082311771819 yppm.maluku@gmail.com
Hoaks, Pesan Berantai Penonaktifan Peserta KIS-BPJS, Ini Penjelasannya

Hoaks, Pesan Berantai Penonaktifan Peserta KIS-BPJS, Ini Penjelasannya

JW – Masohi, Beredarnya pesan berantai melalui aplikasi WhatsApp  yang menyebutkan pemegang Kartu Indonesia Sehat (KIS) atau BPJS Kesehatan akan otomatis dinonaktifkan jika tidak digunakan selama setahun, dibantah oleh pihak BPJS.

Redaksi beritabeta.com sempat menerima isi pesan peresahkan itu.  Isi  pesan itu sebagai berikut :

“Assalamualaikum Bapak/ ibu/sdr/i.  Disini kami ingatkan lagi, bahwa kalau ada bapak ibu dan keluarga yang memiliki BPJS bantuan pemerintah atau Kartu KIS yang diberikan pemerintah, tolong selalu dipakai minimal 1 kali dlm setahun /6 bln.

Walaupun kita tidak sakit, minimal periksa kesehatan saja ke puskesmas.Karena aturan BPJS sekarang, dalam 1 tahun terakhir kartu tidak pernah dipakai, langsung di non aktifkan.

Nanti kita susah lagi mengurusnya pada saat dibutuhkan.Tolong sampaikan berita ini ke Sanak keluarga kita yang lain yang juga menggunakan BPJS pemerintah…Semoga informasi berguna bagi kita semua…”

Menanggapi hal ini, Kepala BPJS Kabupaten Buru, Asti Sanduan, saat dihubungi BeritaBeta.com melalui pesan WhatsApp-nya memasgtikan pesan tersebut bukan info resmi dari kantor BPJS kesehatan.

“Ini berita hoaks seperti yang sudah dikonfirmasi resmi langsung dari kantor pusat di Instagram BPJS Kesehatan,” tutur Asti.

Asti menjelaskan pengecekan status kepesertaan bisa melalui aplikasi Mobile JKN yang bisa diunduh di PlayStore. “Atau juga melalui CHIKA di nomor WA 08118750400,” ungkap Asti.

Ia mengatakan, CHIKA atau chat assistant Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah layanan online dari BPJS Kesehatan yang dapat dimanfaatkan oleh peserta JKN-KIS untuk menemukan berbagai informasi dan mengajukan pelayanan terkait layanan BPJS Kesehatan.

Asti mengharapkan bahwa bagi masyarakat yang menerima pesan-pesan seperti ini dalam bentuk apapun sebaiknya langsung dikonfirmasi ke kantor BPJS Kesehatan terdekat agar tidak terjadi hal-hal yang diinginkan. (*)

Penulis : Edha Sanaky

AMGPM Cabang Bethel Galang Donasi untuk Pengungsi Kariu

AMGPM Cabang Bethel Galang Donasi untuk Pengungsi Kariu

AMBON, JW.–Konflik antarwarga Negeri Kariu dan warga Dusun Ori – Negeri Pelauw, Kecamatan Haruku, Kabupaten Maluku Tengah pada 26 Januari 2022 mengakibatkan korban hingga kebakaran rumah warga Negeri Kariu. Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (AMGPM) Cabang Bethel bergerak menggalang donasi.

Data resmi pemerintah Kabupaten Maluku Tengah menyebutkan, jumlah korban meninggal akibat konflik tersebut sebanyak 3 orang, korban luka 3 orang, dan pengungsi 1.558 dan 350 kepala keluarga (KK). Sedangkan siswa SD 138 orang, dan SMP 69 orang.

Henry Timisela, Ketua AMGPM Cabang Bethel mengatakan, sebagai salah satu stakeholder program Democratic Resillience (Ketahanan Demokrasi), AMGPM Cabang Bethel sudah seharusnya memiliki sensitifitas terhadap masalah-masalah sosial termasuk konflik yang saat ini terjadi di masyarakat sipil. Olehnya itu, AMGPM Cabang Bethel melakukan aksi galang donasi untuk membantu para korban.

Penggalangan donasi ini merupakan respon cepat terhadap kondisi warga Kariu yang terdampak konflik. Mereka harus kehilangan tempat tinggal dan harta benda, serta harus berjalan kaki menuju tempat yang lebih aman.

Melalui ajakan “Katong Ada Untuk Kariu”, civitas AMGPM Cabang Bethel mengajak masyarakat untuk bahu-membahu menanggung beban warga Negeri Kariu. Penggalangan donasi tahap pertama ini dibuka sejak 26 Januari dan ditutup pada 29 Januari 2022.

“Tahap selanjutnya akan dibuka lagi tetapi dengan fokus donasi pada kebutuhan yang urgent,” kata Henry Timisela.

Lebih lanjut Henry mengatakan, aksi ini tidak hanya ditujukan kepada 19 Ranting yang ada di Cabang Bethel saja, tetapi juga bagi masyarakat umum yang tergerak hati untuk memberi.

“Donasi yang dikumpulkan antara lain pakaian layak pakai (untuk dewasa, bayi, dan anak-anak), pampers bayi dan dewasa, sembako, dan lain-lain,” ujarnya.

Sumbangan dari masyarakat dikumpulkan melalui posko AMGPM Cabang Bethel yang berlokasi di Gereja Joseph Kam, Kota Ambon. Selanjutnya hasil donasi ini diserahkan kepada Badan Penanggulangan Bencana Gereja Protestan Maluku (BPB-GPM) di Sekretariat Pengurus Besar AMGPM untuk didistribusikan kepada warga Negeri Kariu yang saat ini mengungsi di Negeri Aboru.

Henry menyampaikan rasa terima kasih dan harapannya terkait aksi galang donasi kali ini. “Terima kasih sebesar-besarnya kepada civitas AMGPM Daerah Kota Ambon Cabang Bethel dan juga masyarakat umum yang telah memberikan donasi. Semoga menjadi berkat untuk meringankan beban warga Kariu. Tuhan akan membalas semua kebaikan basudara samua yang memberi donasi,”ujarnya.

 

Penulis: Bella Lefmanut (JW Ambon)

Prof. Sahusilawane: Stop Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak

Prof. Sahusilawane: Stop Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak

Prof. Aphrodite Milana Sahusilawane saat berbincang dengan JW Ambon, Iftin Yuninda di teras rumahnya di Ambon. (Dok. pribadi)

AMBON,JW – Kasus kekerasan seksual maupun kekerasan lainnya terhadap perempuan dan anak di Maluku ibarat gunung es. Ratusan kasus telah dilaporkan dan ditangani, tapi banyak juga yang belum timbuk ke permukaan.

Ketua Pusat Studi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Universitas Pattimura (Unpatti), Prof. Aphrodite Milana Sahusilawane mengatakan, berdasarkan riset yang dilakukan lembaganya, penyebab meningkatnya kekerasan seksual di Maluku selama dua tahun terakhir, antara lain karena pandemi atau ekonomi. Selama pandemi, menurut hasil penelitian tersebut, banyak orang terutama di sektor informal, kehilangan pekerjaan karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

“Sebagian dari mereka kemudian terjerumus. Dan diantara mereka, ada yang pernah mengalami pelecehan dan kekerasan seksual sejak masih muda dan anak. Karena tidak ada trauma healing, pengulangan terjadi,” kata perempuan yang kerap disapa Non itu, Sabtu, 23 Januari 2022.

Selain kekerasan seksual, juga terjadi kekerasan dan eksploitasi terhadap anak- di bawah umur. Prof Mon mencontohkan, 4-6 anak di bawah umur yang mengais rezeki dengan meminta uang kepada pengendara yang lewat di Under Pass Sudirman, Tantui, dan di Jalan AY. Patty, Kota Ambon.

“Anak-anak dintimidasi, jika mereka tidak membawa uang saat kembali ke rumah, akan dimarahi dan dipukuli oleh orang tua,”ungkapnya saat mengobrol di depan teras rumahnya.

Padahal, lanjut guru besar di Fakultas Pertanian Unpatti, itu, anak ibarat kertas putih yang bersih. Jika diisi dengan hal-hal baik, anak akan berada di jalur yang benar.

“Tapi kalau kita isi dengan kekerasan, dia akan menjadi anak nakal. Dampaknya, anak yang awalnya adalah korban, kemudian menjadi pelaku kekerasan. Ini seperti lingkaran setan. Cara pemutusannya ialah guntingkan. Stop kekerasan terhadap perempuan dan anak,”serunya.

Sementara itu, berdasarkan data Yayasan Lingkar Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LAPPAN) dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2015-2019) telah terjadi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Maluku. Rinciannya, 217 kasus terjadi di tahun 2015, 137 kasus tahun 2016, 180 kasus pada 2017, 198 kasus pada 2018, dan hingga November 2019 sebanyak 184 kasus.

Sedangkan data Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Maluku menyebutkan, terdapat 30 Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sepanjang Januari – Agustus 2021. Terdiri dari Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) 16 kasus, Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) 1 kasus, Perebutan Hak Asuh Anak 5 kasus, Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (KTP/A) 4 kasus,  Kekerasan dalam Pacaran 3 kasus dan Kekerasan Seksual melalui Media Sosial 1 kasus. 

Menurut Prof. Non, pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak hanya dari kalangan masyarakat menenang ke bawah, tapi juga menengah ke atas. Termasuk di lingkungan kampus antara dosen dan mahasiswa.

Namun, karena relasi kuasa yang kuat, korban enggan melaporkan kekerasan yang dialaminya minimal ke lembaga pengada layanan atau LSM yang konsenterasi terhadap persoalan tersebut.

“Sikap korban yang pasrah karena malu hati dan lainnya, merupakan sikap yang keliru dan proses pembiaran. Sudah waktunya terbuka dan berani. Selain itu, belum ada efek jerah yang maksimal bagi pelaku,”kata Sahusilwane dalam Kampanye Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dengan tema “Baku Kele Lawan Kekerasan” yang berlangsung di Fakultas Hukum Universitas Pattimura (UNPATTI) yang diselenggarakan oleh Yayasan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (YPPM) dan stakeholder.

Sehingga menurut dia, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Maluku ibarat gunung es. “Pelaku yang berasal dari kalangan atas, sebenarnya ada juga. Tapi, karena relasi kuasa dan ketergantungan ekonomi dari korban kepada pelaku, sehingga tidak muncul atau tidak dilaporkan ke pihak berwajib,”ungkapnya.

Jangan Salahkan Korban

Akademisi Fakultas Hukum Unpati, Dr. Mahrita A. Lakburlawal mengatakan, kekerasan seksual terjadi, bahkan di lingkungan perguruan tinggi arena adanya relasi kuasa antara pelaku dan korban dan ketimpangan gender, dengan anggap bahwa perempuan adalah “Second Class” atau kelas kedua dalam masyarakat. Kasus seperti ini, kata dia, terjadi di banyak kampus di Indonesia, termasuk di Maluku.

“Seharusnya, pihak kampus jadi pelindung bagi korban,”kata Mahrita juga hadir sebagai narasumber dalam kampanye tersebut.

Sedangkan menurut akademisi Unpatti dan psikolog, Prisca D. Sampe, ruang akademik seharusnya menjadi tempat bagi orang untuk memperoleh rasa aman. Tapi, hal ini tidak nampak di kampus-kampus.

Perlakuan seksis sebenarnya bukan karena pakaian, tetapi cara berpikir yang salah. Pada tubuh manusia, kata dia, ada otak reptil (binatang) yang aktifkan manakala muncul imajinasi tentang seks.

“Jadi, korban jangan disalahkan. Sebab, tanpa support sistem yang maksimal, korban akan trauma, takut hingga depresi dan bisa berujung bunuh diri seperti kasus Novia Widyasari. Mulai saat ini, dosen dan guru harus memberikan rasa aman bagi siswa dan mahasiswa agar korban bisa speak up,”tandasnya. (*)

 

Penulis: Iftin Yuninda (JW Ambon/Aktivis Perempuan)

Lawan Hoaks, MAFINDO Maluku Tingkatkan Literasi Digital di Seram Bagian Timur

Lawan Hoaks, MAFINDO Maluku Tingkatkan Literasi Digital di Seram Bagian Timur

Penyampaian materi oleh Relawan MAFINDO Maluku,  Foto: Soleman Pelu

AMBON,JW.-Sebanyak 42 peserta Jambore Literasi Digital di Desa Keta, Kabupaten Seram Bagian Timur melakukan praktik periksa fakta berita hoaks. Melalui kegiatan itu, mereka jadi tahu, apakah berita yang mereka baca termasuk hoaks atau tidak.

Kegiatan tersebut merupakan bagian dari program Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Maluku dalam melakukan peningkatan keterampilan literasi digital di kalangan komunitas literasi untuk melawan hoaks. Kegiatan berlangsung 29-31 Desembar 2021.

Relawan Mafindo Maluku yang hadir sebagai narasumber pada kegiatan tersebut adalah Wellsy Bakarbessy, Soleman Pelu, dan Abubakar Difinibun. Masing-masing dari mereka memberikan materi penguatan untuk mencegah hoaks, seperti yang disampaikan oleh Wellsy terkait perkembangan digital di era globalisasi saat ini.

Soleman Pelu, yang memberikan materi tentang cara periksa fakta sekaligus mempraktikan bagaimana periksa fakta secara sederhana menegaskan bahwa jika ada satu berita yang tidak diketahui kebenarannya, sebaiknya jangan dulu disebarkan. “Perlu ada verifkasi atau memeriksa kebenarannya,” tegas Soleman.

Lebih lanjut, dia katakan bahwa informasi yang tidak akurat mengenai berita palsu, dengan judul yang sangat provokatif mengiring pembaca kepada opini yang negatif. Semua itu tidak terpisahkan dari kehadiran internet di dalam kehidupan kita. Dengan adanya internet yang super praktis sekarang, berbagai berita dapat tersebar luas dengan mudah dan tidak terkontrol secara teliti.

Sebelumnya, Wellsy Bakarbessy memberikan materi tentang perkembangan teknologi informasi yang telah menyebar di dunia tanpa batas. “Hal tersebut menyebabkan perubahan sosial yang signifikan berlangsung dengan cepat,” kata Wellsy.

Menurutnya, perkembangan teknologi informasi banyak memberikan dapak positif dan dampak negatif dalam kehidupan. Salah satu dampak negatif perkembangan teknologi informasi yang sering dijumpai yaitu, banyaknya berita palsu (hoaks).

Sementara dampak positif dari perkembangan teknologi informasi dan Komunikasi, dapat memberi kemudahan untuk mendapatkan layanan tertentu meski lewat jarak jauh, misalnya berbelanja online, pesan tiket online, dan lain sebagainya.

“Menghemat waktu, bisa dilakukan kapan pun dan di mana pun. Kemudahan untuk mencari dan mendapat informasi lewat akses internet,” terang Wellsy.

Setelah peserta menerima dua materi tersebut, Abubakar Difinubun juga memberikan penguatan melalui materi tentang Bagaimana Bermedia Sosial dengan Baik. Abubakar menjelaskan, untuk kalangan anak muda atau pegiat literasi, agar bisa menggunakan media sosial untuk hal-hal positif, memposting hal-hal yang bermanfaat dan menginspirasi, serta tidak memberikan password akun media sosial kepada orang lain.

Penyampaian materi oleh relawan Mafindo sangat menarik perhatian peserta, hal ini ditujukan dengan keaktifan peserta pada sesi diskusi dengan relawan Mafindo. Seperti yang disampaikan oleh salah satu peserta, Masita Rahyantel, dia menjelaskan bahwa Mafindo memberikan ruang yang luas dan pengetahuan baru.

“Kehadiran Mafindo di kegiatan ini, kami bisa mengetahui tentang berita yang hoax dan berita yang fakta kebenaranya, dan kami juga bisa perlu berhati-hati dalam menjaga privasi media sosial kami, serta penyebaran berita sebelum ditahu kebenaran dari sumber tersebut,” ungkap Masita.

Kegiatan Jambore Literasi Digital yang berlangsung sejak tanggal 29-31 Desember 2021 itu, dilaksanakan oleh Taman Baca Keta, dengan mengusung tema “Cermat Literasi di Era Digital”, yang melibatkan beberapa Taman Baca di Seram Bagian Timur, seperti Taman Baca Rumadang, Taman Baca Kianlaw, Rumah Peradaban Qur’an dan Taman Baca lainnya.

Menurut pendiri Taman Baca Keta, Ali Akbar Rumeon, kegiatan ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan komunitas literasi yang ada di Seram Bagian Timur, untuk melawan hoaks yang beredar saat ini.

 

Penulis: Soleman Pelu (Relawan Mafindo Maluku/JW Ambon)

Hoaks Harus Dilawan Bersama

Hoaks Harus Dilawan Bersama

AMBON,JW.–Informasi bohong atau hoaks masih sulit dibendung. Perlu kerja sama semua pemangku kepentingan dan masyarakat untuk meminimalisir pembuatan dan penyebaran hoaks.

Mengingat pentingnya hal itu, Yayasan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (YPPM) Maluku melaksanakan kampanye massal melawan Misinfomasi dan Disinformasi di aula Hotel Lousnusa Amahai, Maluku Tengah, Kamis (27/1).

Direktur YPPM Maluku, Abdul Gani Fabanjo mengatakan, perjuangan melawan hoaks, baik misinformasi, disinformasi maupun malinformasi harus terus dilakukan. YPPM sebagai organisasi masyarakat sipil, juga memiliki peran untuk menangkal hoaks.

“Kami juga sedang berjuang untuk bisa menghindari dan mencegah semakin berkembangnya isu-isu hoaks, juga bagaimana bisa membantu agar semua ini bisa berjalan dengan baik,” ungkap Fabanjo.

Sebab, menurut dia, hoaks paling sukar dilepaspisahkan dari dunia digital. Apalagi yang berkaitan dengan isu agama dan politik yang dapat menimbulkan konflik vertikal maupun horisontal.

“Soal misinfomasi dan disinformasi itu adalah tanggung jawab kita bersama. Jika kita dapat mencegah hal itu terjadi, akan semakin menurunkan potensi-potensi konflik yang ada di daerah kita. Untuk meminalisir itu (hoaks) adalah dengan mengelola informasi dengan baik dan kritis,”tambahnya.

Di tempat yang sama, Ketua Komite Media Sosial dan Organisasi Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) Maluku Mark Ufie menyebutkan, Indonesia berada posisi ketiga pengguna internet terbanyak di Asia Pasifik, setelah Brazil dan Filipina. Jumlahnya penduduk Indonesia pengguna internet 202, 2 juta.

“75 persen waktu kita terkoneksi dengan internet,” ungkap Mark yang hadir sebagai narasumber pada kampanye tersebut.

Jumlah pengguna internet yang sangat banyak tersebut, lanjut Mark, sangat memudahkan orang untuk mendapat informasi dari media digital, baik website pemberitaan maupun media sosial lewat ponsel pintar dan laptop.

 

Yayasan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (YPPM) Maluku melaksanakan kampanye massal melawan Misinfomasi dan Disinformasi di aula Hotel Lousnusa Amahai, Maluku Tengah, Kamis (27/1).

 

Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Badan Pusat Statistik (BPS) dan eMarketer tahun 2018, sebut Mark, pemilik telepon pintar di Indonesia sebanyak 338.948.340 melebihi jumlah penduduk 255.561.000, dan terbesar ketiga di Asia Pasifik.

Tapi, pesatnya pengguna internet dan “smart phone” yang terkoneksi dengan media sosial, justru menyuburkan hoaks. Data hasil survei Badan Intelijen Indonesia (BIN) 2018, sebanyak 60 persen konten media sosial adalah hoaks, data CNN pada tahun yang menyebutkan 800.000 akun hoaks, dan survei HIPWE menunjukkan 65 warga Indonesia gampang percaya hoaks, termasuk yang tertinggi di dunia.

“Malas membaca, nalar rendah, malas berpikir, fanatisme buta dan rendahnya SDM adalah penyebabnya,”jelas duta hoaks Tempo Institute itu.

Sedangkan ciri-hoaks, kata Mark, antara lain provokatif, sumber tidak jelas dan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban, pesan sepihak, menyerang, dan tidak netral, memanfaat fanatisme atas nama ideologi, agama, suara rakyat atau hal yang sedang viral, memanipulasi foto dan video, serta minta supaya dibagikan sehingga viral.

Menurut Duta Bahasa Provinsi Maluku 2015 itu, hoaks dapat ditangkal dengan beberapa cara. Tips dari organisasi Stop Hoaks Indonesia (SHI) adalah STOP atau See (amati berita secara kritis apakah memiliki ciri-ciri berita kredebil), Talk (diskusikan dengan kelompok/pakar), Observe (teliti ke sumber terpercaya) dan Prevent (cegah dengan laporkan dan klarifikasi dengan referensi rujukan terpercaya).

“Salah satu bentuk mengamati secara kritis adalah tidak hanya membaca judul berita. Tapi sayangnya masyarakat kita hanya membaca judul, tidak membaca secara komprehensif,” ujarnya.

Di tempat yang sama, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Ambon, Tajudin Buano mengatakan, hoaks siber masuk ke di Indoesia pada musim Pilkada 2012. Hoaks terus berkembang saat Pilpres 2014 hingga memunculkan istilah “Cebong” dan “Kampret”.

Polarisasinya semakin beragam saat Pilkada DKI Jakarta 2017 hingga memasuki Pilpres dan Pileg 2019 hingga pandemi Covid-19. Tak hanya di Jawa, hoaks pada momentum-momentuk tersebut juga terjadi Maluku.

Namun, masih sangat sedikit orang, terutama pengguna media sosial mengerti, apalagi menyetop penyebaran hoaks. “Misalnya, langsung membagikan link berita atau postingan/status di media sosial tanpa mengecek dan membaca secara utuh informasi tersebut,”ujarnya.

Peran Semua Pihak

Mark melanjutkan, hoaks tidak bisa dihilangkan secara keseluruhan karena tetap diciptakan dan disebarkan. Yang bisa dilakukan adalah meminimalisir produksi dan penetrasi penyebaran.

Upaya tersebut harus dilakukan bersama. Tidak bisa dibebankan kepada organisasi nonprofit seperti MAFINDO dan media massa yang merupakan pihak swasta karena memiliki sumber daya manusia maupun keuagan yang terbatas.

Instansi pemerintah daerah yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab langsung seperti Dinas Infokom dan kepolisian daerah, harus menjadi garda terdepan, diikuti kelompok civil society seperti media massa dan jurnalis, komunitas anti hoaks, dan LSM.

Apalagi membuat kanal khusus untuk penyebaran informasi, baik berbasis website maupun media sosial official, sangat murah dan sudah lumrah.

“Sehingga klarifikasi untuk membendung derasnya informasi hoaks tidak bottom up, tapi juga top down, kita bergerak bersama. Dan saya kira, sudah saatnya dimulai sekarang. Apalagi kita tahu, 2024 adalah agenda besar nasional yakni pemilu dan pilkada serentak. Kita sudah bisa membayangkan bagainama dinamika politik dan efek buruk akibat hoaks,”tandasnya.

Sementara, menurut Tajudin, media massa tidak bisa diharapkan menjadi satu-satunya benteng terakhir perjernih informasi. Sebab, masih sedikit media yang terverifikasi di Dewan Pers dan melakukan kerja jurnalistik secara profesional.

Data Dewan Pers 2018, ada 47.000 media massa di Indonesia. Terdiri 2000 media cetak, 674 radio, 523 televisi, dan sisanya adalah media online atau siber.

Namun, hanya 567 media cetak yang profesional, 211 media online profesional, dan tidak lebih dari 200 TV dan radio profesional. Media tidak profesional dan abal-abal ini kerap memproduksi berita yang tidak benar, baik berupa misinformasi, disinformasi maupun malinformasi.

Olehnya itu, kata dia, masyarakat harus kritis terhadap sebuah informasi untuk mengecek kebenarannnya. Minimal jika ada informasi (berita) yang belum diyakini, maka mengetik judul berita tersebut di mesin pencari goole.

Jika berita yang sama juga ada di media-media lain, kemungkinan itu berita yang benar. “Sebaliknya, jika hanya beberapa media dan tidak memiliki alamat URL yang paten, maka wajib untuk ditelusuri terlebih dahulu,”pungkas wartawan Koordinator Liputan Ambon Ekspres itu.

Untuk diketahui, kampanye massal melawan misinformasi dan disinformasi ini merupakan kegiatan dari Memperjuangkan Ruang Sipil untuk Mempromosikan Ketahanan Demokratis. Program ini
dijalankan oleh The Asia Foundation (TAF) dengan melibatkan Yayasan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Maluku (YPPM) sebagai mitra daerah.

Lebih dari 20 peserta dari unsur pemerintah daerah, kepolisian, media massa, sekolah, guru, disabilitas, perempuan dan pemuda hadir pada kegiatan tersebut. Hampir semua peserta bertanya, menyampaikan pendapat dan masukan.

Usai dialog, seluruh peserta, narasumber, maupun panitia menuliskan pesan terkait hoaks dan membubuhkan tanda tangan di spanduk bertajuk “Maluku Tengah” lawan hoaks. (*)