082311771819 yppm.maluku@gmail.com

AMBON,JW.–Informasi bohong atau hoaks masih sulit dibendung. Perlu kerja sama semua pemangku kepentingan dan masyarakat untuk meminimalisir pembuatan dan penyebaran hoaks.

Mengingat pentingnya hal itu, Yayasan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (YPPM) Maluku melaksanakan kampanye massal melawan Misinfomasi dan Disinformasi di aula Hotel Lousnusa Amahai, Maluku Tengah, Kamis (27/1).

Direktur YPPM Maluku, Abdul Gani Fabanjo mengatakan, perjuangan melawan hoaks, baik misinformasi, disinformasi maupun malinformasi harus terus dilakukan. YPPM sebagai organisasi masyarakat sipil, juga memiliki peran untuk menangkal hoaks.

“Kami juga sedang berjuang untuk bisa menghindari dan mencegah semakin berkembangnya isu-isu hoaks, juga bagaimana bisa membantu agar semua ini bisa berjalan dengan baik,” ungkap Fabanjo.

Sebab, menurut dia, hoaks paling sukar dilepaspisahkan dari dunia digital. Apalagi yang berkaitan dengan isu agama dan politik yang dapat menimbulkan konflik vertikal maupun horisontal.

“Soal misinfomasi dan disinformasi itu adalah tanggung jawab kita bersama. Jika kita dapat mencegah hal itu terjadi, akan semakin menurunkan potensi-potensi konflik yang ada di daerah kita. Untuk meminalisir itu (hoaks) adalah dengan mengelola informasi dengan baik dan kritis,”tambahnya.

Di tempat yang sama, Ketua Komite Media Sosial dan Organisasi Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) Maluku Mark Ufie menyebutkan, Indonesia berada posisi ketiga pengguna internet terbanyak di Asia Pasifik, setelah Brazil dan Filipina. Jumlahnya penduduk Indonesia pengguna internet 202, 2 juta.

“75 persen waktu kita terkoneksi dengan internet,” ungkap Mark yang hadir sebagai narasumber pada kampanye tersebut.

Jumlah pengguna internet yang sangat banyak tersebut, lanjut Mark, sangat memudahkan orang untuk mendapat informasi dari media digital, baik website pemberitaan maupun media sosial lewat ponsel pintar dan laptop.

 

Yayasan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (YPPM) Maluku melaksanakan kampanye massal melawan Misinfomasi dan Disinformasi di aula Hotel Lousnusa Amahai, Maluku Tengah, Kamis (27/1).

 

Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Badan Pusat Statistik (BPS) dan eMarketer tahun 2018, sebut Mark, pemilik telepon pintar di Indonesia sebanyak 338.948.340 melebihi jumlah penduduk 255.561.000, dan terbesar ketiga di Asia Pasifik.

Tapi, pesatnya pengguna internet dan “smart phone” yang terkoneksi dengan media sosial, justru menyuburkan hoaks. Data hasil survei Badan Intelijen Indonesia (BIN) 2018, sebanyak 60 persen konten media sosial adalah hoaks, data CNN pada tahun yang menyebutkan 800.000 akun hoaks, dan survei HIPWE menunjukkan 65 warga Indonesia gampang percaya hoaks, termasuk yang tertinggi di dunia.

“Malas membaca, nalar rendah, malas berpikir, fanatisme buta dan rendahnya SDM adalah penyebabnya,”jelas duta hoaks Tempo Institute itu.

Sedangkan ciri-hoaks, kata Mark, antara lain provokatif, sumber tidak jelas dan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban, pesan sepihak, menyerang, dan tidak netral, memanfaat fanatisme atas nama ideologi, agama, suara rakyat atau hal yang sedang viral, memanipulasi foto dan video, serta minta supaya dibagikan sehingga viral.

Menurut Duta Bahasa Provinsi Maluku 2015 itu, hoaks dapat ditangkal dengan beberapa cara. Tips dari organisasi Stop Hoaks Indonesia (SHI) adalah STOP atau See (amati berita secara kritis apakah memiliki ciri-ciri berita kredebil), Talk (diskusikan dengan kelompok/pakar), Observe (teliti ke sumber terpercaya) dan Prevent (cegah dengan laporkan dan klarifikasi dengan referensi rujukan terpercaya).

“Salah satu bentuk mengamati secara kritis adalah tidak hanya membaca judul berita. Tapi sayangnya masyarakat kita hanya membaca judul, tidak membaca secara komprehensif,” ujarnya.

Di tempat yang sama, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Ambon, Tajudin Buano mengatakan, hoaks siber masuk ke di Indoesia pada musim Pilkada 2012. Hoaks terus berkembang saat Pilpres 2014 hingga memunculkan istilah “Cebong” dan “Kampret”.

Polarisasinya semakin beragam saat Pilkada DKI Jakarta 2017 hingga memasuki Pilpres dan Pileg 2019 hingga pandemi Covid-19. Tak hanya di Jawa, hoaks pada momentum-momentuk tersebut juga terjadi Maluku.

Namun, masih sangat sedikit orang, terutama pengguna media sosial mengerti, apalagi menyetop penyebaran hoaks. “Misalnya, langsung membagikan link berita atau postingan/status di media sosial tanpa mengecek dan membaca secara utuh informasi tersebut,”ujarnya.

Peran Semua Pihak

Mark melanjutkan, hoaks tidak bisa dihilangkan secara keseluruhan karena tetap diciptakan dan disebarkan. Yang bisa dilakukan adalah meminimalisir produksi dan penetrasi penyebaran.

Upaya tersebut harus dilakukan bersama. Tidak bisa dibebankan kepada organisasi nonprofit seperti MAFINDO dan media massa yang merupakan pihak swasta karena memiliki sumber daya manusia maupun keuagan yang terbatas.

Instansi pemerintah daerah yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab langsung seperti Dinas Infokom dan kepolisian daerah, harus menjadi garda terdepan, diikuti kelompok civil society seperti media massa dan jurnalis, komunitas anti hoaks, dan LSM.

Apalagi membuat kanal khusus untuk penyebaran informasi, baik berbasis website maupun media sosial official, sangat murah dan sudah lumrah.

“Sehingga klarifikasi untuk membendung derasnya informasi hoaks tidak bottom up, tapi juga top down, kita bergerak bersama. Dan saya kira, sudah saatnya dimulai sekarang. Apalagi kita tahu, 2024 adalah agenda besar nasional yakni pemilu dan pilkada serentak. Kita sudah bisa membayangkan bagainama dinamika politik dan efek buruk akibat hoaks,”tandasnya.

Sementara, menurut Tajudin, media massa tidak bisa diharapkan menjadi satu-satunya benteng terakhir perjernih informasi. Sebab, masih sedikit media yang terverifikasi di Dewan Pers dan melakukan kerja jurnalistik secara profesional.

Data Dewan Pers 2018, ada 47.000 media massa di Indonesia. Terdiri 2000 media cetak, 674 radio, 523 televisi, dan sisanya adalah media online atau siber.

Namun, hanya 567 media cetak yang profesional, 211 media online profesional, dan tidak lebih dari 200 TV dan radio profesional. Media tidak profesional dan abal-abal ini kerap memproduksi berita yang tidak benar, baik berupa misinformasi, disinformasi maupun malinformasi.

Olehnya itu, kata dia, masyarakat harus kritis terhadap sebuah informasi untuk mengecek kebenarannnya. Minimal jika ada informasi (berita) yang belum diyakini, maka mengetik judul berita tersebut di mesin pencari goole.

Jika berita yang sama juga ada di media-media lain, kemungkinan itu berita yang benar. “Sebaliknya, jika hanya beberapa media dan tidak memiliki alamat URL yang paten, maka wajib untuk ditelusuri terlebih dahulu,”pungkas wartawan Koordinator Liputan Ambon Ekspres itu.

Untuk diketahui, kampanye massal melawan misinformasi dan disinformasi ini merupakan kegiatan dari Memperjuangkan Ruang Sipil untuk Mempromosikan Ketahanan Demokratis. Program ini
dijalankan oleh The Asia Foundation (TAF) dengan melibatkan Yayasan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Maluku (YPPM) sebagai mitra daerah.

Lebih dari 20 peserta dari unsur pemerintah daerah, kepolisian, media massa, sekolah, guru, disabilitas, perempuan dan pemuda hadir pada kegiatan tersebut. Hampir semua peserta bertanya, menyampaikan pendapat dan masukan.

Usai dialog, seluruh peserta, narasumber, maupun panitia menuliskan pesan terkait hoaks dan membubuhkan tanda tangan di spanduk bertajuk “Maluku Tengah” lawan hoaks. (*)