Prof. Aphrodite Milana Sahusilawane saat berbincang dengan JW Ambon, Iftin Yuninda di teras rumahnya di Ambon. (Dok. pribadi)
AMBON,JW – Kasus kekerasan seksual maupun kekerasan lainnya terhadap perempuan dan anak di Maluku ibarat gunung es. Ratusan kasus telah dilaporkan dan ditangani, tapi banyak juga yang belum timbuk ke permukaan.
Ketua Pusat Studi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Universitas Pattimura (Unpatti), Prof. Aphrodite Milana Sahusilawane mengatakan, berdasarkan riset yang dilakukan lembaganya, penyebab meningkatnya kekerasan seksual di Maluku selama dua tahun terakhir, antara lain karena pandemi atau ekonomi. Selama pandemi, menurut hasil penelitian tersebut, banyak orang terutama di sektor informal, kehilangan pekerjaan karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
“Sebagian dari mereka kemudian terjerumus. Dan diantara mereka, ada yang pernah mengalami pelecehan dan kekerasan seksual sejak masih muda dan anak. Karena tidak ada trauma healing, pengulangan terjadi,” kata perempuan yang kerap disapa Non itu, Sabtu, 23 Januari 2022.
Selain kekerasan seksual, juga terjadi kekerasan dan eksploitasi terhadap anak- di bawah umur. Prof Mon mencontohkan, 4-6 anak di bawah umur yang mengais rezeki dengan meminta uang kepada pengendara yang lewat di Under Pass Sudirman, Tantui, dan di Jalan AY. Patty, Kota Ambon.
“Anak-anak dintimidasi, jika mereka tidak membawa uang saat kembali ke rumah, akan dimarahi dan dipukuli oleh orang tua,”ungkapnya saat mengobrol di depan teras rumahnya.
Padahal, lanjut guru besar di Fakultas Pertanian Unpatti, itu, anak ibarat kertas putih yang bersih. Jika diisi dengan hal-hal baik, anak akan berada di jalur yang benar.
“Tapi kalau kita isi dengan kekerasan, dia akan menjadi anak nakal. Dampaknya, anak yang awalnya adalah korban, kemudian menjadi pelaku kekerasan. Ini seperti lingkaran setan. Cara pemutusannya ialah guntingkan. Stop kekerasan terhadap perempuan dan anak,”serunya.
Sementara itu, berdasarkan data Yayasan Lingkar Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LAPPAN) dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2015-2019) telah terjadi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Maluku. Rinciannya, 217 kasus terjadi di tahun 2015, 137 kasus tahun 2016, 180 kasus pada 2017, 198 kasus pada 2018, dan hingga November 2019 sebanyak 184 kasus.
Sedangkan data Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Maluku menyebutkan, terdapat 30 Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sepanjang Januari – Agustus 2021. Terdiri dari Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) 16 kasus, Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) 1 kasus, Perebutan Hak Asuh Anak 5 kasus, Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (KTP/A) 4 kasus, Kekerasan dalam Pacaran 3 kasus dan Kekerasan Seksual melalui Media Sosial 1 kasus.
Menurut Prof. Non, pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak hanya dari kalangan masyarakat menenang ke bawah, tapi juga menengah ke atas. Termasuk di lingkungan kampus antara dosen dan mahasiswa.
Namun, karena relasi kuasa yang kuat, korban enggan melaporkan kekerasan yang dialaminya minimal ke lembaga pengada layanan atau LSM yang konsenterasi terhadap persoalan tersebut.
“Sikap korban yang pasrah karena malu hati dan lainnya, merupakan sikap yang keliru dan proses pembiaran. Sudah waktunya terbuka dan berani. Selain itu, belum ada efek jerah yang maksimal bagi pelaku,”kata Sahusilwane dalam Kampanye Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dengan tema “Baku Kele Lawan Kekerasan” yang berlangsung di Fakultas Hukum Universitas Pattimura (UNPATTI) yang diselenggarakan oleh Yayasan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (YPPM) dan stakeholder.
Sehingga menurut dia, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Maluku ibarat gunung es. “Pelaku yang berasal dari kalangan atas, sebenarnya ada juga. Tapi, karena relasi kuasa dan ketergantungan ekonomi dari korban kepada pelaku, sehingga tidak muncul atau tidak dilaporkan ke pihak berwajib,”ungkapnya.
Jangan Salahkan Korban
Akademisi Fakultas Hukum Unpati, Dr. Mahrita A. Lakburlawal mengatakan, kekerasan seksual terjadi, bahkan di lingkungan perguruan tinggi arena adanya relasi kuasa antara pelaku dan korban dan ketimpangan gender, dengan anggap bahwa perempuan adalah “Second Class” atau kelas kedua dalam masyarakat. Kasus seperti ini, kata dia, terjadi di banyak kampus di Indonesia, termasuk di Maluku.
“Seharusnya, pihak kampus jadi pelindung bagi korban,”kata Mahrita juga hadir sebagai narasumber dalam kampanye tersebut.
Sedangkan menurut akademisi Unpatti dan psikolog, Prisca D. Sampe, ruang akademik seharusnya menjadi tempat bagi orang untuk memperoleh rasa aman. Tapi, hal ini tidak nampak di kampus-kampus.
Perlakuan seksis sebenarnya bukan karena pakaian, tetapi cara berpikir yang salah. Pada tubuh manusia, kata dia, ada otak reptil (binatang) yang aktifkan manakala muncul imajinasi tentang seks.
“Jadi, korban jangan disalahkan. Sebab, tanpa support sistem yang maksimal, korban akan trauma, takut hingga depresi dan bisa berujung bunuh diri seperti kasus Novia Widyasari. Mulai saat ini, dosen dan guru harus memberikan rasa aman bagi siswa dan mahasiswa agar korban bisa speak up,”tandasnya. (*)
Penulis: Iftin Yuninda (JW Ambon/Aktivis Perempuan)
Komentar Terbaru