082311771819 yppm.maluku@gmail.com

Mien Agisty Rumlaklak (dok.pribadi)

JW Ambon – Penyandang disabilitas fisik bukan berarti tidak bisa sukses. Mereka hanya harus bekerja lebih keras, karena memiliki banyak keterbatasan. Nilai-nilai itu selalu disampaikan oleh Mien Agisty Rumlaklak, perempuan penyandang disabilitas fisik yang kini usianya memasuki 62 tahun.

“Karena serba terbatas, maka kita harus bekerja lebih keras, dan harus diakui bahwa lingkungan dan kesempatan tidak begitu luas untuk disabilitas. Tapi asalkan mau berusaha, pasti ada jalannya. Kadang kita hanya belum tahu jalan itu,” ujar Mien saat dihubungi melalui telepon, Selasa (08/02/2022).

Sejak tahun 2005, perempuan yang akrab disapa Ibu Mien ini, sudah aktif di Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), ia dikukuhkan di Makassar sebagai ketua HWDI Wilayah Maluku. Selain itu, Mien Juga menjabat sebagai Ketua Pusat Pemilihan Umum Akses Disabilitas (PPUA) Maluku.

Semula Mien bukanlah orang yang berkebutuhan khusus. Ia tidak terlahir dengan kondisi seperti saat ini. Namun, pada usianya yang ke-5 tahun, ia menderita sakit berat  dan dirawat di rumah sakit.

“Ketika itu saya disuntik oleh dokter sehingga terjadilah seperti ini. Saya tidak menyesal dengan kondisi  seperti ini, karena menurut saya ini merupakan takdir yang diberikan Tuhan kepada saya,” ungkapnya.

Kala itu, Ia dianjurkan untuk operasi agar sembuh total. Tapi karena persentase kesembuhannya relatif kecil, keluarganya juga tidak memiliki dana, tindakan itu urung dilakukan. Apalagi  masih ada biaya perawatan pasca-operasi yang tidak sedikit.

“Saya sempat down, bingung mau apa, mau jalan saja susah. Padahal saya pengen seperti teman-teman yang lain, yang bisa sekolah dan beraktivitas seperti biasanya,” tutur Mien.

Waktu terus berlalu, perempuan kelahiran Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat ini, tidak pernah patah semangat, ia selalu berusaha untuk melakukan hal-hal baik.

“Menurut saya hidup dengan disabilitas tentu menantang dan tak jarang mengecilkan hati ketika membandingkan diri dengan kehidupan orang lain yang tanpa disabilitas. Namun, disabilitas juga mampu menjadi katalisator untuk mendorong kehidupan yang lebih baik jika mengadaptasi sikap penuh harapan dan konsisten dalam mencapai tujuan,” tegasnya.

Meskipun dalam kondisi terbatas, namun semangat dan loyalitasnya untuk memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas di Maluku tidak pernah surut.

 “Saya hanya ingin menunjukan bahwa penyandang disabilitas itu bukan beban. Buktinya saya bisa sosialisasi dengan masyarakat juga diterima, jangan malu. Kita penyandang disabilitas harus ikut partisipasi, jangan pasif,” kata Mien.

Terkait jumlah penyandang disabilitas di Maluku,  dirinya menjelaskan bahwa jumlah disabilitas di Kota Ambon berkisar antara 200 orang, sementara untuk Maluku secara keseluruhan ia tidak memiliki data tersebut. Pihaknya terkendala melakukan pendataan disabilitas untuk daerah-daerah lainnya di Maluku. Sehingga ia berharap agar pemerintah dapat melakukan tugas dan fungsinya untuk memperhatikan penyandang disabilitas.

Sesuai visi dan misi HWDI, yakni tentang menghapus diskriminasi ganda sebagai perempuan dan sebagai disabilitas, mewujudkan wanita disabilitas yang produktif dan memberi manfaat bagi orang. Maka dirinya menegaskan agar hak-hak penyandang disabilitas perlu diperhatikan lagi, karena kata Mien, saat ini penyandang disabilitas belum mendapat tempat di masyarakat.

“Kehadirannya  masih  dipandang sebelah mata. Keterbatasan yang dimiliki, membuat mereka dianggap sebagai kelompok yang lemah, tidak berdaya dan hanya perlu  mendapatkan belas kasihan,” ujar Mien.

Menurutnya  hak-hak disabilitas sebagai manusia seringkali diabaikan. Mulai dari hak untuk hidup, hak untuk memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan hingga  hak kemudahan mengakses fasilitas umum.

Padahal, lanjut Mien, Undang-undang  Dasar UUD 1945, sudah dengan tegas  menjamin para penyandang disabilitas.  Setidaknya dalam Pasal 28  ayat (2)  UUD 1945, menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

Selain itu, pemerintah Indonesia juga telah  meratifikasi Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas pada 2011 lalu, yang tertuang  dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011  tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas. Di mana Indonesia merupakan negara ke-107 yang meratifikasi konvensi tersebut.

Hak-hak para   penyandang disabilitas tersebut mulai dari  hak untuk bebas dari penyiksaan,  perlakuan yang kejam tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, hingga hak untuk  bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena.

Penyandang disabilitas juga  berhak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya, berdasarkan kesamaan dengan orang lain, termasuk di dalamnya hak untuk mendapatkan pelindungan dan pelayanan sosial dalam rangka kemandirian, serta dalam keadaan darurat.

Untuk  menjamin pemenuhan hak penyandang disabilitas,  pemerintah menerbitkan Undang-undang Nomor 18 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas.  Adanya  undang-undang penyadang disabilitas tersebut, tidak saja menjadi payung hukum  bagi penyandang disabilitas, tapi  jaminan  agar kaum disablitas  terhindar dari segala bentuk ketidakadilan, kekerasan dan diskriminasi.

Terkait penyandang disabilitas, diatur dalam pasal 1 UU Nomor 18 tahun 2016. Di sana disebutkan bahwa penyandang disabilitas adalah setiap orang yang  mengalami keterbatasn fisik, intelektual, mental atau sensorik dalam jangka waktu lama, yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitasn untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainya berdasarkan kesamaan hak.

Apalagi sekarang ini pemerintah melakukan program inklusif, yang bertujuan untuk meningkatkan akses, mutu pelayanan  yang ideal bagi orang berkebutuhan khusus, anak-anak berkebutuhan khusus dan memberikan jaminan untuk memperoleh hak pendidikan yang sama seperti anak-anak lainnya.

Meski  telah memiliki  payung hukum,  namun menurut Mien, diskriminasi masih saja terjadi bagi penyadang disabilitas. Hal ini disebabkan karena dirinya juga pernah mendapat perlakuan diskriminasi dari pemerintah.

“Kami hanya dilayani sebatas tamu, padahal kami juga perlu untuk didampingi selayaknya orang yang harus dilayani sesuai hak-hak kami. Maka dari itu saya sebagai ketua HWDI Maluku meminta agar diperhatikan lebih khusus oleh pemerintah”, ungkapnya.

Namun, setelah pihaknya melakukan sosialisasi pada musrembang dan pendekatan lainnya, Mien menungkapkan barulah secara perlahan sifat diskriminasi itu mulai menurun sedikit demi sedikit. Selama masa kepemimpinanya di HWDI Maluku yang sudah mencapai 17 tahun ini, pihaknya akan terus berjuang.

“Saya masih tetap akan berjuang untuk mempertahankan hak-hak disabilitas, karena tidak terlepas dari itu saya memang merupakan disabilitas, walapun saya tidak lagi akan memimpin sebagai Ketua  HWDI, dimana saya diperlukan saya akan tetap memperjuankan dan terus melakukan gerakan terkait dengan penyandang disabilitas,” tegas Mien.

Ia juga berharap kepada pemerintah daerah terkait pelayanan, bahwa perlu ada perhatian khusus kepada HWDI, yakni penyediaan kantor dan anggaran.

“Saya menitikberatkan kepada pemerintah daerah, mengenai pelayanan perlu ada perhatian khusus kepada kami, diantaranya penyediaan tempat kantor yang permanen, agar kami tidak berpindah-pindah tempat dari satu tempat ke tempat yang lain. Serta memberikan anggaran kepada kami sehingga kami bisa mengelola himpunan kami secara organisir,” tandasnya. (**)

 

Penulis : Soleman Pelu (JW Ambon / Relawan Mafindo Maluku)