082311771819 yppm.maluku@gmail.com
Aktivis Humanum; Relasi Kuasa Kerap Mengarah pada Terjadinya Kekerasan Seksual di Kampus

Aktivis Humanum; Relasi Kuasa Kerap Mengarah pada Terjadinya Kekerasan Seksual di Kampus

AMBON: Aktivis Humanum Ambon, Elvira Marlien Marantika saat menghadiri program Perempuan Bercerita di Studio TribunAmbon.com, Jalan Jenderal Sudirman, Batu Merah, Sirimau, Kota Ambon, Senin (14/3/2022). Dia mengungkapkan, Kekuatan relasi kuasa yang disalahgunakan menjadikan kasus-kasus kekerasan seksual di kampus didominasi oleh struktur kuasa yang lebih tinggi dibanding korban. 

Laporan Wartawan TribunAmbon.com, Adjeng Hatalea

AMBON, TRIBUNAMBON.COM – Penyelewengan kekuasaan disebut kerap mengarah pada terjadinya tindakan kekerasan seksual di kampus.

Aktivis Humanum Ambon, Elvira Marlien Marantika mengungkapkan, Kekuatan relasi kuasa yang disalahgunakan tersebut yang menjadikan kasus-kasus kekerasan seksual di kampus didominasi oleh struktur kuasa yang lebih tinggi dibanding korban.

“Kami menyebarkan google form dan terverifikasi bahwa memang kekerasan seksual itu kerap terjadi di kampus. Ruang ini sebenarnya sangat nyata kelihatan bahwa setelah patriarki, pola relasi kekuasaan itu memang nyata sekali,” ungkap aktivis yang biasa disapa Vivi itu saat menghadiri program Perempuan Bercerita di Studio TribunAmbon.com, Jalan Jenderal Sudirman, Batu Merah, Sirimau, Kota Ambon, Senin (14/3/2022).

Data itu ditemukan setelah pihaknya menyelenggarakan kegiatan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan di kampus Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) pada 16 Desember 2021 lalu.

Melalui kegiatan tersebut, lanjut dia, saat ini telah ada Pakta Integritas UKIM yang ditanda tangani bersama beberapa lembaga sosial, termasuk Yayasan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (YPPM) Maluku.

Merespon isu kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus Institusi Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon yang dikritisi mahasiswa beberapa waktu lalu, Vivi menekankan, publik memiliki hak untuk tahu dan paham betul soal hal tersebut.

Sebab, menurut dia, tidak mudah bagi seorang korban kekerasan seksual untuk speak up tentang hal yang dialaminya di hadapan publik.

“Relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa, dan ketika korban sampai pada titik dia berani berbicara itu dia sudah melewati banyak sekali situasi-situasi yang sangat menakutkan. Itu yang harus publik paham dan tahu betul. Bisa jadi kejadian yang viral hari ini itu sudah kejadian lama tapi dia membutuhkan keberanian untuk speak up,” terang dia.

Dia pun meminta kelompok sosial agar sama-sama mengampanyekan hal tersebut, salah satunya dengan membuat surat terbuka kepada Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim.

“Bayangkan diskor satu semester tanpa alasan yang tidak bisa dipertanggung jawabkan,” pungkasnya.(*)

 

Artikel ini telah tayang di TribunAmbon.com dengan judul Aktivis Humanum; Relasi Kuasa Kerap Mengarah pada Terjadinya Kekerasan Seksual di Kampus, https://ambon.tribunnews.com/2022/03/15/aktivis-humanum-relasi-kuasa-kerap-mengarah-pada-terjadinya-kekerasan-seksual-di-kampus.
Penulis: Adjeng Hatalea | Editor: Fandi Wattimena

Aksesibilitas Sarana dan Prasarana bagi Penyandang Disabilitas


Oleh : Soleman Pelu, S.I.P (Relawan Mapindo Maluku)

Istilah Penyandang Disabilitas, sebelumnya dikenal dengan istilah Penyandang Cacat. Perkembangan terakhir Komnas HAM dan Kementerian Sosial memandang bahwa istilah Penyandang Cacat dalam perspektif bahasa Indonesia mempunyai makna yang berkonotasi negatif dan tidak sejalan dengan prinsip utama hak asasi manusia.

Selain itu juga bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.

Istilah Penyandang Cacat, kemudian disepakati diganti dengan istilah Penyandang Disabilitas. Hal ini juga  didukung dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabiitas.

Riset menunjukkan keterkaitan erat antara pemahaman publik tentang disabilitas dan Penyandang Disabilitas dengan perilaku diskriminatif yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari.  Pemahaman umum masyarakat di dunia, termasuk Indonesia, tentang Penyandang Disabilitas masih cenderung negatif.

Pemahaman negatif itu karena masyarakat umumnya mendefinisikan dan memperlakukan Penyandang Disabilitas berdasarkan pada pola pikir yang didominasi oleh konsep kenormalan yang berimplikasi pada stigmatisasi dan diskriminasi terhadap para penyandang disabilitas.

Termasuk di Indonesia,  terutama disebabkan masih terbatasnya diseminasi informasi dan edukasi resmi dari pemerintahan atau otoritas terkait serta hasil kajian ilmiah tentang disabilitas dan Penyandang Disabilitas.

Padahal, pemahaman tentang disabilitas dan Penyandang Disabilitas merupakan hal yang paling penting dalam menghapus diskriminasi yang timbul di tengah publik.

Tentunya, harapan adanya upaya ini sangat diperlukan agar berkontribusi mengatasi kesenjangan informasi dan edukasi tentang disabilitas dan  Penyandang Disabilitas, serta memberi pemahaman yang tepat dan perilaku yang lebih baik dalam menghargai hak asasi para Penyandang Disabilitas di Indonesia.

Dengan pemahaman dan perilaku yang tepat, sudah tentu diharapkan akan berkontribusi pula pada perlindungan dan kesejahteraan sosial para Penyandang Disabilitas di Indonesia.

Sejatinya, Penyandang Disabilitas merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang mempunyai kedudukan, hak, kewajiban, serta peran yang sama dengan masyarakat Indonesia lainnya dalam kehidupan. Untuk itu, diperlukan adanya kebijakan pemerintah yang memperhatikan dan mewadahi tentang hak penyandang disabilitas dalam kegitan kehidupannya dalam masyarakat.

Dalam UUD 1945 Pasal 27 Ayat 2 telah jelas disebutkan “Seluruh warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”. Artinya negara menjamin bahwa seluruh masyarakat, yang tidak dibatasi oleh keadaan fisik berhak untuk mendapatkan pekerjaan.

Selain itu, pasal 34 ayat 3 menyatakan bahwa, “Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Hal ini dapat diartikan bahwa negara bertanggung-jawab atas pengadaan segala fasilitas kesehatan dan pelayanan umum yang ada di masyarakat.

Aksesibilitas adalah hak atas akses yang merupakan layanan kebutuhan melakukan perjalanan yang mendasar. Dalam hal ini aksesibilitas harus disediakan oleh pemerintah terlepas dari digunakannya moda transportasi yang disediakan tersebut oleh masyarakat.

Aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas juga di atur dalam undang-undang no 42 tahun 2020, Pasal 10 ayat 1 dan 2 yang menjelaskan :

  1. Aksesibilitas terhadap bangunan gedung umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 3 huruf a yang memenuhi persyaratan kemudahan bangunan gedung meliputi:
  2. Kemudahan hubungan ke bangunan gedung, dari bangunan gedung, dan di dalam bangunan gedung; dan
  3. Kelengkapan prasarana dan sarana dalam pemanfaatan bangunan gedung.
  4.  Aksesibilitas terhadap ruang terbuka public sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b, merupakan aksesibilitas pendukung aktivitas dan aksesibilitas fasilitas umum di ruang terbuka publik yang memenuhi persyaratan kemudahan bagi Penyandang Disabilitas.

Hak dan kewajiban negara untuk menjamin disabilitas, mari kita lihat terlebih dahulu terkait dengan hak dan kewajiban dari aksebilitas yang di sediakan oleh penyandang disabilitas berdasarkan UU yang di buat apakah sudah di implementasikan.

Faktanya, saat kami (penulis) melakukan kegiatan diskusi yang diselengarakan oleh salah satu lembaga, dalam diskusi tersebut kami membahas terkait dengan aksebilitias pagi Penyandang Disabilitas.

Kegiatan itu juga diikut langsung oleh beberapa pengurus dari Penyandang Disabilitas, beberapa organisasi serta pemerintah. Dalam diskusi tersebut masih banyak tempat yang di mana belum menyediakan aksebilitas sarana dan prasarana bagi penyandang disabilitas.

Bukan cuman itu, saat berkunjung ke salah satu pusat perkantoran, ada beberapa kantor yang belum menyediakan layanan fasilitas tersebut untuk penyandang disabilitas.

Kesimpulannya, masih belum selaras dengan aturan dari UU Penyandang Disabilitas dimana menyatakan bahwa Penyandang Disabilitas disediakan fasilitas publik untuk mempermudah kegiatan mereka.

Selanjutnya, kontur jalan umum di Indonesia saat ini nampaknya belum memadai untuk keamanan para penyandang disabilitas. Selain dari fasilitas publik, mengenai peraturan aksesibilitas juga diatur terkait hak dalam pekerjaan, dimana pada Pasal 11 huruf c UU Penyandang Disabilitas disebutkan bahwa setiap penyandang disabilitas berhak mendapatkan akomodasi yang layak dalam pekerjaan.

Hal ini mengindikasikan bahwa Penyandang Disabilitas juga memiliki hak yang sama dengan warga negara pada umumnya dan wajib diberikan kesempatan yang sama pada sektor pekerjaan.

Menurut hemat penulis, penyandang disabilitas merupakan kondisi yang istimewa yang membuat orang yang mengalaminya kadang bisa membuat dirinya terpukul karena sering merasa didiskriminasi oleh lingkungan sekitarnya.

Akan tetapi, mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti warga negara yang lain dan juga hak-haknya telah dijamin oleh negara dengan UU Penyandang Disabilitas, sehingga penyandang disabilitas wajib mendapatkan kesetaraan dengan warga negara lainnya. Terutama pada masalah akses baik dalam menjalankan kegiatannya sehari-hari dan juga akses dalam mendapatkan pekerjaan.

Sebagai bagian dari umat manusia dan warga Negara Indonesia, maka Penyandang Disabilitas secara konstitusional mempunyai hak dan kedudukan yang sama di depan hukum dan pemerintahan.

Menyikapi hal ini, penulis menyarankan, agar ada perhatian pemerintah dengan menghadirkan kebijakan atau peraturan perundang-undangan tentang Penyandang Disabilitas.

Tentu dengan harapan regulasi ini merupakan sarana untuk mewujudkan kesamaan hak dan kesempatan bagi Penyandang Disabilitas menuju kehidupan yang sejahtera, mandiri, dan tanpa diskriminasi dan keterbatasan sarana yang tersedia (*)

Sumber: beritabeta.com

Pewajaran Tindakan Kekerasan Seksual

Oleh: Iftin Yuninda Hart (Koordinator Gerakan Pejuang Perempuan Milenial – Kawan Komisi Yudisial Maluku)

Kasus perkosaan dan perdagangan seks yang dilakukan kepada anak masih kerap terjadi. Baru-baru ini kasus itu menimpa seorang anak dengan pelaku anak dari Anggota DPRD Bekasi. Korban-nya  adalah anak di bawah umur.

Ironisnya, penyelesaian kasus yang ditawarkan oleh penegak hukum justru menimbulkan keresahan karena meminta pelaku untuk menikahi korban.

Padahal, menikahkan korban dengan pelaku bukanlah solusi yang tepat. Hal ini seringkali dilakukan karena masih adanya pandangan masyarakat yang belum dapat membedakan tindakan kekerasan seksual dan aktivitas seksual.

Pandangan ini pula yang menyebabkan tindakan perkosaan dianggap sebagai perzinahan yang bisa diakhiri dengan perkawinan. Alasan lainnya yang melatarbelakangi penyebab perkawinan pelaku dengan  korban adalah stigmatisasi terhadap korban kekerasan seksual.

Anggapan bahwa korban yang diperkosa sudah tidak suci, aib, dan menimbulkan rasa malu terhadap korban dan keluarga, mengakibatkan kasus perkosaan diselesaikan secara kekeluargaan, tidak di ranah pidana.

Ada pun beberapa Aparat Penegak Hukum yang beranggapan bahwa menikahkan korban dengan pelaku merupakan tindakan restorative justice. Menurut Institute of Criminal Justice Reform, penyelesaian perkara dengan pendekatan restorative justice adalah penyelesaian yang berbasis pemulihan bagi korban, pelaku dan masyarakat.

Dalam konteks lahirnya pendekatan ini, fokus utama yang diperhatikan adalah pemulihan dan kepentingan terbaik bagi korban dan pelaku menyadari kesalahannya serta mendukung pemulihan korban.

Dalam kasus ini, pendekatan tersebut tidak layak diberlakukan demi tujuan hukum untuk keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, terkhusus bagi korban yang rentan dan dirugikan.

Hal ini juga menggambarkan kurangnya sistem hukum yang berkualitas bagi korban kekerasan seksual di Indonesia. Terdapat beberapa alasan yang harus dilihat antaranya :

Pertama, dalam kasus ini, korban merupakan anak di bawah umur, masih sangat muda baik secara fisik maupun psikis, sehingga rentan mengalami masalah kesehatan. Anak seharusnya dilindungi dalam tumbuh kembangnya, bukan dijadikan istri atau ibu untuk mengurusi keluarganya.

Sebagaimana ide dasar perlunya perlindungan hukum terhadap anak, yaitu:

“Anak masih memerlukan bimbingan orang tua, anak memiliki fisik yang lemah, anak memiliki kondisi yang masih labil, anak belum bisa memilih mana yang baik dan yang buruk, anak memiliki usia yang belum dewasa, anak perempuan lebih sering menjadi korban, anak memerlukan pendidikan dan sekolah, anak memiliki pergaulan, anak masih mampu dipengaruhi media massa.”

Ketika anak dipaksa harus menikah, maka, proses perkembangan, kebebasan, dan kemerdekaan dirinya akan terbatas.

Kedua, menikahkan korban dengan pelaku merupakan salah satu bentuk kekerasan berbasis gender, yakni pemaksaan perkawinan. Pemaksaan perkawinan dilarang dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Konvensi Hak Anak, Konstitusi, UU HAM, dan UU Perkawinan.

Ketiga, rasa trauma korban akan semakin meningkat. Trauma atas kekerasan yang telah dialami sebelumnya akan semakin memuncak ketika harus hidup bersama dengan orang yang telah melukainya.

Keempat, kasus ini tidak hanya melanggar Undang-Undang Nomor. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU no. 23 thn 2002 tentang Perlindungan Anak, namun juga Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, karena pelaku juga menjalankan prostitusi online kepada korban.

Apakah pantas, pelaku menjadi suami korban? Belum sah sebagai miliknya saja sudah melakukan tindak kekerasan berlapis bagi korban, apalagi sudah terikat dalam perkawinan.

Kelima, rentan bercerai. Seringkali, menikahi korban adalah cara pelaku mengamankan dirinya dari sanksi, dengan begitu, perceraian sangat mudah dilakukan ketika pelaku sudah menikah dan bebas dari sanksi yang seharusnya didapatkannya.

Keenam, menguatkan stigma objektivikasi terhadap perempuan korban kekerasan seksual. Perempuan yang diperkosa dianggap telah hilang kehormatannya sehingga langkah untuk memulihkan harus dengan menikah. Seharusnya yang hilang kehormatan adalah pelaku yang dengan kejahatannya telah menyiksa korban, bukan korban yang tak berdaya.

Budaya Perkosaan

Realita masyarakat kita, budaya perkosaan atau rape culture masih menjadi hal biasa dan diwajarkan.

Dilansir dari Oxford Dictionaries,  rape culture adalah istilah untuk menggambarkan suatu masyarakat ataupun lingkungan yang terkesan menyepelekan pelecehan seksual. Bahkan masyarakat memiliki tendensi untuk menyalahkan korban atau victim blamming.

Victim blamming adalah perilaku yang sangat berdampak buruk bagi korban, pasalnya, korban yang seharusnya dilindungi dan didukung malah dianggap sebagai penyebab masalah yang terjadi. Tentu hal tersebut memberi beban ganda bagi korban, sudah dirugikan dengan tindakan kekerasan, disalahkan pula.

Kasus kekerasan terhadap perempuan, terlebih khusus kekerasan seksual terus mengalami peningkatan, tak terkecuali di masa pandemi ini.

Berdasarkan CATAHU 2020 Komnas Perempuan, kekerasan seksual adalah kekerasan yang paling banyak dialami oleh perempuan di ranah publik maupun privat.

Bentuk kekerasan yang terjadi di Ranah Publik/Komunitas adalah kekerasan seksual sebanyak 590 kasus (56 %), kekerasan psikis 341 kasus (32%), kekerasan ekonomi 73 kasus (7%) dan kekerasan fisik 48 kasus (4%). Jumlah bentuk kekerasan lebih banyak sama dengan di ranah personal karena satu korban bisa mengalami kekerasan lebih dari satu bentuk atau biasa disebut kekerasan berlapis.

Demikian juga data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) juga mencatat, sejak 1 Januari hingga 16 Maret 2021, terdapat 426 kasus kekerasan seksual dari total 1.008 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Pola pikir diskriminatif yang menganggap bahwa perempuan adalah subordinat dan tidak setara secara hak dan kewajiban dengan laki-laki sebagai manusia mengakibatkan perempuan rentan mengalami kekerasan dan tindakan diskriminatif lainnya (*)

Sumber : https://beritabeta.com

Belajar Menjadi Jurnalis Warga Bersama YPPM-Maluku

Program Democracy Resilience (DemRes) yang dijalankan oleh The Asia Foundation (TAF) dengan melibatkan YPPM sebagai mitra daerah membutuhkan partisipasi masyarakat terutama CSO dan OMS untuk membangun jejaring dan melawan disinformasi melalui pengumpulan, pelaporan, dan penyampain informasi/berita atau yang kita kenal dengan Jurnalisme Warga. Untuk menghasilkan Jurnalis Warga yang baik dan berkualitas maka diadakan Pelatihan Jurnalisme Warga yang akan dilaksanakan pada Jumat – Sabtu (27-28 Agustus 2021). Kegiatan ini melibatkan jurnalis yang berpengalaman di bidangnya sebagai narasumber yang akan memberikan materi seputar Jurnalisme, Keterampilan Jurnalistik, Melawan hoaks/disinformasi, dan UU ITE. Pelatihan dengan metode daring (online) ini dapat diakses oleh siapa saja yang tertarik menjadi jurnalis warga. Info jadwal pelaksanaan dan materi kegiatan selengkapnya dapat dilihat pada Term of Reference yang tertera di bawah ini.

TOR-Pelatihan-JW_DemRes_YPPM