Demonstrasi mahasiswa di Ambon, 8 April 2022 yang salah satu tuntutannya adalah mendesak Rektor IAIN Ambon mencabut skorsing terhadap Indah Sari Ibrahim. Foto: Mote Yame
Ambon, JW –Nasib Indah Sari Ibrahim masih terkatung-katung. Pengajuan keberatannya terhadap kebijakan pemberhentian sementara selama enam bulan belum dijawab oleh pihak Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam (FSEI) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon.
“Sampai saat ini belum ada respon sebagai itikad baik dari kampus,”kata Indah melalui pesan singkat WA ketika ditanya soal perkembangan kasusnya, Rabu (27/4/2022).
Indah adalah mahasiswa semester akhir. Ia dan beberapa temannya menyelenggarakan pameran dan pementasan karya seni oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Seni di Taman Baca IAIN Ambon, 18 Februari lalu.
Dalam pameran tersebut disediakan media kosong bagi siapa pun yang karya seninya hendak ditampilkan.
Setelah lima hari berjalan, tepatnya pukul 11.00 WIT siang itu, petugas keamanan kampus datang ke lokasi pameran untuk menurunkan paksa karya seni. Kemudian mereka menyita sebuah mural yang terpajang dan bertuliskan “Payudara Intelektual Pukul Balik Pelecehan Seksual Area Kampus” karena dianggap tidak sopan dan tidak sesuai aturan kampus.
Indah terlibat dalam pameran seni sebagai ketua UKM Senin sekaligus panitia. Ia sempat menolak penurunan dan penyitaan karya tersebut saat Dekan Syariah dan wakilnya datang bersama dua satpam. Tapi, para penjaga keamanan itu terlalu kuat untuk dilawan.
Padahal, pameran karya seni yang dilaksanakan Indah dan teman-temannya merupakan bentuk kebebasan berekspresi sekaligus kritik terhadap praktik kekerasan seksual yang terjadi di banyak kampus belakang ini. Karena sikapnya, Indah mendapat surat peringatan dari pihak fakultas.
Meski telah mendapatkan surat peringatan, Indah terus mengkampanyekan perlawanan terhadap kekerasan seksual sekaligus mendesak pihak fakultas mengembalikan karya seni yang disita, lewat unjuk rasa. Akibatnya, mahasiswi semester 14 ini dilarang kuliah dan aktivitas lainnya di kampus selama enam bulan.
Surat skorsing dari Dekan Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, Anang Kabalmay dikeluarkan pada 23 Februari 2022. Isinya, antara lain, Indah dinilai melanggar kode etik mahasiswa IAIN Ambon tahun 2017, sehingga diskors dan diwajibkan membayar biaya semester.
“Kami melakukan aksi kamisan dan aksi di hari-hari berikutnya untuk menyuarakan pengembalian karya-karya seni yang sudah disita sebagai bentuk perlawanan kepada kampus. Saat itulah saya mendapatkan surat skorsing yang dikeluarkan oleh Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Ambon,” tuturnya.
Menurut dia, kampus keliru dan gegabah dalam memandang karya seni sebagai bentuk kebebasan berekspresi dan kritik tentang pelecehan seksual. Ia merasa pameran dan pementasan karya adalah hal yang wajar dilakukan untuk meningkatkan pemahaman kekerasan seksual di lingkungan kampus.
“Langkah kampus untuk melakukan skorsing karena alasan etika itu sangat disayangkan karena saya tidak merugikan kampus secara moral dan material,”kesalnya.
Tapi Indah tidak menyerah. Mahasiswi yang hobi menulis dan membaca puisi, itu telah mengajukan keberatan, dan berharap pihak fakultas mencabut atau membatalkan surat skors terhadap dirinya.
“Apabila kampus, dalam hal ini FSEI tidak punya itikad baik untuk mengabulkan keberatan dan mencabut skorsing, maka saya akan menempuh banding,” tegasnya.
Hingga saat ini, pihak fakultas belum memberikan jawaban atas keberatan dari Indah. Olehnya itu, dia khawatir terancam dikeluarkan atau drop out (DO) apabila skors tetap diberlakukan karena akan melewati batas masa studi mahasiswa angkatan 2015 ini.
“Langkah selanjutnya apabila pencabutan dikabulkan maka saya dapat diwisudakan di bulan Juli atau Agustus. Namun, apabila skors ini terus berlaku, saya terancam DO karena masa studi saya sudah habis dan harus pindah kampus,”ungkapnya.
Dikutip dari Antaranews.conm, pihak kampus melalui Warek (Wakil Rektor) III IAIN Ambon, M. Faqih Seknun, 4 Maret lalu mengatakan, pemberian sanski kepada Indah Sari Ibrahim karena karya seni yang dipamerkan tidak sesuai aturan atau norma tata tertib (Tatib) mahasiswa IAIN Ambon.
“Skorsing dan pencabutannya itu wewenang dekan karena untuk sanksi sedang itu adalah wewenang fakultas,” tegas Seknun.
Tangan Besi IAIN Ambon
Pengekangan terhadap kebebasan berekpresi dan kritik dari mahasiswa semakin menguatkan ‘tangan besi’ IAIN Ambon untuk berlindung di balik nama baik. Usai menskor Indah, ‘Kampus Hijau’ juga membekukan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lintas IAIN Ambon dengan pemberitaan hasil investigasinya terkait kasus pelecehan seksual.
“Kalau seandainya untuk menjaga nama baik kampus IAIN yang akan alih status menuju UIN (Universitas Islam Negeri) biarlah kasus-kasus dibuka, orang-orang mengkritik, lalu pihak rektorat membentuk tim investigasi. Brikan edukasi kepada warga kampus tentang kekerasan seksual, dan melindungi korban dari beban kejiwaan yang ditanggung selama bertahun-tahun,” tandas Indah.
Kritik juga datang dari seniman Maluku, Said Maghrib. Pendiri Yayasan Seni Bengkel Sastra Maluku (BSM) ini tidak setuju dengan perampasan karya seni tersebut yang diikuti dengan skor sebagai bentuk hukuman.
“Jangan sampai ada unsur pribadi yang disangkut pautkan dengan lembaga,” kata dia, 23 Maret lalu.
Rudi Fofid, seniman cum jurnalis senior di Maluku, mengatakan, karya seni yang bertuliskan ‘Payudara intelektual pukul balik pelecehan seksual area kampus’ adalah bentuk pembelaan terhadap perempuan.
“Membela perempuan boleh digambarkan dalam bentuk apapun, dan payudara itu simbol kehidupan manusia yang meliputi keseluruhan tubuh manusia dan jiwa raganya,”katanya.
Menurut penyair ini, kampus perlu membentuk tim investigasi untuk mengungkap dugaan pelecehan seksual sehingga ada kepastian. Sebaliknya, tidak membungkam kebebasan berekspresi mahasiswa yang menyuarakan perlawanan terhadap kekerasan seksual.
“Mudah-mudahan Kampus lebih bijaksana dalam penanganan kasus karena pada prinsipnya adalah mahasiswa merupakan hasil dari proses didikan kampus. Jadi jangan membatasi mereka dalam berekspresi,”tandasnya.
Dilansir dari laman Amnesty International, kebebasan berekspresi adalah hak setiap orang untuk mencari, menerima, menyebarkan informasi dan gagasan dalam bentuk apapun, dengan cara apapun. Ini termasuk ekspresi lisan, cetak, budaya, politik, maupun artistik atau karya seni. Kebebasan berekspresi berhubungan dengan kebebasan berserikat serta mendukung hak asasi manusia lainnya seperti hak atas kebebasan berpikir.
Kebebasan berekspresi diatur dalam Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.” Dan Pasal 28 F UUD 1945: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia,”.
Oleh: Harry Wellsy Bakarbessy, Iftin Yuninda Hart, Soleman Pelu (JW Ambon)
Komentar Terbaru