Tampak lapak yang dibangun di atas trotoar di depan pintu masuk Terminal Mardika Ambon
yang menyisakan setengah meter bagi jalur pedagang kaki, Sabtu (12/2/2022) (Harry Wellsy Bakarbessy/JW Ambon).
JW Ambon – “Tok, sret, plak,” bunyi baja ringan bertemu satu dengan yang lain. Para tukang tampak serius bekerja di sepanjang kali di depan pintuk masuk Terminal Mardika Pasar Mardika pada Sabtu sore, (12/02). Sejauh mata memandang, bilik-bilik persegi berjejer rapi di atas trotoar, dari lokasi peternakan sapi hingga ke arah pantai.
Total 116 lapak dibangun seragam dengan ukuran 2×1,5 meter di atas trotoar. Lapak-lapak itu hanya menyisakan kira-kira setengah meter untuk jalur pejalan kaki.
Pejalan kaki tampak hati-hati melangkah agar tak menabrak lapak atau terpeleset. Alih-alih turun ke badan jalan. Warga yang berjalan kaki di badan jalan mencari celah di antara kemacetan karena banyaknya kendaraan yang terparkir maupun angkutan kota (angkot) yang hendak masuk dan keluar terminal. Belum lagi keramaian gerobak yang berjualan di pinggir jalan.
“Iya, ini sangat sempit” kata seorang pejalan kaki, sambil berlalu.
Trotoar ini dibangun dengan anggaran miliaran rupiah yang dipinjam pemerintah daerah Provinsi Maluku dari PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), salah satu BUMN, untuk menggantikan trotoar lama yang sudah rusak. Trotoar dengan keramik bermotif City of Music (Kota Musik) itu berukuran lebar 3 meter.
Rampung pada pertengahan 2021 lalu, trotoar ini langsung difungsikan. Namun, belum lama dipakai, pejalan kaki dan sopir angkot mulai mengeluh. Penyebabnya, Pemerintah Kota Ambon melalui pihak ketiga telah membangun ratusan lapak di atas trotoar tersebut sejak awal Januari 2022.
“Tidak bisa bangun di atas trotoar dong! Ini menyalahi aturan,” ujar Beny, juru parkir di kawasan itu.
Di depan pintu masuk Terminal Mardika memang merupakan kawasan macet sejak dulu karena dilalui sekitar enam trayek angkutan kota, yakni Latuhalat, Amahusu, Gunung Nona, Hatalae, Mahia, dan Tuni yang mengambil mengambil penumpang di luar terminal Mardika. Selain itu karena berdekatan dengan Pasar Mardika, dan pejalan kaki yang berjalan di badan jalan.
Penyebab yang terakhir itu sempat teratasi setelah trotoar dengan lebar 3 meter difungsikan. Selain sedikit lebar dari trotoar sebelumnya, juga tinggi sehingga aman bagi pejalan kaki. Tapi belum lama difungsikan, justru pemerintah Kota Ambon membangun lapak di trotoar tersebut yang kembali menyulitkan pejalan kaki.
Beny yakin kemacetan semakin parah ketika pedagang sudah berjualan di lapak-lapak di atas trotoar tersebut. “Pasti jalan ini akan semakin macet ketika pedagang mulai berjualan,”kata Beny yang telah lima tahun jadi tukang parkir di jalan itu.
Sementara di Pantai Losari, telah dibangun sekitar 100 lapak berukuran 2×2 meter sejak 2021 silam. Pantai Losari berjarak sekitar 100 meter dari depan terminal Mardika.
Sama seperti di depan Terminal Mardika, lapak-lapak itu hanya menyisakan sedepa trotoar bagi pejalan. Sebagian lapak sudah ditempati. Sisanya masih kosong.
Ani, seorang warga Kota Ambon kerap berjalan di atas trotoar berkeramik coklat itu ketika ke Terminal Mardika. Namun, hari itu, ia terpaksa berjalan di badan jalan. “Kios tidak boleh dibangun di trotoar karena merupakan hak pejalan kaki. Sekarang kita berjalan di badan jalan,” kata dia, dengan wajah kesal.
Cukup berisiko, kata Ani. Pasalnya, ada kendaraan parkir dan melintas yang sewaktu-waktu dapat menabrak pejalan kaki. Belum lagi pejalan kaki dari arah berlawanan, menambah sesak jalan.
“Jadi bingung mau lewat jalan kecil (di depan lapak) ini bagaimana. Kita harus ekstra hati-hat,”tambahnya.
**
Pasar Mardika terletak di bagian utara Kota Ambon. Pasar ini sudah sejak dulu menjadi bagian penting bagi aktivitas ekonomi dan memberikan ruang bagi warga Ambon untuk berdagang.
Pasar yang telah berdiri sejak 40 tahun silam, saat ini tidak mampu lagi mengakomodir kepentingan ekonomi masyarakat. Kondisi pasar dengan terminal yang semrawut, membuat pemerintah melakukan revitalisasi, yang merupakan program strategis nasional dengan anggaran pembangunan Rp160 miliar.
Setelah disetujui Presiden Joko Widodo, relokasi pedagang mulai dilakukan pada September 2021. Sebanyak 1.700 pedagang direlokasi ke tiga lokasi, yakni Pasar Transit Passo, Pasar Ole-Ole, dan Pasar Apung.
Proses relokasi sempat ditolak pedagang lewat aksi demonstrasi bersama mahasiswa dan pemalangan jalan di pasar Mardika. Tiga lokasi yang disediakan pemerintah terbilang jauh dari tempat tinggal pedagang, seperti Pasar Transit Passo dan Pasar Ole-Ole sehingga spedagang tetap menolak.
Sementara pasar Apung yang telah selesai didirikan, tidak bisa menampung seluruh pedagang. Pemerintah Kota Ambon pun berinisiatif membangun lapak dan kios sementara di atas trotoar Pantai Losari meski dituai kritik. Lapak ini solusi dari pemerintah, sekaligus masalah bagi pejalan kaki, supir angkot, dan pengguna jalan lainnya.
“Memang kebijakan yang ditetapkan sebelumnya, semua (pedagang) ke Passo. Tapi secara keseluruhan mereka menolak, dengan alasan mulai dari jarak, biaya operasional apalagi perhitungan pedagang, dagangan mereka pasti tidak laku karena di sana (Passo) ada pasar, makanya itu dibuat lapak dan kios di sana (di trotoar Pantai Losari),”kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Ambon, Jhon Slarmanat seperti dikutip rri.co, 20 September 2021.
Meski dikritik dan diprotes, pada awal Januari 2022, pemerintah tetap membangun ratusan lapak lagi di atas trotoar di depan pintu masuk Terminal Mardika. Hingga sekarang, baru belasan lapak yang telah rampung dan belum ditempati pedagang.
Lapak Sementara
Revitalisasi Pasar Mardika dikerjakan dengan anggaran multiyear hingga 2023. Artinya, sekitar satu tahun lebih. Kegiatan groundbreaking atau peletakan batu pertama berlangsung Kamis (27/1/2022) dipimpin oleh Gubernur Maluku, Murad Ismail bersama Wali Kota Ambon, Richard Louhenapessy, jajaran Forkopimda Provinsi Maluku dan Kota Ambon, serta stakeholder lainnya.
Ratusan lapak dengan harga Rp15-25 juta yang telah dibangun di trotoar, hanya sementara hinggga Pasar Mardika selesai dibangun. “Jadi begini, saya pahami betul itu kondisi. Kenapa sampai lapak dibangun karena kurang lebih 100-150 pedagang juga tidak kebagian. Nah, itu sifatnya sementara,”kata Richard seperti dikutip sejumlah media online di Ambon, Senin (14/2).
Meski sementara, bangunan lapak di atas trotoar telah melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Menurut Tri Jata Ayu Pramesti, S.H., penulis di hukumonline.com, pasal 45 UU LLAJ, definisi trotoar adalah salah satu fasilitas pendukung penyelenggaraan lalu lintas. Pada pasal 131 diatur bahwa pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan dan fasilitas lain.
Peraturan lain mengenai trotoar diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2006 tentang Jalan. Berdasarkan pasal 34 ayat (4) disebutkan trotoar hanya diperuntukkan bagi lalu lintas pejalan kaki. Sedangkan pasal pasal 63 mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 bulan atau denda paling banyak Rp 1,5 miliar.
Sementara itu, ketentuan pemanfaatan trotoar untuk berjualan memang diatur di dalam, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permepu) Nomor 03/PRT/M/2014 Tahun 2014 tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan (“Permenpu 3/2014”) mengatur pemanfaatan trotoar untuk berdagang/berjualan.
Kebijakan pemerintah yang mengizinkan orang untuk berjualan di trotoar diatur dalam Pasal 13 Permenpu 3/2014 yang berbunyi: (1) Pemanfaatan prasarana jaringan pejalan kaki dilakukan dengan mempertimbangkan jenis kegiatan; waktu pemanfaatan; jumlah pengguna; dan etentuan teknis yang berlaku. Sedangkan ayat dua (2) Pemanfaatan prasarana jaringan pejalan kaki hanya diperkenankan untuk pemanfaatan fungsi sosial dan ekologis yang berupa aktivitas bersepeda, interaksi sosial, kegiatan usaha kecil formal, aktivitas pameran di ruang terbuka, jalur hijau, dan sarana pejalan kaki.
“Jadi, atas dasar pertimbangan soal pemanfaatan fungsi sosial dan ekologis, bisa saja pemanfaatan trotoar digunakan untuk kegiatan perdagangan berupa Kegiatan Usaha Kecil Formal,”kata Tri Jata Ayu Pramesti.
Namun, jarak bangunan ke area berdagang adalah 1,5 – 2,5 meter, agar tidak menganggu sirkulasi pejalan kaki. Selain itu, jalur pejalan kaki memiliki lebar minimal 5 (lima) meter, yang digunakan untuk area berjualan memiliki lebar maksimal 3 (tiga) meter, atau memiliki perbandingan antara lebar jalur pejalan kaki dan lebar area berdagang 1:1,5.
Itu artinya, trotoar untuk jalur pejalan kaki dengan luas dibawah 5 meter, tidak bisa digunakan sebagai tempat berdagang. Semenara luas trotoar di Pantai Losari dan di depan Terminal Mardika hanya 3 meter.
Sebagian pedagang menyadari, pembangunan lapak dan berjualan di trotoar menyalahi aturan, tapi mereka tetap mengikuti arahan pemerintah karena lapak mereka sebelumnya di Pasar Mardika telah dibongkar untuk pembangunan pasar yang baru.
“Memang benar lapak ini melanggar hak pejalan kaki. Namun terpaksa katong (kami) masuk sesuai arahan pemerintah daripada seng (tidak) dapat tempat berdagang,” ucap Cici, seorang pedagang di Pantai Losari. (*)
Komentar Terbaru