AMBON,AT.—Seluruh lapisan masyarakat telah dan berpeluang terpapar berita bohong atau hoaks, tak terkecuali siswa sekolah. Olehnya itu, pentingnya literasi digital di lingkup sekolah sebagai upaya menangkal hoaks sejak dini.
Mengingat pentingnya hal itu, Yayasan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (YPPM) Maluku melaksanakan kegiatan Kampanye Massal Melawan Misinformasi dan Disinformasi di SMA Negeri 13 Ambon, Kota Ambon, Sabtu, 22 Oktober lalu. Kegiatan bertajuk ‘Baku Kele (bergandengan tangan) Lawan Hoaks’ itu diikuti 42 siswa dari lima sekolah di Ambon, yaitu SMP Negeri 6, SMP Negeri 14, SMP Al-Wathan, SMA 13, dan SMK Muhammadiyah.
Program Manager YPPM Maluku Naam Seknun mengatakan, Kampanye Bakukele Lawan Hoaks merupakan kegiatan lanjutan bersama sekolah-sekolah yang pernah terlibat bersama YPPM dalam program DeMres. Terutama dalam pengarus-utamaan narasi demokrasi dan penguatan kepada peserta didik tentang hoaks.
“Dari kegiatan ini kami sangat berharap bahwa baik bagi pemilih pemula maupun generasi muda dapat menjadi duta anti hoaks di lingkungan sekolah masing-masing sehingga perlu adanya sinergitas untukkeberlanjutan kegiatan ini secara terus-menerus demi menjaga kestabilan demokrasi dan pengarusutamaan informasi dan penyebaran berita bohong/hoaks terutama bagi orang muda,”kata Naam.
Sementara itu, Wakil Kepala Sekolah Bagian Hubungan Masyarakat (Humas) SMA 13 Ambon, Jolanda Koda mengapresiasi kegiatan ini. Menurut dia, pengetahuan tentang literasi media, termasuk soal hoaks harus ditanamkan sejak dini kepada para siswa. Sebab, hoaks selalu ada dan tersebar seiring banyaknya pengguna media sosial yang tidak kritis. “Sekarang ini banyak berita yang tidak benar. Kita harus waspda,”kata Jolanda mengawali sambutannya.
Ia berharap, kegiatan tersebut bermanfaat bagi siswa para peserta. Selain itu, pengetahuan yang diperoleh bisa diteruskan kepada keluarga maupun siapa saja. “Semoga kegiatan Bakukele lawan hoaks ini bisa bermanfaat bagi anak-anak sekalian. Pulang dari tempat ini, adik-adik bisa menyamapikan materi tentang hoaks kepada teman-teman di sekolah maupun saudara di rumah,”imbuhnya.
Hoaks dan Demokrasi
Rusda Leikawa, Koordinator Wilayah Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) Maluku, narasumber kegiatan tersebuty memaparkan materinya tentang strategi menangkal hoaks (misinformasi dan disinformasi). Menurut dia, hoaks berasal dari kata “hocus” dalam “hocus pocus”, mantra yang diucapkan oleh para penyihir.
Kata hocus pocus diambil dari salah satu nama penyihir di Italia yang terkenal yaitu Ochus Bochus. Kemudian dipakai oleh para pesulap untuk pertunjukan di dalam trik mereka. “Jadi, hoaks ini sebenarnya sudah ada sejak ke 17,”kata Rusda.
Secara umum, kata dia, gangguan atau kekacauan informasi terbagi menjadi tiga, yaitu misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Misinformasi adalah informasi salah, tapi orang yang menyebarkannya percaya bahwa informasi itu benar.
Kemudian disinformasi adalah informasi yang salah tapi disebarkan oleh orang yang tahu bahwa informasi itu salah, jadi ada kesengajaan. Sedangkan malinformasi, merupakan informasi yang berdasarkan realitas/kebenaran, namun penyajiannya dikemas sedemikian rupa dan digunakan untuk merugikan orang, kelompok, organisasi, atau pihak lain.
“Literasi yang rendah dan tidak berpikir kritis, kurangnya rasa percaya masyarakat dan pemerintah, polarisasi masyarakat, fanatisme buta, dan belum capak memilih informasi merupakan penyebab mengapa orang masih menyebarkan dan percaya pada hoaks,”jelas Ketua Wanita Penulis Indonesia (WPI) Maluku ini.
Dia melanjutkan, misinformsi dan disinformasi terdiri dari tujuh jenis, yaitu satir atau parodi (Tidak berniat merugikan namun berpotensi mengelabui), konten menyesatkan (informasi menyesatkan, dengan membingkai isu atau individu), konten tiruan (ketika sumber asli ditiru), konten palsu (Konten baru 100 persen salah, didesain Untuk menipu dan merugikan), koneksi salah (Judul, gambar, atau keterangan tidak mendukung konten), konten yang salah (konten asli dipadankan dgn konteks informasi yang salah), dan konten yang dimanipulasi (informasi atau gambar yang asli dimanipulasi untuk menipu).
Sedangkan motif orang menyebarkan hoaks, karena ingin menjadi paling update, ingin memprovokasi, terlalu cemas, bergantung dengan gawai, iseng , keuntungan politik, dan Keuntungan ekonomi.
“Pernah dengar informasi makan telur akan kebal dari Corona (Covid-19)? Informasi itu dari Ambon, lalu diketahui di seluruh Indonesia. Nah, itu contoh informasi yang salah tapi sengaja dibagikan untuk kepentingan ekonomi dan membuat kepanikan,”papar Rusda.
Rusda mengatakan, MAFINDO Maluku mendata hoaks selama Januari hingga Agustus 2022. Setidaknya ada 11 hoaks selama periode itu dengan tema kesehatan (20 persen), penipuan (20 persen), lainnya (30 persen), SARA/etnis (10 persen), dan kriminal (10 persen), dan politik (10 persen).
Salah satu hoaks yang beredar di Maluku adalah video putri duyung di Latuhalat, Ambon pada 15 Juli lalu. Padahal, berdasarkan penelusuruan MAFINDO Maluku, video diduga manusia setengah ikan itu ditangkap di Muizenberg Afrika selatan.
Rusda menambahkan, pesat perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, lanjut Rusda, membuat semua orang berkesempatan menjadi pembuat, penyebar, dan pengguna informasi. Termasuk memproduksi hoaks.
Olehnya itu, generasi muda perlu dibekali pengetahuan yang cukup untuk terhindari hoaks. Cara sederhana untuk mengecek kebenaran informasi atau fakta dengan menggunakan mesin
pencarian Google, Yahoo, atau Bing. Selain itu, bisa lewat aplikasi seperti Hoax Buster Tools, Kalimasada dan Turnbackhoax.id yang dibuat oleh MAFINDO, atau cekfakta.com yang dibuat MAFINDO bersama 22 media online Indonesia.
Sementara Tajudin Buano, Ketua AJI Ambon menyampaikan materi tentang “Hoaks dan Demokrasi”. Menurut dia, kondisi demokrasi di Indonesia saat ini belum begitu baik. Salah satu faktor penyebabnya, adalah hoaks dan ujaran kebencian berbau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Maraknya hoaks dan ujaran kebencian, terutama menjelang dan saat momentum politik nasional dan lokal, kata dia, tak bisa dipungkiri karena orang dengan mudah membuat informasi lewat telepon pinta dan menyebarkan ke media sosial. Bahkan, hoaks bisa saja mendelegitimasi hasil pemilu jika tidak ada narasi pembanding dari pemerintah.
“Ini merupakan dampak dari dua wajah internet kita, yakni sebagai oksigen sekaligus racun bagi demokrasi. Di satu sisi, internet khususnya media sosial kita manfaatkan untuk menyebarkan idea tau gagasan substansial untuk ketahanan demokrasi, namun di sisi lain bisa digunakan untuk melemahkan demokrasi lewat hoaks, ujaran kebencian, dan lainnya,”jelasnya.
Olehnya itu, ia mengajak peserta untuk meningkatkan literasi digital sebagai bekal untuk melawan hoaks. “Jadi, kembali kepada kita masing-masing. Apakah memanfaatkan internet untuk memperkuat demokrasi, atau justru melemahkannya,”pungkas jurnalis Harian Ambon Ekspres, itu.
Periksa Fakta
Selain menerima materi dan diskusi, peserta juga melakukan praktik sederhana untuk memeriksa fakta atau kebenaran informasi. Pengurus MAFINDO Maluku, Soleman Pelu memandu sesi dengan membagi peserta ke dalam empat kelompok.
Setiap kelompok diberi pertanyaan dna pernyataan berupa narasi dan foto. Kemudian, mereka mencari jawaban dan memeriksa faknya menggunakan mesian pencarian Google seperti Yandex, Google Reverse Image, Goolgle Lens, dan aplikasi Kalimasada, Turnbachoaks, dan cekfakta.
Karena telah memperoleh materi sebelumnya, peserta dengan mudah memeriksa fakta dan memperoleh informasi yang benar. Setelah itu, wakil setiap kelompok menyampaikan hasil pencarian mereka kepada fasilitator.
Para peserta mengaku, kegiatan ini sangat bermanfaat bagi mereka, dan berharap bisa dikembangkan di sekolah-sekolah lain karena anak muda juga rentan terpapar hoaks. “Kegiatan ini sangat bermanfata bagi saya. Setidaknya saya bisa mengenal hoaks dan dampaknya sehingga saya akan berhati-hati terhadap semua informasi atau tidak mudah percaya,”ucap Bella Dadiara, siswi SMP 6 Ambon. (tab)
sumber: https://ambonterkini.id/news_read/baku-kele-lawan-hoaks-sejak-dari-sekolah-654
Komentar Terbaru