082311771819 yppm.maluku@gmail.com
Rentan Terpapar Hoaks, Remaja Gereja di Ambon Belajar Literasi Digital

Rentan Terpapar Hoaks, Remaja Gereja di Ambon Belajar Literasi Digital

Peserta Sharing Session Literasi Digital tampak serius mengikuti penyampaian materi tentang hoaks oleh relawan Mafindo Maluku.


Ambon,JW-  Sekolah Minggu Tunas Pekabaran Injil (SMTPI) Sektor Zaitun, Gereja Protestan Maluku (GPM) Soya berkolaborasi dengan Masyarakat Anti Fitnah (Mafindo) Maluku gelar Sharing Session literasi digital untuk remaja Gereja. Kegitan ini merupakan upaya edukasi untuk melawan berita hoaks, serta memberikan pandangan kritis kepada remaja dalam menerima setiap informasi yang masuk, agar dicek kebenarannya terlebih dahulu.  
 
Ketua SMTPI Sektor Zaitun, Jemaat GPM Soya,  Barends Unwakoly mengatakan bahwa, remaja gereja perlu diberi penguatan terkait literasi digital.
 
“Kegiatan sharing literasi digital mempunyai banyak manfaat, khusus bagi remaja dapat menambah wawasan mengenai penggunaan media sosial dan penanganan hoaks. Karena dalam perkembangannya, remaja lebih rentan terhadap penyalahgunaan media sosial bahkan kemungkinan menjadi pelaku penyebaran hoaks di tengah masyarakat”, kata Barends.
 
Menurutnya, melalui kegiatan ini remaja gereja dapat memahami pentingnya literasi untuk menangkal hoaks. Ia juga berharap agar kegiatan tersebut bisa dikembangkan lagi.
 
“Anak-anak remaja dapat mawas diri untuk tidak menyalahgunakan hak dalam bermedia sosial serta bertanggungjawab terhadap perannya sebagai anggota masyarakat yang baik. Harapan ke depan agar kegiatan ini dapat lebih dikembangkan dan lebih menyentuh ke segala elemen masyarakat supaya menjadi kontrol bersama untuk cerdas dalam bermedia ssosial, dan memilah setiap infomasi yang berkembang di masyarakat untuk menghindari penyebaran hoaks”, harapnya.
 
Kegiatan ini melibatkan relawan MAFINDO Maluku, Soleman Pelu dan Muhammad Abubakar Difinubun sebagai narasumber. Pada penyampain materi pertama, Soleman Pelu menjelaskan tentang ciri-ciri berita hoaks, dan bagaimana melakukan penelusuran untuk memeriksa hoaks tersebut.
 
“kita harus menjadi agen untuk melawan berita yang disinformasi, misinformasi dan malinformasi, remaja juga perlu cakap dan berfikir kritis terkait informasi yang didapat” tegas Soleman.
 
Sementara itu pada sesi kedua, Muhammad Abubakar Difinubun juga memberikan materi tentang langkah pintar bermedia sosial, menjaga privasi dalam berinternet agar terhindar dari hal-hal negatif. 
 
“Sebagai remaja patut kita memberikan contoh yang baik untuk teman kita, serta harus pintar bermedia sosial dengan baik. apalagi seiring dengan pesatnya perkembangan digital sekarang ini”, pungkasnya.


 
Sebanyak 30 peserta yang terlibat dalam kegiatan tersebut begitu antusias dalam mengikuti setiap sesi. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Indah Leimena. “Dengan adanya Mafindo dalam kegiatan ini, saya sangat bersyukur, dan bisa mengikuti kegiatan sharing luar biasa ini, karna kegiatan ini memberikan motivasi kepada kita, mengetahui tentang berita hoaks dan mengatasi berita hoaks tersebut,”ungkapnya.
 
Acara yang berlangsung kurang lebih 4 jam dipandu langsung oleh pengasuh SMTPI, Harry Wellsy Bakarbessy yang juga merupakan relawan Mafindo. Kegiatan ini berlangsung di kawasan SMTPI Sektor Zaitun, GPM Soya Ambon, 16 April 2022 lalu.

Penulis : Soleman Pelu (Jurnalis Warga Ambon)

Sebagian Perempuan Maluku Masih Terkungkung Ketimpangan dan Ketidakadilan

Kegiatan Konsultasi Perempuan yang diselenggarakan oleh Pengurus Wilayah Fatayat Nahdlatul Ulama (PW Fatayat NU) dan Yayasan Lingkar Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LAPPAN) bekerjasama dengan Aksi! For Gender, Social and Ecological justice dengan tema “Menghadapi Ketimpangan Ekonomi dan Menguatkan Suara Komunitas”. 

Ambon, JW.—Kaum perempuan di Maluku masih dianggap sebagai warga negara ‘nomor dua’.  Ketimpangan dan ketidakadilan yang berlapis dialami sebagian besar perempuan di provinsi seribu ini.

Hal ini mengemuka dalam kegiatan Konsultasi Perempuan yang diselenggarakan Pengurus Wilayah Fatayat Nahdlatul Ulama (PW Fatayat NU) dan Yayasan Lingkar Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LAPPAN) bekerjasama dengan Aksi! For Gender, Social and Ecological justice dengan tema “Menghadapi Ketimpangan Ekonomi dan Menguatkan Suara Komunitas”. 

Kegiatan ini berlangsung pada November 2021 di Ambon, namun hasilnya dipublikasikan pada 21 April yang dirangkaikan dengan peringatan Hari Kartini.
Konsultasi ini dihadiri oleh perempuan dari berbagai latar belakang yang berasal dari beberapa wilayah di Maluku, yakni kota Ambon, Leitimur, Seram Bagian Barat, dan Maluku Tengah.

Peserta terdiri dari perempuan petani, perempuan nelayan/pesisir, perempuan papalele, perempuan adat, perempuan miskin kota, perempuan pekerja informal, perempuan pendamping korban, perempuan disabilitas, dan perempuan penyintas bencana.

Informasi yang digalih tentang pengalaman peserta yang meliputi kehidupan pribadi, rumah tangga, hubungan sosial, dan bernegara, yaitu perempuan masih mengalami diskriminasi, kekerasan, dan ketidakadilan  dalam setiap lini kehidupannya.

Hilda Rolobessy dari Pengurus Wilayah Fatayat NU Maluku mengungkapkan, berdasarkan konsultasi tersebut, perempuan di Maluku masih mengalami ketimpangan dan ketidakadilan yang berlapis. Berbagai identitas yang dimiliki seorang perempuan turut menentukan banyaknya lapisan tersebut, dan ketimpangan gender akibat sistem patriarki telah menempatkan perempuan di dalam posisi tidak adil.

Pengambilan keputusan di dalam keluarga, masyarakat, hingga negara, seringkali mengabaikan kepentingan dan kehendak perempuan. Bagi perempuan miskin, seperti  buruh tani, buruh migran, nelayan, masyarakat adat, ataupun miskin kota, lapisan ketidakadilan tersebut bertambah dengan tidak adanya akses dan kontrol terhadap sumber kehidupan.

Situasi pandemi Covid-19 hingga bencana iklim yang terjadi, semakin membuat parah ketimpangan dan ketidakadilan yang sudah mereka alami. Kemiskinan dan ketimpangan gender dan ekonomi yang dialami oleh perempuan di Maluku disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya kurangnya akses ke program bantuan pemerintah, akses ke pelayanan administrasi Negara, dan akses ke sumber daya alam.

“Selain kesulitaan mendapatkan program pemerintah seperti PKH (Pogram Keluarga Harapan), BLT (Bantuan Langsung Tunai), dll,  mereka juga kesulitan mengakses program sertifikasi tanah (Prona). Sementara untuk mengurus sertfikat secara mandiri biayanya mahal dan mereka tidak memiliki biaya. Perempuan sebagai kepala keluarga tunggal juga tidak mudah mendapatkan akses bantuan yang selama ini diberikan ke kepala keluarga laki-laki/suami. Mereka harus mengurus adminsitrasi terlebih dahulu sebagai kepala keluarga.” ujar Hilda. 

Beberapa kasus kemiskinan perempuan di Maluku juga disebabkan karena  akses ke sumber daya alam yang semakin sulit. Menurut Marhaini Nasution dari Aksi! untuk keadilan gender, sosial dan ekologi, masyarakat yang  dulunya mendapat penghasilan dari alam menjadi hilang karena  berbagai program dan proyek dan kebijakan pemerintah.

“Saat ini untuk mencari  ikan ke laut dengan jenis ikan laut dalam, nelayan harus mendapatkan ijin dari  pemerintah yang dulunya tidak perlu dilakukan, karenanya beberapa nelayan memindahkan usaha budidaya ikan ke darat,”jelasnya.

Berdasakan data Badan Pusat Statistik (BPS) Maluku 2022,  jumlah penduduk miskin ekstrem di Maluku mencapai 97.747 jiwa dengan total jumlah rumah tangga miskin ekstrem 22.110. Jumlah tersebut terdiri dari Kabupaten Maluku Tenggara Barat dengan tingkat kemiskinan ekstrem 18,76% dan jumlah penduduk miskin ekstrem 21.270 jiwa, Kabupaten Maluku Tenggara dengan tingkat kemiskinan ekstrem 13,65 % dan jumlah penduduk miskin ekstrem 13.660 jiwa, Kabupaten Maluku Tengah dengan tingkat kemiskinan ekstrem 10.53% dan penduduk miskin ekstrem 39.400 jiwa, Kabupaten Seram Bagian Timur dengan tingkat kemiskinan ekstrem 12,73%  dan jumlah penduduk miskin ekstrem 14.750 jiwa, serta Kabupaten Maluku Barat Daya dengan tingkat kemiskinan ekstrem 14,43 persen dan jumlah penduduk miskin ekstrem 10.580 jiwa.

Sementara untuk kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh LAPPAN pada 2021 mencapai 198 kasus yang meliputi Kota Ambon, Maluku Tengah, dan Seram Bagian Barat. Pada 2022, sejauh ini terdapat 42 kasus yang terdiri dari kasus terbanyak KDRT dan kekerasan seksual; pemerkosaan, pencabulan, dan percobaan pemerkosaan.

“Kondisi pasca konflik menyebabkan pemiskinan perempuan, kondisinya kian memburuk karena tidak bisa mengakses bantuan-bantuan perlindungan social. Berbagai inisiatif dilakukan perempuan komunitas untuk mendorong dan memperbaiki kohesi social,melalui berbagai kegiatan lintas iman dalam memelihara” ungkap Bai Tualeka, Direktur Yayasan LAPPAN.

Berdasarkan hasil tersebut, adapun enam tuntutan yang diserukan. Pertama, menuntut pemerintah untuk menyediakan permodalan bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) perempuan di Maluku.
Kedua, perlindungan dan pemulihan yang komprehensif bagi penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di Maluku. Ketiga, emperbaiki data administrasi penduduk (adminduk)  untuk memperbarui data kemiskinan karena kebanyakan perempuan yang tidak memiliki data adminduk sulit bakan tidak dapat  mengakses bantuan sosial.

Keempat, memfasilitasi kelompok-kelompok sektor informal, papalele, nelayan, petani, industri rumahan, dalam peningkatan kapasitas dan pemasaran hasil-hasil produksi. Kelima, mengedukasi masyarakat tentang pengarusutamaan gender dalam berbagai sektor untuk mengurangi dampak diskriminasi, baik di ruang privat maupun publik, dan keenam, meningkatkan kapasitas dan mendorong partisipasi perempuan dalam segala kehidupan.

Oleh : Iftin Yuninda Hard (Jurnalis Warga Ambon)

Nasib Indah Sari Terkatung-katung Akibat ‘Tangan Besi’ IAIN Ambon

Nasib Indah Sari Terkatung-katung Akibat ‘Tangan Besi’ IAIN Ambon

Demonstrasi mahasiswa di Ambon, 8 April 2022 yang salah satu tuntutannya adalah mendesak Rektor IAIN Ambon mencabut skorsing terhadap Indah Sari Ibrahim. Foto: Mote Yame

Ambon, JW –Nasib Indah Sari Ibrahim masih terkatung-katung. Pengajuan keberatannya terhadap kebijakan pemberhentian sementara selama enam bulan belum dijawab oleh pihak Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam (FSEI) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon.

“Sampai saat ini belum ada respon sebagai itikad baik dari kampus,”kata Indah melalui pesan singkat WA ketika ditanya soal perkembangan kasusnya, Rabu (27/4/2022).

Indah adalah mahasiswa semester akhir. Ia dan beberapa temannya menyelenggarakan pameran dan pementasan karya seni oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Seni di Taman Baca IAIN Ambon,  18 Februari lalu.
Dalam pameran tersebut disediakan media kosong bagi siapa pun yang karya seninya hendak ditampilkan.

Setelah lima hari berjalan, tepatnya pukul 11.00 WIT siang itu, petugas keamanan kampus datang ke lokasi pameran untuk menurunkan paksa karya seni. Kemudian mereka menyita sebuah mural yang terpajang dan bertuliskan “Payudara Intelektual Pukul Balik Pelecehan Seksual Area Kampus” karena dianggap tidak sopan dan tidak sesuai aturan kampus.

Indah terlibat dalam pameran seni sebagai ketua UKM Senin sekaligus panitia. Ia sempat menolak penurunan dan penyitaan karya tersebut saat Dekan Syariah dan wakilnya datang bersama dua satpam. Tapi, para penjaga keamanan itu terlalu kuat untuk dilawan.

Padahal, pameran karya seni yang dilaksanakan Indah dan teman-temannya merupakan bentuk kebebasan berekspresi sekaligus kritik terhadap praktik kekerasan seksual yang terjadi di banyak kampus belakang ini. Karena sikapnya, Indah mendapat surat peringatan dari pihak fakultas.

Meski telah mendapatkan surat peringatan, Indah terus mengkampanyekan perlawanan terhadap kekerasan seksual sekaligus mendesak pihak fakultas mengembalikan karya seni yang disita, lewat unjuk rasa. Akibatnya, mahasiswi semester 14 ini dilarang kuliah dan aktivitas lainnya di kampus selama enam bulan.

Surat skorsing dari Dekan Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, Anang Kabalmay dikeluarkan pada 23 Februari 2022. Isinya, antara lain, Indah dinilai melanggar kode etik mahasiswa IAIN Ambon tahun 2017, sehingga diskors dan diwajibkan membayar biaya semester.

“Kami melakukan aksi kamisan dan aksi di hari-hari berikutnya untuk menyuarakan pengembalian karya-karya seni yang sudah disita sebagai bentuk perlawanan kepada kampus. Saat itulah saya mendapatkan surat skorsing yang dikeluarkan oleh Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Ambon,” tuturnya.

Menurut dia, kampus keliru dan gegabah dalam memandang karya seni sebagai bentuk kebebasan berekspresi dan kritik tentang pelecehan seksual. Ia merasa pameran dan pementasan karya adalah hal yang wajar dilakukan untuk meningkatkan pemahaman kekerasan seksual di lingkungan kampus.

“Langkah kampus untuk melakukan skorsing karena alasan etika itu sangat disayangkan karena saya tidak merugikan kampus secara moral dan material,”kesalnya.

Tapi Indah tidak menyerah. Mahasiswi yang hobi menulis dan membaca puisi, itu telah mengajukan keberatan, dan berharap pihak fakultas mencabut atau membatalkan surat skors terhadap dirinya.

“Apabila kampus, dalam hal ini FSEI tidak punya itikad baik untuk mengabulkan keberatan dan mencabut skorsing, maka saya akan menempuh banding,” tegasnya.

Hingga saat ini, pihak fakultas belum memberikan jawaban atas keberatan dari Indah. Olehnya itu, dia khawatir terancam dikeluarkan atau drop out (DO) apabila skors tetap diberlakukan karena akan melewati batas masa studi mahasiswa angkatan 2015 ini.

“Langkah selanjutnya apabila pencabutan dikabulkan maka saya dapat diwisudakan di bulan Juli atau Agustus. Namun, apabila skors ini terus berlaku, saya terancam DO karena masa studi saya sudah habis dan harus pindah kampus,”ungkapnya.

Dikutip dari Antaranews.conm, pihak kampus melalui Warek (Wakil Rektor) III IAIN Ambon, M. Faqih Seknun, 4 Maret lalu mengatakan, pemberian sanski kepada Indah Sari Ibrahim karena karya seni yang dipamerkan tidak sesuai aturan atau norma tata tertib (Tatib) mahasiswa IAIN Ambon.

“Skorsing dan pencabutannya itu wewenang dekan karena untuk sanksi sedang itu adalah wewenang fakultas,” tegas Seknun.

Tangan Besi IAIN Ambon

Pengekangan terhadap kebebasan berekpresi dan kritik dari mahasiswa semakin menguatkan ‘tangan besi’ IAIN Ambon untuk berlindung di balik nama baik. Usai menskor Indah, ‘Kampus Hijau’ juga membekukan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lintas IAIN Ambon dengan pemberitaan hasil investigasinya terkait kasus pelecehan seksual.

“Kalau seandainya untuk menjaga nama baik kampus IAIN yang akan alih status menuju UIN  (Universitas Islam Negeri) biarlah kasus-kasus dibuka, orang-orang mengkritik, lalu pihak rektorat membentuk tim investigasi. Brikan edukasi kepada warga kampus tentang kekerasan seksual, dan melindungi korban dari beban kejiwaan yang ditanggung selama bertahun-tahun,” tandas Indah.

Kritik juga datang dari seniman Maluku, Said Maghrib. Pendiri Yayasan Seni Bengkel Sastra Maluku (BSM) ini tidak setuju dengan perampasan karya seni tersebut yang diikuti dengan skor sebagai bentuk hukuman.

“Jangan sampai ada unsur pribadi yang disangkut pautkan dengan lembaga,” kata dia, 23 Maret lalu.

Rudi Fofid, seniman cum jurnalis senior di Maluku, mengatakan, karya  seni yang bertuliskan ‘Payudara intelektual pukul balik pelecehan seksual area kampus’ adalah bentuk pembelaan terhadap perempuan.

“Membela perempuan boleh digambarkan dalam bentuk apapun, dan  payudara itu simbol kehidupan manusia yang meliputi keseluruhan tubuh manusia dan jiwa raganya,”katanya.

Menurut penyair  ini,  kampus perlu membentuk tim investigasi untuk mengungkap dugaan pelecehan seksual sehingga ada kepastian. Sebaliknya, tidak membungkam kebebasan berekspresi mahasiswa yang menyuarakan perlawanan terhadap kekerasan seksual.

“Mudah-mudahan Kampus lebih bijaksana dalam penanganan kasus karena pada prinsipnya adalah mahasiswa merupakan hasil dari proses didikan kampus. Jadi jangan membatasi mereka dalam berekspresi,”tandasnya.

Dilansir dari laman Amnesty International, kebebasan berekspresi adalah hak setiap orang untuk mencari, menerima, menyebarkan informasi dan gagasan dalam bentuk apapun, dengan cara apapun. Ini termasuk ekspresi lisan, cetak, budaya, politik, maupun artistik atau karya seni. Kebebasan berekspresi berhubungan dengan kebebasan berserikat serta mendukung hak asasi manusia lainnya seperti hak atas kebebasan berpikir.

Kebebasan berekspresi diatur dalam Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.” Dan Pasal 28 F UUD 1945: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia,”.

Oleh: Harry Wellsy Bakarbessy, Iftin Yuninda Hart, Soleman Pelu (JW Ambon)

YPPM Maluku Gandeng Dinsos Malteng Bentuk Forum Disabilitas

YPPM Maluku Gandeng Dinsos Malteng Bentuk Forum Disabilitas

Pertemuan antara YPPM Maluku, Dinsos Maluku Tengah, The Asia Foundation, Gerakan Advokasi Difabel bersama kaum difabel di Maluku Tengah dalam rangka pembentukan Forum Difabel di Malteng yang berlangsung di Kota Masohi, Rabu (20/4/2022)

JW-Masohi – Yayasan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat [YPPM] Maluku bekerja sama dengan Dinas Sosial [Dinsos] Kabupaten Maluku Tengah [Malteng] membentuk Forum Disabilitas untuk mengadvokasi hak-hak penyandang disabilitas mendapatkan aksesbilitas dan layanan publik.

Forum ini dibentuk pada pertemuan Bersama yang berlangsung di Kantor Dinsos Malteng pada Rabu, (20/4/2022).

Rapat bersama itu dihadiri sejumlah pihak masing-masing, Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinsos Malteng, M. Yusuf, perwakilan The Asia Foundation (TAF) Maulida Raviola, perwakilan dari Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Tri Wahyu dan Dody Kaliry dari Yogyakarta, Abdullah Tangke dari YPPM Maluku dan para penyandang disabilitas di wilayah kabupaten Malteng.

Maulida Raviola dalam kesempatan itu menyampaikan, terbentuknya Forum Disabilitas di Maluku Tengah menjadi langkah awal dalam rangka pemajuan hak-hak disabilitas dan pembangunan yang inklusif di Maluku Tengah.

“Forum ini sangat penting untuk membuka ruang partisipasi difabel yang selama ini terpinggirkan atau terabaikan dalam proses pembangunan di daerah. Difabel seharusnya memiliki akses dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan pemenuhan hak-hak mereka sebagai warga negara,” kata Maulida.

Apresiasi yang tinggi juga disampaikan  Tri Wahyu dari SIGAB atas pembentukan forum  Disabilitas Maluku Tengah yg diinisiasi Dinas Sosial Kabupaten Maluku Tengah dan YPPM Maluku.

“Forum komunikasi disabilitas adalah bentuk kongkrit dari peneguhan memperkuat ketahanan demokrasi di Maluku Tengah agar demokrasi dapat bermakna dan bermanfaat bagi kawan-kawan difabel Maluku Tengah,” ungkap Manager Program Demres SIGAB Indonesia ini.

Sementara Dody Kaliry dari SIGAB Indonesia menyampaikan pembentukan forum ini sebagai pijakan awal membangun inklusifitas di Masohi pada khususnya dan Maluku tengah pada umumnya.

”Difabel harus mengambil dan memposisikan perannya sebagai subjek pembangunan inklusif dimana dperlukan kerja-kerja kolaborasi dengan multi pihak agar forum ini bisa eksis,” kata Doddy.

Menanggapi kehadiran forum ini, Victor Wenno, seorang penyandang difabel daksa yang hadir saat itu turut mengapresiasi pembentukan forum ini. Ia berharap dengan hadirnya forum ini mampu memperjuangkan hakl-hak difabel yang selama ini terabaikan.

“Semoga dengan adanya forum ini hak-hak kami sebagai warga negara juga bisa didapatkan layaknya orang normal lainnya,” ungkap Victor.

Wenno juga berharap kedepan peran forum ini bisa menjadi wadah untuk menyuarakan kepentingan difdabel dan mendorong diterbitkan Peraturan Daerah tentang disabilitas di Maluku Tengah (*)

 

Penulis : Edha Sanaky

Aktivis Humanum; Relasi Kuasa Kerap Mengarah pada Terjadinya Kekerasan Seksual di Kampus

Aktivis Humanum; Relasi Kuasa Kerap Mengarah pada Terjadinya Kekerasan Seksual di Kampus

AMBON: Aktivis Humanum Ambon, Elvira Marlien Marantika saat menghadiri program Perempuan Bercerita di Studio TribunAmbon.com, Jalan Jenderal Sudirman, Batu Merah, Sirimau, Kota Ambon, Senin (14/3/2022). Dia mengungkapkan, Kekuatan relasi kuasa yang disalahgunakan menjadikan kasus-kasus kekerasan seksual di kampus didominasi oleh struktur kuasa yang lebih tinggi dibanding korban. 

Laporan Wartawan TribunAmbon.com, Adjeng Hatalea

AMBON, TRIBUNAMBON.COM – Penyelewengan kekuasaan disebut kerap mengarah pada terjadinya tindakan kekerasan seksual di kampus.

Aktivis Humanum Ambon, Elvira Marlien Marantika mengungkapkan, Kekuatan relasi kuasa yang disalahgunakan tersebut yang menjadikan kasus-kasus kekerasan seksual di kampus didominasi oleh struktur kuasa yang lebih tinggi dibanding korban.

“Kami menyebarkan google form dan terverifikasi bahwa memang kekerasan seksual itu kerap terjadi di kampus. Ruang ini sebenarnya sangat nyata kelihatan bahwa setelah patriarki, pola relasi kekuasaan itu memang nyata sekali,” ungkap aktivis yang biasa disapa Vivi itu saat menghadiri program Perempuan Bercerita di Studio TribunAmbon.com, Jalan Jenderal Sudirman, Batu Merah, Sirimau, Kota Ambon, Senin (14/3/2022).

Data itu ditemukan setelah pihaknya menyelenggarakan kegiatan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan di kampus Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) pada 16 Desember 2021 lalu.

Melalui kegiatan tersebut, lanjut dia, saat ini telah ada Pakta Integritas UKIM yang ditanda tangani bersama beberapa lembaga sosial, termasuk Yayasan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (YPPM) Maluku.

Merespon isu kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus Institusi Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon yang dikritisi mahasiswa beberapa waktu lalu, Vivi menekankan, publik memiliki hak untuk tahu dan paham betul soal hal tersebut.

Sebab, menurut dia, tidak mudah bagi seorang korban kekerasan seksual untuk speak up tentang hal yang dialaminya di hadapan publik.

“Relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa, dan ketika korban sampai pada titik dia berani berbicara itu dia sudah melewati banyak sekali situasi-situasi yang sangat menakutkan. Itu yang harus publik paham dan tahu betul. Bisa jadi kejadian yang viral hari ini itu sudah kejadian lama tapi dia membutuhkan keberanian untuk speak up,” terang dia.

Dia pun meminta kelompok sosial agar sama-sama mengampanyekan hal tersebut, salah satunya dengan membuat surat terbuka kepada Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim.

“Bayangkan diskor satu semester tanpa alasan yang tidak bisa dipertanggung jawabkan,” pungkasnya.(*)

 

Artikel ini telah tayang di TribunAmbon.com dengan judul Aktivis Humanum; Relasi Kuasa Kerap Mengarah pada Terjadinya Kekerasan Seksual di Kampus, https://ambon.tribunnews.com/2022/03/15/aktivis-humanum-relasi-kuasa-kerap-mengarah-pada-terjadinya-kekerasan-seksual-di-kampus.
Penulis: Adjeng Hatalea | Editor: Fandi Wattimena