Diskusi dan pembacaan puisi pada malam badonci demokraasi yang dilaksanakan di Taman Budaya Karang Panjang, Ambon, Sabtu (29/10) malam.
AMBON,AT.–Indikator kebebasan sipil, terutama kebebasan berpendapat dan kebebasan pers di Maluku harus terus diperkuat. Namun di sisi lain, masyarakat sipil diingatkan untuk meningkatkan kapasitas agar maksimal dalam melakukan advokasi.
Hal ini disampaikan sastrawan dan jurnalis senior Rudi Fofid, akademisi Benico Ritiauw, dan anggota Komnas HAM RI Perwakilan Provinsi Maluku, Linda Holle sebagai narasumber Malam Badonci Demokrasi yang digelar Yayasan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (YPPM) Maluku di Taman Budaya Karang Panjang Ambon, Sabtu (29/10/2022) malam. Kebebasan sipil dalam Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) meliputi kebebasan berpendapat (freedom of expression), kebebasan pers (freedom of press), kebebasan berserikat (freedom of assembly) dan kebebasan kebebasan berkeyakinan (freedom of worship).
Soal kekebasan pers, kata Rudi, Maluku masih memiliki catatan buruk. Dua wartawan dibunuh yakni Ridwan Salamun dan Alfred Frets Mirulewan. Ridwan adalah Koresponden SUN TV yang dibantai massa saat meliput perkelahian di Tual 2010 silam, dan Alfred, Pemimpin Redaksi Tabloid Pelangi yang ditemukan di dermaga Pantai Nama, Maluku Barat Daya pada tahun yang sama.
Hingga sekarang, ancaman terhadap wartawan masih terus terjadi. Tak terkecuali, kata Rudi, wartawan kampus, yakni kru Majalah Lintas IAIN Ambon. “Padahal, mereka masih sangat muda tapi sudah melakukan investigasi yang jarang dilakukan wartawan profesional. Investigasi mereka sangat menukik, yang menurut saya berhasil,”ungkapnya.
Sementara menurut Linda, pembunuhan terhadap Alfred berdasarkan hasil investigasi Komnas HAM kala itu, merupakan upaya pembungkaman terhadap pers. Atas perjuangan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), termasuk Komnas HAM dan seluruh elemen masyarakat sipil, empat orang yang terlibat pembunuhan Alfred divonis bersalah oleh Mahkamah Agung (MA) dan telah menjalani hukuman penjara.
“Tapi sampai sekarang, ancaman dan kekerasan terhadap wartawan masih terus terjadi di Maluku dalam berbagai bentuk. Kita menyesalkan hal itu,”tegasnya.
Kondisi kebebasan berpendapat juga belum sepenuhnya membaik. Setidaknya dalam dua tahun terakhir, ada warga yang mendapat sanksi hukum dan administrasi karena menyampaikan pendapat di publik yang dinilai melanggar aturan, yakni Risman Soulisa, Indah Sari Ibrahim dan Thomas Madilis.
Risman dibekuk polisi di kawasan Poka, Kecamatan Teluk Ambon, 25 Juli 2021 silam. Dia ditangkap setelah menyerukan aksi unjuk rasa menolak Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan masyarakat (PPKM) dan menggunggah seruan mencopot Presiden Joko Widodo, gubernur Maluku dan wali kota Ambon di akun facebooknya.
Polisi menjerat Risman dengan pasal 45A sebagaimana dalam pasal 45 ayat 3 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU nomor 11 tahun 2008 tentang Informatika dan Transaksi Elektronik (ITE). Kemudian, pasal 14 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana.
Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ambon itu, divonis bersalah oleh hakim Pengadilan Negeri Ambon, karena melanggar UU nomor 11 tahun 2008 tentang Informatika dan Transaksi Elektronik (ITE) dan UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dia dihukum kurang lebih 8 bulan.
Setelah Risman, giliran Indah Sari Ibrahim, mahasiswi IAIN Ambon yang diskorsing karena dianggap menilai peraturan kampus. Pihak kampus mempermasalahkan tulisan “Payudara” pada pameran Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Seni di Taman Baca IAIN Ambon, Februari 2022 lalu.
Kemudian, pada Sabtu, 25 Juni 2022, Thomas Madilis diciduk aparat Polres Maluku Tengah di rumahnya, Negeri Amahai, Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah. Polisi menganggap Thomas telah menyebarkan ujaran kebencian lewat status facebooknya yang melanggar UU ITE, namun Risman akhirnya dibebaskan lewat Restorative Justice (Keadilan Restoratif).
Menurut Linda, dalam perspektif HAM, kebebasan berpendapat atau kritik lewat karya seni yang dilakukan Indah Sari dan rekan-rekan tidak melanggar hak asasi orang lain. Sebab, kritik tersebut bersifat membangun dan berdasarkan pada data dan fakta secara nasional.
Begitu pula yang dilakukan Thomas, kata Linda, tidak melanggar hak asasi manusia atau melukai orang lain. Thomas mengkritik kebijakan pembuatan Rekor MURI minum jus pala dan makan papeda, karena itu hanya seremonial yang tidak berdampak jangka panjang bagi pengembangan dua komoditi itu kedepan.
“Yang disampaikan Thomas memang fakta. Kita hanya mengejar rekor MURI, habis itu selesai. Sementara beberapa daerah lain, misalnya, Papua sudah mengolah sagu dalam berbagai macam jenis produk unggulan untuk meningkatkan pendapatan daerah dan menghidupkan ekonomi masyarakat,”ungkapnya.
Sementara itu, kata Rudi, pejabat negara saat ini sangat sensitif ketika dikritik. Apalagi pasal-pasal ‘karet’ di dalam UU ITE masih tetap dipertahankan meski sudah dua kali dilakukan revisi.
Tetapi, aktivis perdamaian peraih Ma’arif Award 2016, itu mengingatkan siapa pun yang melancarkan kritik, terutama di media sosial, harus dengan semangat membangun atau konstruktif dan menjaga rambu-rambu UU ITE.
“Memang bisa dibela, tapi kan habis waktu hanya untuk berurusan dengan aparat penegak hukum demi nama baik dan kehormatan para pejabat,”saran pria bernama lengkap Joseph Matheus Rudolf Fofid.
Siapkan Amunisi
Menurut Benico Ratiauw, orang muda berkontribusi bagi pertumbuhan demokrasi. Banyak kaum muda melancarkan kritis lewat saluran media sosial maupun demonstrasi besar-besaran terhadap kebijakan negara yang dinilai merugikan masyarakat.
Namun tidak bisa dipungkiri orang muda di sisi lain bisa menjelma menjadi benalu bagi demokrasi. Ia mencontohkan, saat demontrasi di jalanan di Ambon, misalnya, justru masyarakat merasa resah.
“Sebab, mungkin ada banyak anak muda yag menyuarakan keadilan bagi masyarakat, tapi isu atau kepentingan yang disuarakan tidak terkoneksi baik dengan masyarakat yang benar-benar merasa terwakili,”katanya.
Sedangkan menurut Rudi, kerap aktivis pemuda di Maluku memanfaatkan kondisi sebuah wilayah yang maish dianggap tertinggal untuk kepentingan kelompoknya. Mereka berunjuk rasa menuntut keadilan bagi masyarakat di wilayah itu, tanpa mengetahui secara rinci masalah dan kondisi sosial-ekonomi.
“Mereka tidak punya basis data yang kuat, bahkan tidak pernah mengadvokasi langsung di daerah atau wilayah sehingga masalahnya tak pernah selesai. Dan selama itu pula, mereka demo terus,”ungkapnya.
Kondisi ini yang menurut Linda, menjadi kelemahan masyarakat sipil dalam memperjuangkan aspirasi. Padahal, kritik yang membangun sangat berkorelasi positif dengan penguatan demokrasi.
Aktivis perempuan Maluku ini menilai, pada kasus tertentu, kelompok masyarakat yang memperjuangkan haknya tidak memiliki amunisi ide atau gagasan yang cukup dan substansial bagi perbaiknan suatu kondisi yang buruk.
Olehnya itu, kata dia, sudah saatnya elemen masyarakat sipil, terutama pemuda menyiapkan amunisi pengetahuan dan kapasitas yang cukup atas kondisi sosial, eknomi, politik, dan budaya masyarakat Maluku. Peningkatan kapasitas bisa dilakukan lewat diskusi, pelatihan, menulis dan membaca dan bergabung dalam Organisasi Masyarakat Sipil (OMS).
“Mari kita berkaca dari generasi sebelumnya. Misalnya, ketika kita ditanya, kalian mau apa? Kita menjwab, kita mau reformasi yang di dalamnya ada banyak tujuan mulia, termasuk demokrasi yang baik,”jelasnya.
Jangan Tersandera SARA
Penyiapan amunisi ini, kata Benico, tak hanya soal advokasi masalah masyarakat, tetapi termasuk juga dengan referensi memilih pemimpin. Sebab, selama ini suara anak muda masih pandang sebagai statistik suara partai politik.
Menurut dia, pemuda harus punya kesadaran kritis untuk menentukan pemimpin masa depan. Cara mudahnya adalah melihat secara rinci rekam jejak calon sehingga tidak terjebak pada pilihan berbasis SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan).
“Harusnya, alasan kita memilih pemimpin itu karena kemampuan dia berkontribusi bagi pembangunan. Bukan memilih pemimpim yang baik, karena itu ukurannya moral sekali,”tegasnya.
Sementara Linda, mengajak orang muda tidak golput, sebab bukan solusi. Ia juga sepakat SARA jangan jadi alasan bagi orang untuk memilih. Orang muda harus mengambil peran seperti melakukan edukasi antihoaks, ujaran kebencian dan lainnya.
“Harus konter hoaks. Harus kritis terhadap setiap informasi yang diperoleh. Telusuri reka jejak mereka sebelum membuat keputusan politik. Saat ini, semua bisa dilacak di internet, terutama media sosial,”tambahnya.
Dari Akar Rumput
Sementara itu, Direktur YPPM Maluku, Abdoel Gani Fabanjo dalam sambutannya mengatakan, upaya penguatan demokrasi bagi anak muda, perempuan, dan disabilitas di Maluku, khususnya Ambon dan Masohi telah dilakukan sejak tahun lalu hingga kini lewat program Demokracy Resilience (Ketahanan Demokrasi). Apalagi dalam menghadapi pemilu yang semakin dekat, penyadaran berdemokrasi dari akar rumput harus terus dilakukan.
Gani yakin, baik buruknya demokrasi Indonesia kedepan, sangat tergantung dari kepekaan anak muda saat ini dalam memaknai dan melaksanakan demokrasi.
“Sudah saatnya kaum muda dibekali agar memahami demokrasi yang besar ini secara utuh. Sehingga ruh dan semangat perjuangan untuk menegakkan demorkasi di akar rumput semakin lebih baik,”katanya.
Demokrasi saat ini, lanjut Gani, masih mencari bentuknya yang lebih baik lagi. Ia mencontohkan ketika kebebasan berpendapat yang menjadi indikator penting dalam demokrasi diberikan, justru yang muncul bersmaan dengan itu adalah hoaks dan ujaran kebencian.
“Saya berharap, kita semua bisa memperjuangkan itu mulai dari sekarang dari akar rumput. Proses ini sudah kita mulai satu tahun lalu. Hari ini kita kembali menyegarkan pikiran kita lewat momentum Sumpah Pemuda ini untuk belajar demokrasi lagi dengan baik,”pungkasnya.
Acara malam Badonci Demokrasi dengan tema “Memotret Demokrasi Dari Akar Rumput” diikuti koalisi pemuda, perempuan, dan kelompok disabilitas bentukan YPPM Maluku, akademisi, wartawan, mahasiswa, aktivis perempuan, dan lainnya. Selain diskusi, acara yang dipandu James Pakniany dan Iftin Yuninda Hart ini pula diisi dengan pembacaan puisi oleh Rusda Leikawa, Indah Sari Ibrahim, Rudi Fofid, dan Jordan Samloy serta tarian adat dari mahasiswa IAKN Ambon. (tab)
Komentar Terbaru