Ambon, JW.—Kaum perempuan di Maluku masih dianggap sebagai warga negara ‘nomor dua’. Ketimpangan dan ketidakadilan yang berlapis dialami sebagian besar perempuan di provinsi seribu ini.
Hal ini mengemuka dalam kegiatan Konsultasi Perempuan yang diselenggarakan Pengurus Wilayah Fatayat Nahdlatul Ulama (PW Fatayat NU) dan Yayasan Lingkar Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LAPPAN) bekerjasama dengan Aksi! For Gender, Social and Ecological justice dengan tema “Menghadapi Ketimpangan Ekonomi dan Menguatkan Suara Komunitas”.
Kegiatan ini berlangsung pada November 2021 di Ambon, namun hasilnya dipublikasikan pada 21 April yang dirangkaikan dengan peringatan Hari Kartini.
Konsultasi ini dihadiri oleh perempuan dari berbagai latar belakang yang berasal dari beberapa wilayah di Maluku, yakni kota Ambon, Leitimur, Seram Bagian Barat, dan Maluku Tengah.
Peserta terdiri dari perempuan petani, perempuan nelayan/pesisir, perempuan papalele, perempuan adat, perempuan miskin kota, perempuan pekerja informal, perempuan pendamping korban, perempuan disabilitas, dan perempuan penyintas bencana.
Informasi yang digalih tentang pengalaman peserta yang meliputi kehidupan pribadi, rumah tangga, hubungan sosial, dan bernegara, yaitu perempuan masih mengalami diskriminasi, kekerasan, dan ketidakadilan dalam setiap lini kehidupannya.
Hilda Rolobessy dari Pengurus Wilayah Fatayat NU Maluku mengungkapkan, berdasarkan konsultasi tersebut, perempuan di Maluku masih mengalami ketimpangan dan ketidakadilan yang berlapis. Berbagai identitas yang dimiliki seorang perempuan turut menentukan banyaknya lapisan tersebut, dan ketimpangan gender akibat sistem patriarki telah menempatkan perempuan di dalam posisi tidak adil.
Pengambilan keputusan di dalam keluarga, masyarakat, hingga negara, seringkali mengabaikan kepentingan dan kehendak perempuan. Bagi perempuan miskin, seperti buruh tani, buruh migran, nelayan, masyarakat adat, ataupun miskin kota, lapisan ketidakadilan tersebut bertambah dengan tidak adanya akses dan kontrol terhadap sumber kehidupan.
Situasi pandemi Covid-19 hingga bencana iklim yang terjadi, semakin membuat parah ketimpangan dan ketidakadilan yang sudah mereka alami. Kemiskinan dan ketimpangan gender dan ekonomi yang dialami oleh perempuan di Maluku disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya kurangnya akses ke program bantuan pemerintah, akses ke pelayanan administrasi Negara, dan akses ke sumber daya alam.
“Selain kesulitaan mendapatkan program pemerintah seperti PKH (Pogram Keluarga Harapan), BLT (Bantuan Langsung Tunai), dll, mereka juga kesulitan mengakses program sertifikasi tanah (Prona). Sementara untuk mengurus sertfikat secara mandiri biayanya mahal dan mereka tidak memiliki biaya. Perempuan sebagai kepala keluarga tunggal juga tidak mudah mendapatkan akses bantuan yang selama ini diberikan ke kepala keluarga laki-laki/suami. Mereka harus mengurus adminsitrasi terlebih dahulu sebagai kepala keluarga.” ujar Hilda.
Beberapa kasus kemiskinan perempuan di Maluku juga disebabkan karena akses ke sumber daya alam yang semakin sulit. Menurut Marhaini Nasution dari Aksi! untuk keadilan gender, sosial dan ekologi, masyarakat yang dulunya mendapat penghasilan dari alam menjadi hilang karena berbagai program dan proyek dan kebijakan pemerintah.
“Saat ini untuk mencari ikan ke laut dengan jenis ikan laut dalam, nelayan harus mendapatkan ijin dari pemerintah yang dulunya tidak perlu dilakukan, karenanya beberapa nelayan memindahkan usaha budidaya ikan ke darat,”jelasnya.
Berdasakan data Badan Pusat Statistik (BPS) Maluku 2022, jumlah penduduk miskin ekstrem di Maluku mencapai 97.747 jiwa dengan total jumlah rumah tangga miskin ekstrem 22.110. Jumlah tersebut terdiri dari Kabupaten Maluku Tenggara Barat dengan tingkat kemiskinan ekstrem 18,76% dan jumlah penduduk miskin ekstrem 21.270 jiwa, Kabupaten Maluku Tenggara dengan tingkat kemiskinan ekstrem 13,65 % dan jumlah penduduk miskin ekstrem 13.660 jiwa, Kabupaten Maluku Tengah dengan tingkat kemiskinan ekstrem 10.53% dan penduduk miskin ekstrem 39.400 jiwa, Kabupaten Seram Bagian Timur dengan tingkat kemiskinan ekstrem 12,73% dan jumlah penduduk miskin ekstrem 14.750 jiwa, serta Kabupaten Maluku Barat Daya dengan tingkat kemiskinan ekstrem 14,43 persen dan jumlah penduduk miskin ekstrem 10.580 jiwa.
Sementara untuk kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh LAPPAN pada 2021 mencapai 198 kasus yang meliputi Kota Ambon, Maluku Tengah, dan Seram Bagian Barat. Pada 2022, sejauh ini terdapat 42 kasus yang terdiri dari kasus terbanyak KDRT dan kekerasan seksual; pemerkosaan, pencabulan, dan percobaan pemerkosaan.
“Kondisi pasca konflik menyebabkan pemiskinan perempuan, kondisinya kian memburuk karena tidak bisa mengakses bantuan-bantuan perlindungan social. Berbagai inisiatif dilakukan perempuan komunitas untuk mendorong dan memperbaiki kohesi social,melalui berbagai kegiatan lintas iman dalam memelihara” ungkap Bai Tualeka, Direktur Yayasan LAPPAN.
Berdasarkan hasil tersebut, adapun enam tuntutan yang diserukan. Pertama, menuntut pemerintah untuk menyediakan permodalan bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) perempuan di Maluku.
Kedua, perlindungan dan pemulihan yang komprehensif bagi penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di Maluku. Ketiga, emperbaiki data administrasi penduduk (adminduk) untuk memperbarui data kemiskinan karena kebanyakan perempuan yang tidak memiliki data adminduk sulit bakan tidak dapat mengakses bantuan sosial.
Keempat, memfasilitasi kelompok-kelompok sektor informal, papalele, nelayan, petani, industri rumahan, dalam peningkatan kapasitas dan pemasaran hasil-hasil produksi. Kelima, mengedukasi masyarakat tentang pengarusutamaan gender dalam berbagai sektor untuk mengurangi dampak diskriminasi, baik di ruang privat maupun publik, dan keenam, meningkatkan kapasitas dan mendorong partisipasi perempuan dalam segala kehidupan.
Oleh : Iftin Yuninda Hard (Jurnalis Warga Ambon)
Komentar Terbaru