082311771819 yppm.maluku@gmail.com

Pendidikan untuk disabilitas netra masih menjadi pekerjaan rumah yang harus digarap serius oleh Pemerintah Kota Ambon, Provinsi Maluku. Tak sedikit, netra yang ada di Kota Ambon kesulitan mendapatkan akses pendidikan yang setara.

Seperti yang dialami oleh Sarah (32) yang memiliki masalah penglihatan sejak duduk di kelas 2 di salah satu sekolah menengah pertama (SMP) negeri di Kota Ambon.

Dengan kondisi kesulitan melihat, Sarah yang kala itu berusia 14 tahun tak diizinkan untuk mengikuti ujian kelulusan saat duduk di bangku kelas 3.

Pihak sekolah beralasan tidak ada fasilitas untuk Sarah yang netra. Selain itu sekolah juga menyebut guru-guru yang ada tak memiliki kemampuan untuk mengajar netra seperti Sarah.

Sarah bercerita kala itu keluarganya terus mengupayakan agar ia bisa ikut ujian dan lulus dari bangku SMP.
Namun usaha tersebut gagal dan Sarah pun tak lulus SMP.

“Kami ingin dihargai dan diperlakukan sama seperti teman-teman kami yang lain,” kata Sarah saat ditemui Kamis (4/4/2024).
“Kami juga ingin memiliki akses yang sama untuk belajar dan berkembang, tanpa harus terhalang oleh ketidakmampuan orang lain untuk memahami kebutuhan kami, kami mau diberikan kesempatan yang sama dengan siswa yang lain (non disabilitas) dalam menerima pendidikan,” tambah Sarah.

Kisah serupa juga dialami oleh LIN (23), (bukan nama sebenarnya) seorang netra yang ada di Kota Ambon.
LIN mengakui perjalanannya menempuh pendidikan formal sangat rumit. LIN menempuh pendidikan sekolah dasarnya di salah satu SLB swasta yang ada di Kota Ambon.

Setelah lulus dari pendidikan dasar, ia pun melanjutkan ke tingkat menengah pertama. Namun sayangnya, ia harus berhenti sekolah karena sekolahnya menyatakan bahwa LIN tak memiliki ijazah sekolah dasar.

“SD dan SMP saya itu satu lembaga. Saya sudah kelas 2 SMP, tapi belum mendapatkan ijazah SD. Saya terus menanyakan ijazah SD itu dan tiba-tiba pihak sekolah menyatakan saya tak memiliki ijazah. Sempat kebingungan, tapi itu yang terjadi. Akhirnya saya berhenti sekolah,” kata Lin.

LIN yang putus sekolah tak berhenti belajar. Ia kemudian membuat saluran akun YouTube dan mengekspresikan dirinya melalui musik.

Ia pun menciptakan lagu dan mengunggahnya di saluran YouTube. Ia mengakui, respon positif dari penontonnya memberi energi dan semangat baru baginya untuk terus berkarya.

Tak hanya fokus di YouTube, LIN juga aktif mengikuti kegiatan organisasi untuk netra.
“Saya bertemu dengan orang-orang yang memiliki pengalaman dan perjuangan hidup serupa. Akhirnya kami saling mendukung, tukar pengalaman dan membangun komunitas yang kuat,” kata dia.

LIN mengaku, saat di bangku sekolah, ia dan teman-temannya sesama netra sering kali menghadapi tantangan seperti kurangnya buku teks yang diadaptasi, aksesibilitas fasilitas fisik yang buruk, dan kurangnya dukungan pendampingan yang memadai.

Masalah tersebut menjadi hambatan besar dalam perjalanan mereka untuk mendapatkan pendidikan yang setara dengan rekan-rekan sebaya mereka.

Sementara itu Kepala Bidang Dikdas Dinas Pendidikan Kota Ambon, Dantje Damaling, mengakui bahwa masalah pendidikan bagi disabilitas netra masih menjadi tantangan nyata.

“Kami menyadari masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk meningkatkan aksesibilitas dan kualitas pendidikan bagi siswa netra di Ambon,” ujar dia Kamis (4/4/2024).

Menurut Damaling, salah satu hambatan utama adalah kurangnya anggaran yang dialokasikan khusus untuk pembangunan infrastruktur pendidikan inklusif.

“Kami berusaha mengatasi hal ini dengan menggunakan anggaran yang tersedia secara maksimal, namun tentu saja masih jauh dari cukup,” tambah dia.

Langkah utama yang telah diambil oleh Dinas Pendidikan Kota Ambon adalah peningkatan kesadaran melalui program-program pendidikan dan sosialisasi di sekolah-sekolah.

“Kami juga mendorong penggunaan materi ajar yang disesuaikan untuk memastikan bahwa setiap siswa mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kemampuannya,” jelas Damaling.
Tidak hanya itu, Dinas Pendidikan Kota Ambon juga berupaya memperluas fasilitas fisik yang ramah disabilitas di sekolah-sekolah.

“Kami terus melakukan peningkatan infrastruktur untuk membuat lingkungan belajar lebih inklusif bagi semua siswa, termasuk mereka yang memiliki disabilitas netra,” tambah Damaling.

Namun, dia juga mengakui bahwa masih banyak yang harus dilakukan.
“Kami menyadari bahwa ini adalah perjalanan panjang dan butuh komitmen yang kuat dari semua pihak untuk menciptakan pendidikan yang benar-benar inklusif,” ujar dia.

Sementara itu, aktivis hak disabilitas netra Kota Ambon, Haris Suilo (36) menyambut baik upaya pemerintah. Namun ia mengatakan bahwa langkah-langkah konkret harus segera diambil.

“Kami menghargai langkah-langkah yang sudah dilakukan, tetapi kami juga meminta pemerintah untuk lebih aktif dalam memperhatikan kebutuhan khusus kami,” ujar dia.
Pria yang sehari-hari bekerja sebagai tukang pijat dan penjual pulsa itu mengatakan sejumlah inisiatif telah diluncurkan oleh pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan individu untuk meningkatkan akses pendidikan bagi anak-anak dengan disabilitas netra.

Dari pelatihan guru tentang pendekatan inklusif hingga pembangunan fasilitas yang lebih ramah disabilitas, Menurutnya langkah-langkah tersebut menunjukkan bahwa masih kemungkinan kabar baik untuk difabel netra.

Namun dengan pengalaman pribadinya dan interaksi dengan sesama penyandang disabilitas, dia menjadi lebih sadar akan tantangan yang dihadapi oleh mereka sehari-hari.

“Dengan terus memperjuangkan hak-hak pendidikan yang setara bagi semua anak, termasuk mereka dengan disabilitas netra, kita dapat memastikan bahwa tak seorang pun yang tertinggal dalam perjalanan menuju masa depan yang lebih cerah. Kesetaraan dalam akses pendidikan bukanlah pilihan, tetapi merupakan hak asasi yang harus diperjuangkan bersama-sama,” kata dia.

 Penulis : Giberth Keneth Petrus Reawaruw