undang-undang Nomor 18 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas.  Adanya  undang-undang penyadang disabilitas tersebut, tidak saja menjadi payung hukum  bagi penyandang disabilitas, tapi  jaminan  agar kaum disablitas  terhindar dari segala bentuk ketidakadilan, kekerasan dan diskriminasi.

Terkait penyandang disabilitas, diatur dalam pasal 1 UU Nomor 18 tahun 2016. Di sana disebutkan bahwa penyandang disabilitas adalah setiap orang yang  mengalami keterbatasn fisik, intelektual, mental atau sensorik dalam jangka waktu lama, yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitasn untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainya berdasarkan kesamaan hak.

Apalagi sekarang ini pemerintah melakukan program inklusif, yang bertujuan untuk meningkatkan akses, mutu pelayanan  yang ideal bagi orang berkebutuhan khusus, anak-anak berkebutuhan khusus dan memberikan jaminan untuk memperoleh hak pendidikan yang sama seperti anak-anak lainnya.

Meski  telah memiliki  payung hukum,  namun menurut Mien, diskriminasi masih saja terjadi bagi penyadang disabilitas. Hal ini disebabkan karena dirinya juga pernah mendapat perlakuan diskriminasi dari pemerintah.

“Kami hanya dilayani sebatas tamu, padahal kami juga perlu untuk didampingi selayaknya orang yang harus dilayani sesuai hak-hak kami. Maka dari itu saya sebagai ketua HWDI Maluku meminta agar diperhatikan lebih khusus oleh pemerintah”, ungkapnya.

Namun, setelah pihaknya melakukan sosialisasi pada musrembang dan pendekatan lainnya, Mien menungkapkan barulah secara perlahan sifat diskriminasi itu mulai menurun sedikit demi sedikit. Selama masa kepemimpinanya di HWDI Maluku yang sudah mencapai 17 tahun ini, pihaknya akan terus berjuang.

“Saya masih tetap akan berjuang untuk mempertahankan hak-hak disabilitas, karena tidak terlepas dari itu saya memang merupakan disabilitas, walapun saya tidak lagi akan memimpin sebagai Ketua  HWDI, dimana saya diperlukan saya akan tetap memperjuankan dan terus melakukan gerakan terkait dengan penyandang disabilitas,” tegas Mien.

Ia juga berharap kepada pemerintah daerah terkait pelayanan, bahwa perlu ada perhatian khusus kepada HWDI, yakni penyediaan kantor dan anggaran.

“Saya menitikberatkan kepada pemerintah daerah, mengenai pelayanan perlu ada perhatian khusus kepada kami, diantaranya penyediaan tempat kantor yang permanen, agar kami tidak berpindah-pindah tempat dari satu tempat ke tempat yang lain. Serta memberikan anggaran kepada kami sehingga kami bisa mengelola himpunan kami secara organisir,” tandasnya. (**)

 

Penulis : Soleman Pelu (JW Ambon / Relawan Mafindo Maluku)

Lapak di Trotoar, Solusi Pemkot Ambon Masalah Bagi Pejalan Kaki

Lapak di Trotoar, Solusi Pemkot Ambon Masalah Bagi Pejalan Kaki

Tampak lapak yang dibangun di atas trotoar di depan pintu masuk Terminal Mardika Ambon

yang menyisakan setengah meter bagi jalur pedagang kaki, Sabtu (12/2/2022) (Harry Wellsy Bakarbessy/JW Ambon).

JW Ambon – “Tok, sret, plak,” bunyi baja ringan bertemu satu dengan yang lain. Para tukang tampak serius bekerja di sepanjang kali di depan pintuk masuk Terminal Mardika Pasar Mardika pada Sabtu sore, (12/02). Sejauh mata memandang, bilik-bilik persegi berjejer rapi di atas trotoar, dari lokasi peternakan sapi hingga ke arah pantai.

Total 116 lapak dibangun seragam dengan ukuran 2×1,5 meter di atas trotoar. Lapak-lapak itu hanya menyisakan kira-kira setengah meter untuk jalur pejalan kaki.

Pejalan kaki tampak hati-hati melangkah agar tak menabrak lapak atau terpeleset. Alih-alih turun ke badan jalan. Warga yang berjalan kaki di badan jalan mencari celah di antara kemacetan karena banyaknya kendaraan yang terparkir maupun angkutan kota (angkot) yang hendak masuk dan keluar terminal. Belum lagi keramaian gerobak yang berjualan di pinggir jalan.

“Iya, ini sangat sempit” kata seorang pejalan kaki, sambil berlalu.

Trotoar ini dibangun dengan anggaran miliaran rupiah yang dipinjam pemerintah daerah Provinsi Maluku dari PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), salah satu BUMN, untuk menggantikan trotoar lama yang sudah rusak. Trotoar dengan keramik bermotif City of Music (Kota Musik) itu berukuran lebar 3 meter.

Rampung pada pertengahan 2021 lalu, trotoar ini langsung difungsikan. Namun, belum lama dipakai, pejalan kaki dan sopir angkot mulai mengeluh. Penyebabnya, Pemerintah Kota Ambon melalui pihak ketiga telah membangun ratusan lapak di atas trotoar tersebut sejak awal Januari 2022.

“Tidak bisa bangun di atas trotoar dong! Ini menyalahi aturan,” ujar Beny, juru parkir di kawasan itu.

Di depan pintu masuk Terminal Mardika memang merupakan kawasan macet sejak dulu karena dilalui sekitar enam trayek angkutan kota, yakni Latuhalat, Amahusu, Gunung Nona, Hatalae, Mahia, dan Tuni yang mengambil mengambil penumpang di luar terminal Mardika.  Selain itu karena berdekatan dengan Pasar Mardika, dan pejalan kaki yang berjalan di badan jalan.

Penyebab yang terakhir itu sempat teratasi setelah trotoar dengan lebar 3 meter difungsikan. Selain sedikit lebar dari trotoar sebelumnya, juga tinggi sehingga aman bagi pejalan kaki. Tapi belum lama difungsikan, justru pemerintah Kota Ambon membangun lapak di trotoar tersebut yang kembali menyulitkan pejalan kaki.

Beny yakin kemacetan semakin parah ketika pedagang sudah berjualan di lapak-lapak di atas trotoar tersebut. “Pasti jalan ini akan semakin macet ketika pedagang mulai berjualan,”kata Beny yang telah lima tahun jadi tukang parkir di jalan itu.

Sementara di Pantai Losari,  telah dibangun sekitar 100 lapak berukuran 2×2 meter sejak 2021 silam. Pantai Losari berjarak sekitar 100 meter dari depan terminal Mardika.

Sama seperti di depan Terminal Mardika, lapak-lapak itu hanya menyisakan sedepa trotoar bagi pejalan.  Sebagian lapak sudah ditempati. Sisanya masih kosong.

Ani, seorang warga Kota Ambon kerap berjalan di atas trotoar berkeramik coklat itu ketika ke Terminal Mardika. Namun, hari itu, ia terpaksa berjalan di badan jalan. “Kios tidak boleh dibangun di trotoar karena merupakan hak pejalan kaki. Sekarang kita berjalan di badan jalan,” kata dia, dengan wajah kesal.

Cukup berisiko, kata Ani. Pasalnya, ada kendaraan parkir dan melintas yang sewaktu-waktu dapat menabrak pejalan kaki. Belum lagi pejalan kaki dari arah berlawanan, menambah sesak jalan.

“Jadi bingung mau lewat jalan kecil (di depan lapak) ini bagaimana. Kita harus ekstra hati-hat,”tambahnya.

**

Pasar Mardika terletak di bagian utara Kota Ambon. Pasar ini sudah sejak dulu menjadi bagian penting bagi aktivitas ekonomi dan memberikan ruang bagi warga Ambon untuk berdagang.

Pasar yang telah berdiri sejak 40 tahun silam, saat ini tidak mampu lagi mengakomodir kepentingan ekonomi masyarakat. Kondisi pasar dengan terminal yang semrawut, membuat pemerintah melakukan revitalisasi, yang merupakan program strategis nasional dengan anggaran pembangunan Rp160 miliar.

Setelah disetujui Presiden Joko Widodo, relokasi pedagang mulai dilakukan pada September 2021. Sebanyak 1.700 pedagang direlokasi ke tiga lokasi, yakni Pasar Transit Passo, Pasar Ole-Ole, dan Pasar Apung.

Proses relokasi sempat ditolak pedagang lewat aksi demonstrasi bersama mahasiswa dan pemalangan jalan di pasar Mardika. Tiga lokasi yang disediakan pemerintah terbilang jauh dari tempat tinggal pedagang, seperti Pasar Transit Passo dan Pasar Ole-Ole sehingga spedagang tetap menolak.

Sementara pasar Apung yang telah selesai didirikan, tidak bisa menampung seluruh pedagang. Pemerintah Kota Ambon pun berinisiatif membangun lapak dan kios sementara di atas trotoar Pantai Losari meski dituai kritik. Lapak ini solusi dari pemerintah, sekaligus masalah bagi pejalan kaki, supir angkot, dan pengguna jalan lainnya.

“Memang kebijakan yang ditetapkan sebelumnya, semua (pedagang) ke Passo. Tapi secara keseluruhan mereka menolak, dengan alasan mulai dari jarak, biaya operasional apalagi perhitungan pedagang, dagangan mereka pasti tidak laku karena di sana (Passo) ada pasar, makanya itu dibuat lapak dan kios di sana (di trotoar Pantai Losari),”kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Ambon, Jhon Slarmanat seperti dikutip  rri.co, 20 September 2021.

Meski dikritik dan diprotes, pada awal Januari 2022, pemerintah tetap membangun ratusan lapak lagi di atas trotoar di depan pintu masuk Terminal Mardika. Hingga sekarang, baru belasan lapak yang telah rampung dan belum ditempati pedagang.

Lapak Sementara

Revitalisasi Pasar Mardika dikerjakan dengan anggaran multiyear hingga 2023. Artinya, sekitar satu tahun lebih. Kegiatan groundbreaking atau peletakan batu pertama berlangsung Kamis (27/1/2022) dipimpin oleh Gubernur Maluku, Murad Ismail bersama Wali Kota Ambon, Richard Louhenapessy, jajaran Forkopimda Provinsi Maluku dan Kota Ambon, serta stakeholder lainnya.

 

Ratusan lapak dengan harga Rp15-25 juta yang telah dibangun di trotoar, hanya sementara hinggga Pasar Mardika selesai dibangun. “Jadi begini, saya pahami betul itu kondisi. Kenapa sampai lapak dibangun karena kurang lebih 100-150 pedagang juga tidak kebagian. Nah, itu sifatnya sementara,”kata Richard seperti dikutip sejumlah media online di Ambon, Senin (14/2).

Meski sementara, bangunan lapak di atas trotoar telah melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Menurut Tri Jata Ayu Pramesti, S.H., penulis di hukumonline.com,  pasal 45 UU LLAJ, definisi trotoar adalah salah satu fasilitas pendukung penyelenggaraan lalu lintas. Pada pasal 131 diatur bahwa pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan dan fasilitas lain.

Peraturan lain mengenai trotoar diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2006 tentang Jalan. Berdasarkan pasal 34 ayat (4) disebutkan trotoar hanya diperuntukkan bagi lalu lintas pejalan kaki. Sedangkan pasal pasal 63 mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 bulan atau denda paling banyak Rp 1,5 miliar.

Sementara itu, ketentuan pemanfaatan trotoar untuk berjualan memang diatur di dalam, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permepu) Nomor 03/PRT/M/2014 Tahun 2014 tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan (“Permenpu 3/2014”) mengatur pemanfaatan trotoar untuk berdagang/berjualan.

Kebijakan pemerintah yang mengizinkan orang untuk berjualan di trotoar diatur dalam Pasal 13 Permenpu 3/2014 yang berbunyi: (1) Pemanfaatan prasarana jaringan pejalan kaki dilakukan dengan mempertimbangkan jenis kegiatan; waktu pemanfaatan; jumlah pengguna; dan etentuan teknis yang berlaku.  Sedangkan ayat dua (2) Pemanfaatan prasarana jaringan pejalan kaki hanya diperkenankan untuk pemanfaatan fungsi sosial dan ekologis yang berupa aktivitas bersepeda, interaksi sosial, kegiatan usaha kecil formal, aktivitas pameran di ruang terbuka, jalur hijau, dan sarana pejalan kaki.

“Jadi, atas dasar pertimbangan soal pemanfaatan fungsi sosial dan ekologis, bisa saja pemanfaatan trotoar digunakan untuk kegiatan perdagangan berupa Kegiatan Usaha Kecil Formal,”kata Tri Jata Ayu Pramesti.

Namun, jarak bangunan ke area berdagang adalah 1,5 – 2,5 meter, agar tidak menganggu sirkulasi pejalan kaki. Selain itu, jalur pejalan kaki memiliki lebar minimal 5 (lima) meter, yang digunakan untuk area berjualan memiliki lebar maksimal 3 (tiga) meter, atau memiliki perbandingan antara lebar jalur pejalan kaki dan lebar area berdagang 1:1,5.

Itu artinya, trotoar untuk jalur pejalan kaki dengan luas dibawah 5 meter, tidak bisa digunakan sebagai tempat berdagang. Semenara luas trotoar di Pantai Losari dan di depan Terminal Mardika hanya 3 meter.

Sebagian pedagang menyadari, pembangunan lapak dan berjualan di trotoar menyalahi aturan, tapi mereka tetap mengikuti arahan pemerintah karena lapak mereka sebelumnya di Pasar Mardika telah dibongkar untuk pembangunan pasar yang baru.

“Memang benar lapak ini melanggar hak pejalan kaki. Namun terpaksa katong (kami) masuk sesuai arahan pemerintah daripada seng (tidak) dapat tempat berdagang,” ucap Cici, seorang pedagang di Pantai Losari. (*)